Minggu, 24 Maret 2019

Selama Satu Tahun Bekerja untuk Kementerian Agama

Mengabdi, hal yang tidak pernah saya bayangkan akan terwujud secepat ini di jalan usia yang seharusnya saya melanjutkan fakta idealis untuk duduk di jenjang Strata-2 di Fakultas Fine Art di New York. Jalan usia yang saya lewati saat ini sangat pelik dan terjal, bagai berjalan di atas aspal yang tidak rata atau bagai mengarungi samudera dengan ombak yang menggulung akan pasang. Bahkan tidak jarang, saya mengeluh di media sosial terkait banyak hal, seperti kemanusiaan, beban amanah, atau kadang ada klise mengenai ‘butir-butir pancasila’. Meskipun bagi sebagian orang, mengeluh di media sosial bukanlah tindakan yang perfeksionis, namun bagi saya hal tersebut merupakan suatu kegiatan yang manusiawi. Dari keluhan-keluahan tersebut, saya banyak belajar bahwa ‘seng didelok apik rung tentu apik tenan lan seng didelok bosok rung tentu bosok tenan’ atau (dalam bahasa Indonesia) ‘yang dilihat baik-baik saja belum tentu baik-baik saja dan yang dilihat buruk belum tentu benar-benar buruk’. Setiap manusia yang hidup pasti (sangat dianjurkan) memiliki masalah dan Allah akan senantiasa mengirimkan ujian-ujian bagi hambaNya selama masih belum dikebumikan untuk menggali potensi dalam dirinya. Jika sanggup bertahan, maka limpahan pahala dan pengampunan dosa (insyaAllah) akan menghujaninya. Sebaliknya, jika tidak sanggup bertahan, keimanan dan ketaqwaan akan diuji ‘apakah hamba ini masih on the track atau malah out of the track?’

Mengabdi, sekali lagi, bukanlah hal yang saya bayangkan akan terrealisasi meskipun dulu sempat memiliki mimpi untuk menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Saya tidak membual, hanya saja sedang bersyukur bahwa rencana Allah (ternyata) lebih ‘mengasyikkan’ untuk dijalani daripada jalan yang telah saya rencanakan, yang rata-rata di dalamnya penuh ambisi serta idealisme. Banyak terjadi gelombang pasang surut, saya merasa sedang ditempa oleh Allah dan hanya kesabaran yang berhak menjadi core of the core dalam menghadapi segala ujian.

366 hari bukanlah waktu yang sebentar untuk saya dapat beradaptasi dan tinggal dengan performansi terbaik dalam lingkup pemerintahan. Banyak dari kaum millenial menolak mentah-mentah untuk tergabung menjadi ‘abdi negara’, rata-rata mereka lebih memilih ‘mengabdi pada dollar’ atau ‘sapi perah perusahaan’. Berada dalam lingkungan pemerintahan banyak pandangan saya yang terpatahkan oleh sistem pemerintahan. Jauh sebelum saya mengatakan sanggup untuk bekerja membangun Indonesia dan rela terjun ke pemerintahan, seorang alumni Faculty of Law dari Michigan State University mengatakan hal ini tepat di acara tujuh harian almarhum Ayah, “nanti ketika Dessy terjun ke Kementerian Agama, jangan pernah meniatkan awal untuk mencari materi, bekerjalah ikhlas dengan niat untuk membantu negara. Sebenarnya saya tinggal di Amerika selama 5 tahun, sambil menempuh Strata-2 saya bekerja juga di Kedutaan Besar Indonesia. Sekarang, saya bekerja untuk urusan luar negeri di Unisma. Saya nggak mengharapkan apa-apa dari instansi, tapi mengabdi itu sebuah pekerjaan yang mulia, Dessy. Jangan pernah disia-siakan selama Allah menghendaki kesempatan itu saat ini, maka ambil itu. Barang kali nanti akan ada kesempatan yang lebih baik untuk belajar lagi. Kalau Dessy butuh Amerika buat belajar, yang penting beasiswa sudah digenggam, mereka juga fleksibel. Kapan pun Dessy taken, mereka siap. Saya dulu juga pakai scholarship dari USAID kok.” Seperti disiram telaga, beliau menyarankan saya mengabdi dulu pada negara untuk sementara waktu dan Mama juga sangat merestui langkah ini daripada saya tergesa-gesa untuk menempuh Strata-2 yang jaraknya jauh ketika beliau ingin berkunjung, 18 jam perjalanan dari Indonesia ke New York.

