Kamis, 30 November 2017

Mencoba Bagel Pertama Kali di Via Via

Seperti tahun-tahun sebelumnya, ketika lebaran saya dan keluarga selalu bersilaturahmi keliling Jawa. Mau bagaimana lagi, keluarga dari Ayah dan Mama rata-rata menyebar mulai dari Jawa Timur (Blitar, Surabaya, Kediri, Trenggalek), Jogjakarta sampe Jakarta (Selatan dan Timur). Jadi, seusai silaturahmi pasti langsung kram seluruh tubuh karena capeknya sangat berasa. 

Di lebaran tahun ini, sejak H+1 saya dan keluarga telah berada di Jogja. Saudara-saudara yang tinggal disini juga lumayan banyak, mulai keluarga Pojok Benteng, Krapyak, Ringroad, Al-Mukhsin, Trah Kyai Munawir, Trah Kyai Abu Sujak, Trah Bani Mustar, dan trah-trah lainnya. Berkunjung tiada henti, lumayan membuat saya sedikit jenuh karena rutinitas yang repetisi hampir tiap pagi hingga keesokan harinya dan... menikmati kue-kue serta hidangan ketupat yang sama. Akhirnya, saya dan kakak sepupu (mbak Dian) mencoba untuk eksplore kuliner yang sedang hive di Jogja. Dari beberapa feeds, saya dan mbak Dian tertarik untuk mencoba Via Via dan Tombo Ngelak (Tombo Ngelak akan diulas di postingan tersendiri)

Biasanya di hari weekend atau holiday, Via via sering penuh dengan customer. Restoran ini sudah dikenal di mancanegara, jadi nggak heran kalo banyak turis yang kerap mampir ke daerah Jalan Prawirotaman ini. Seperti yang kita tahu bahwa di Jogja, Jalan Prawirotaman terkenal dengan sederatan kuliner dengan menu khas mancanegara, mulai nasi goreng sampe cordon bleu dan mulai wedang jahe sampe mocktail ada disana. Ada juga beberapa restoran dengan dessert terkenal seperti Milas, Anker, Bali Hai, Tempo Gelato, dan Move On. Sebenernya alasan sederhana memilih Via via  sebagai tempat labuhan adalah untuk sekedar brainstorming interior seraya nyobain masakannya yang katanya internasional. 


Via via mempunyai ruang yang nggak terlalu besar, namun cozy place untuk nugas, ngadain workshop, diskusi, dan journaling atau hal-hal kreatif lainnya, restoran ini menyediakan dish yang lengkap. All seafood variants, chicken variants, or beef variants. Rentang harga yang disediakan mulai Rp. 3.500,- sampe 138.000,- atau lebih lengkapnya untuk menu Oktober 2017 (klik disini). Selain menjual berbagai menu mancanegara, Via via juga menyediakan guest house atau akomodasi penginapan lainnya (eksplore disini). 

Dari sisi timer dan platter-nya menurut saya seimbang. Via via menyajikan menunya dengan cepat dan cara penyajiaannya bikin orang impressed. Mungkin kualitas kokinya beda banget sama restoran yang sering saya review selama ini. Konsep restorannya yang klasik menambah suasana kuliner kaya kembali ke zaman kolonial dahulu.



Saya memesan bagel with cream cheese, smoked salmon, capers and small side salad yang dipatok dengan harga Rp. 43.000,-. Nggak ada alasan khusus kenapa saya langsung memilih bagel, karena saya suka makanan amis atau yang berbau seafood protein tinggi dan udah nggak peduli lagi, mau seafood mixing sama bagel atau roti tawar. I don't care much more (hahaha). Rasanya lumayan enak karena salmonnya setengah mateng, sepertinya Via via bener-bener paham dalam memasak sajian salmon yang enak, ada cream cheese-nya antara bagel dan salmon serta taburan kuaci di atas salmon. As long as I life, it is first time that I taste bagel. Dulunya hanya tahu dari film atau majalah-majalah, ternyata bener-bener keras dan sukar buat dipotong. Tapi tetep bisa dimakan karena bagel di Via via nggak terlalu keras banget kaya yang butuh bermenit-menit untuk memotong. Here is totally different!