Selama menyelami 366 hari atau satu tahun, Kementerian Agama merupakan kementerian yang loyal versi saya. Saat ini media sedang membombardir instansi yang menaungi hajat hidup umat dengan berita-berita memilukan, yang saya rasa seorang menteri tidak mungkin melakukan hal tersebut. Mestinya publik mengingat kebaikan-kebaikannya bukan sebutir dugaan namun fitnah sudah menyebar tak terbendung bagai air bah yang meluap dan bersiap untuk meratakan tanah. Entah publik menilai apa, saya tidak peduli. Banyak kesempatan yang diberikan oleh Kementerian Agama pada saya. Salah satunya melibatkan saya dalam pembangunan sistem open data, hal ini merupakan mimpi besar dari Badan Pusat Statistik untuk mengintegrasikan data seluruh kementerian, narasumbernya saat itu adalah dua orang pejuang open data dari Filipina, Miss Gay dan Uncle John. Mereka merupakan representatif dari Paris21.


Pada acara ini, anak bangsabisa dibilang juga, saya diibaratkan anak-anak yang sedang bermain di dalam gedung karena usia yang kerap menjadi gap antara saya dengan pegawai-pegawai di Kementerian Agama. Sering mendengar celetukan “Dessy paling muda disini loh, kaya anak kecil masuk playground yah bla bla” dan sederetan lainnyadiberikan kepercayaan untuk menyelesaikan beberapa assignment terkait pandangan statistisi terhadap proses analisis dan pengumpulan data serta diamanahkan sebagai perwakilan Kementerian Agama secara mandiri. Hal ini menjadi kehormatan bagi anak bangsa pada kebhinekaan. Ada rasa haru, namun tidak bangga karena sudah memenuhi kewajiban untuk berada memimpin di garis depan kapanpun negara butuhkan.


Dapat dibilang, di acara ini saya juga dianggap ‘paling muda’ oleh panitia dan Miss Gay juga sempat mengatakan “you’re so young, dear” ketika di awal-awal perkenalan. Saya sempet minder sekian detik, tapi yaudahlah why teenager not attempt to break the rule is? Tapi.. dianggap jadi ‘paling muda’ saya jadi merasa bebas untuk sok kenal dan pro aktif everywhere (hahaha). Miss Gay banyak mengalami jatuh bangun selama membangun NSDS untuk negara berkembang dan saya juga sempat bertanya pada Miss Gay seputar pengembangan diri tentang mengapa beliau begitu passionate dan percaya diri, serta good looking as always. Beliau tersenyum sambil menatap saya lekat-lekat seolah ingin menyampaikan suatu hal dengan tekad membara, tapi pandangan matanya tetap sayu, "I suggest that (in the future) you're the future leader, Dessy. I would pray for your best future endeavors. Anyway, I got japan scholarship for human-resource development in 35 years old. I trained my self better and better. Prepare well is a must for me. Write a point to nail in the sticky dotes is my daily routine as a student. Also, I never fabricate the waste time." Pernyataan ini membuat saya menganga sekaligus merasa haru, beliau masih gigih memperjuangkan beasiswa. Menurut saya, hanya sedikit dan orang-orang terpilih saja yang memiliki jiwa juang seperti ini diusianya yang mungkin yah.. tidak muda. 

Selama satu tahun ini, Kementerian Agama menggunakan tenaga saya sebagai graphic designer, UI/UX integration, system analyst, business process analyst, technical writer, QA analyst, dan OWASP engineer untuk pengembangan proyek https://data.kemenag.go.id dan animator di https://kemenag.go.id dalam pengisian konten tertentu. Proyek https://data.kemenag.go.id sempat saya sampaikan juga dengan pihak Paris21 saat itu dan mereka sangat mengapresiasi bahwa Indonesia akan membangun National Sustainable Development Strategy (NSDS) yang sangat powerful dibandingkan milik negara berkembang lainnya yang telah dahulu membangun NSDS, seperti Mongolia (https://www.en.nso.mn/), Bangladesh (http://bbs.gov.bd/), Filipina (http://www.psa.gov.ph/), dan sebagainya. Proyek NSDS negara-negara ini telah diinkrisi oleh World Bank dan saya yakin Indonesia could be more and more magnificient than nowadays. Dalam pertemuan lintas negara dan kementerian dengan Paris21 ini perlahan membuka mata saya bahwa Indonesia memiliki beraneka ragam dan sumber daya manusia yang kokoh jika ingin dibudidayakan atau ditempa, mereka sedari dulu adalah bibit-bibit anak bangsa yang layak untuk diperjuangkan andaikan pemerintah menyadari hal itu. Sudahkah Anda tertarik bergabung bersama kami? Bersama membangun negeri yang hidup enggan mati pun tak mau?    

Steal your thought,

Dessy Amry Raykhamna