Tapi kalo nggak doyan amis dan asem, mending jangan cobain menu ini, bisa nyobain menu vegetable burger on bun served with a salad and french fries yang dipatok dengan harga Rp. 55.000,- atau beef burger on bun served with a salad and french fries yang dipatok dengan harga Rp. 55.000,-. Pilihan mbak Dian jatuh pada beef burger on bun served with a salad and french fries. Lumayan mengenyangkan dan dagingnya enak. Cocok juga buat yang lagi diet nasi putih, bisa diganti makan siang dengan menu ini. Untuk full view suasana dan menu-menunya bisa nonton lewat channel saya:



send a thousand happiness,


dessy amry raykhamna 



Minggu, 12 November 2017

Selepas Lulus Sarjana


"For 20 – 25 years old, be a good student. Get some experience. Make mistakes. Don’t worry. You fall, you stand up, you fall, you stand up. Enjoy it, you know? 25 years old? Enjoy the show. Don’t worry, any mistake is income; it is wonderful revenue for you.

For 25 – 30 years old, follow somebody. Before 30 years old, follow somebody. Go to a small company. Normally in a big company it is good to learn processing. You are a part of a big machine. But when you go to a small company, you learn the passion, you learn the dreams, you learn how to do a lot of things one time.

Before 30 years old, it’s not which company you go to, it’s which boss you follow that’s very important. A good boss teaches you differently.

For 30 – 40 years oldyou need to think very clearly. If you really want to be an entrepreneur, you need to start working for yourself.

For 40 – 50 years old, you have to do all the things you are already good at. Don’t try to jump into a new area, it’s too late. You may be successful, but the rate of dying is too high, so at forty to fifty years old, think about, “How can I focus on things that I am good at.”

For 50 – 60 years old, work to support young people, because young people can do better than you. Rely on them, invest in them. Make sure they’re good to go.

For over 60 years old, spend time for yourself, on the beach, some sunshine, you know?"  (Jack Ma's speech on a talk show)

Sadar atau tidak, banyak polemik atau dilemma yang akan dihadapi setelah seseorang sampai puncak pada kehidupannya. Rentang usia yang telah dipaparkan oleh Jack Ma adalah tipe ideal apa yang harus dilakukan oleh kita ketika berada pada usia tersebut. Walaupun pada dasarnya, setiap orang memiliki cara sendiri untuk berkembang. Saya menyadari bahwa budaya masyarakat Indonesia setelah lulus sarjana adalah memiliki keinginan kuat untuk bekerja, menjadi sapi perah perusahaan. Bagi lulusan informatika, rata-rata menginginkan gaji yang tinggi dengan menjadi programmer. Atau bekerja di perusahaan finance/lembaga keuangan sebagai bussiness analyst. Namun untuk saat ini, saya tidak memilih keduanya. Karena saya masih haus akan ilmu, saya masih butuh belajar, dan lagi, saya membutuhkan kebebasan. Kebebasan dalam mengeksplorasi diri, seperti yang dikatakan Jack Ma bahwa telah menjadi wajar bahwa for 20 to 25 years old be a good student and get some experience. Make mistakes, then you will get a wonderful revenue! Dan.. saya tahu, jika sebuah pekerjaan tidak dapat membeli sebuah kebebasan. 

Banyak teman-teman dan tetangga bertanya "selepas lulus sarjana ngapain? kok nganggur sih? nggak cari kerja?" they just look on my cover, they don't know anything about me. So, nothing reason for me to be not confident. Bener-bener wrong statement, kalo mereka yang duduk-duduk tidak bergerak. Mereka sebenarnya bergerak, namun tidak tergesa-gesa, dan sangat menikmati proses ini, sebuah proses uncertainty dalam meraih suatu hal. Ketika seseorang mempertanyakan "kenapa nggak coba masukin CV ke perkantoran?" saya hanya dapat tersenyum pahit sambil memainkan bibir. Yah tanda preventif dari pertanyaan tersebut. Karena menurut persepsi saya, bekerja di perkantoran adalah hal yang menekan otak serta kebatinan. Bagaimana tidak? 2012 awal juli adalah karir pertama saya memulai bekerja sebagai web programmer di sebuah software house. Saat itu masih 16 tahun dan belum lulus SMA. Gajinya? Standar UMR tapi bagi anak 16 tahun adalah jumlah yang lumayan besar. Suatu hari, terjadi saat salah seorang teman saya menyapu lantai ruang belakang kantor, dia menemukan bon aplikasi yang saya develop. Ternyata harga asli jual ke klien adalah 600+ juta dan saya hanya diberikan 0,4%. Ini bukan yang pertama kalinya, sudah 3 kali hal sama menimpa saya. Yang paling parah, ketika dapat stakeholder suatu perusahaan penerbangan dengan netto 2 miliar dan sebagai programmer, saya hanya diberikan 0,01%. 

Ini bukan penjelasan tentang saya sakit hati setelah menerima fakta itu, namun saya kerap heran saat itu. Mudah sekali anak-anak dibohongi oleh orang dewasa, padahal mereka dijadikan sapi perah oleh perusahaan. Bukannya untung, tapi malah ditumbalkan. Selepas 2012, saya juga merambah ke dunia jurnalis di sebuah koran nasional. Saat itu nggak full-time, sebab kuliah semester awal masih padat-padatnya. Kerjaan ini nggak bertahan lama sampai akhirnya saya membangun sebuah startup di bidang socialpreneur. Banyak dihadapkan dengan uncertainty, karena kita nggak akan pernah tahu 20 atau 30 ke depan, startup ini masih ada atau nggak. But I am still enjoying the show mainly when I fall and stand up. All of those do repeatedly. Hingga semuanya berakhir di awal 2017, saya mencoba jadi pattern design assistant di Nebula Studio (kali ini mencoba mencari peruntungan dari pencarian saya selama ini), namun resign di akhir September 2017, karena nggak kerasan dengan jam kerja remote malam hari (sebenernya pagi hari kerjanya tapi waktu spanyol, sedangkan di Indonesia telah menjelang malam), ngasih deadline-nya juga kurang dikondisikan, dan setiap ada pembuatan pattern baru selalu diskusinya sama dua orang yang mencintai sesama jenis. Jadi awkward tiap diskusi di Skype (hahaha).    

Thus, now, after I graduated for one month ago, saya bersyukur masih dapat menikmati waktu senggang yang Allah berikan, seperti belajar hobi baru, mengembangkan startup, improve writing skill, reuni, dan hal lainnya. It looks randomly and I never get it if I work in industry. Saya berharap hal ini terjadi hingga akhir desember sebelum saya mengalami hal-hal hectic tahun depan. Selain itu, pertengahan desember juga ambil kelas digital & fashion illustrator for adult (dan... saya rasa bakal hectic sebelum waktunya). Quote yang akan selalu saya ingat selepas lulus adalah "mumpung masih dalam rentang 20-25 tahun, teruslah belajar hauslah akan ilmu karena nantinya tidak akan ada yang mengasihanimu. Harta dapat dicari, sedangkan ilmu tidak akan pernah habis." Bisa jadi, tahun depan akan menjadi tahun ter-hectic sepanjang saya berkuliah atau bekerja kantoran. So, nggak perlu khawatir kalau belum memiliki tempat berlabuh yang pasti selepas lulus sarjana, asalkan kita tahu apa rencana yang akan dilakukan di keesokan harinya (insyaAllah) segala langkah akan terasa ringan. Seperti kata Jack Ma, just enjoy the show! 


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna