Senin, 28 Desember 2020

Dear Fussilat:30

Seminggu yang lalu, saya sengaja pulang kampung ke Malang untuk acara seribu hari Ayah (cerita lengkapnya: klik di sini). Pulang kampung kali ini benar-benar berbeda seperti yang sebelum-sebelumnya, pulang kampung di tengah pandemi tidak pernah terbayangkan. Dua kali shalat hari raya pada idul fitri dan idul adha, semua saya lakukan dengan munfarid, bahkan pendidikan magister yang seharusnya dilakukan di tahun ini, terpaksa di waiver kembali, sampai admisinya New York University lelah mungkin menanggapi email saya. Untungnya, saya dapat dekan yang baik hati dan memahami kondisi, jadinya waiver semaunya tidak masalah. Jarang sekali ada universitas di dunia yang mengindahkan waiver soalnya. Why I can do it? Tidak bisa saya ceritakan di sini, through personal chat maybe? (hahaha).

Then, pulang kampung kali ini sedikit menggelitik diri saya. Ada sebuah fakta unik yang saya temui, meski kisah ini sudah belasan tahun lamanya dan memang di saat itu saya menyimpan banyak tanda tanya. Tanda tanya itu akhirnya terjawab hari ini, antara lega dan bingung, walaupun banyak sastrawan yang bilang "semua yang di dunia ini tidak perlu ada jawaban, mungkin tanpa jawaban bisa menjadi jawaban yang lebih baik", namun apa daya saya hanyalah manusia yang haus akan keingintahuan. Meski terlambat tahu, lebih baik tahu daripada tidak tahu sama sekali. 

Belasan tahun lalu, saat saya masih smp, ada seorang ustadz yang masyaAllah memberikan sebuah lukisan kaligrafi Surah Fussilat:30. Pada zaman itu, entah bagaimana ceritanya, dia mengkhitbah saya di depan kedua orang tua saya. Padahal jarak umur kami cukup jauh, dia mahasiswa dan saya murid smp. Dengar-dengar dari berita ibu-ibu (hahaha bukan bermaksud ghibah), dia merupakan calon menantu idaman, suaranya indah ketika melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, pandai berbahasa arab, dan karya kaligrafinya selalu membuat mata terbelalak takjub. Saya yang masih smp, tentu belum terlalu memberikan kesan sampai sejauh itu. Kami dekat sebagai guru dan murid di sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'an, dia sering mengajak saya berdebat berbagai hal, mulai hal remeh sampai ketauhidan. Entah obrolan apa saja yang membuat kita betah berdebat berlama-lama. Dia juga pernah bilang kalau pemikiran saya berbeda dengan murid smp kebanyakan. Saat itu, saya tidak terlalu ambil pusing dan pernah ada sekelebat rasa aneh yang menelisik, namun pikiran saya kembali bertanya 'akankah mungkin kita bisa disatukan? it is too impossible'. For we're in different age and he's my teacher, isn't it strange if teacher and student are together? Probably, we may accidentally provide boundaries in the future, am I right?

Seiring berjalannya waktu, saya menemukan hal unik lainnya: banyak wanita yang segan meminangnya, dari ustadzah hingga calon dokter, but he rejected all of them. Akhirnya, muncul pertanyaan why he chosen me? Awalnya, saya mengira semua ini hanyalah sebuah drama atau permainan yang sedang diperankan/dimainkan. Tapi lagi-lagi, semua orang di sekeliling saya mengatakan bahwa semua hal ini adalah keseriusan dan saya pahamnya setelah Mama menceritakan segala hal yang terjadi di masa lalu pada hari ini. Teka-teki di benak saya terjawab sudah, antara lega sekaligus bingung: why everyone tells me now? Not a long time ago? alasannya adalah because you're just a kid. Why a kid can't know? Are you worried we will do reckless?

Hari ini saya menyadari suatu hal bahwa menyukai seseorang memang tidak memandang usia, status (entah dia guru atau murid), atau apapun itu asalkan saling nyaman, it is enough. He made me learn everything about heart, besides knowledge of Qur'an (jiahh hahaha).  This is a letter for him:


Dear Fussilat:30, 

Jika menemukan tulisan ini, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas segala yang terjadi di masa lalu. Terima kasih juga telah mengikhlaskanku untuk menapaki jalan kehidupan yang lebih luas, berkat keputusanmu, aku bisa menjelajah bumi Allah. Aku yakin, saat ini kamu telah menemukan jannah yang kamu maksud dalam Surah Fussilat:30, karena saat ini aku juga sedang mencari jannah-ku. Jika aku memiliki kesalahan di masa lalu, maafkan atas ketidakpekaan dan ketidaktahuanku, kini aku memahami arti di balik Surah Fussilat:30. Kamu akan selalu aku anggap sebagai guruku hingga kapan pun dan aku akan selalu menghormatimu. Doakan aku agar dapat meraih jannah dunia dan akhiratku. Semoga kamu sekeluarga bahagia dan sehat selalu :')

Yang selamanya menjadi muridmu, Dessy.


Kata-kata di dalam surat itu entah mengapa baru dapat saya ungkapkan hari ini. Mungkin karena saat ini saya sudah menjadi lebih dewasa. Ditinggalkan atau meninggalkan bukan lagi perkara yang harus ditakuti, kalau dulu saya sering mengaduh perih dan menangis dalam diam hanya karena ketelan permen, sekarang meski ada kerikil atau batu besar di depan sana, menangis bukan lagi solusi efektif. Tidak ada yang melarang untuk menangis, toh menangis bisa meminimalisir beban walau tidak banyak. Hanya saja, jika hanya menangis tidak akan ada solusi, lebih baik waktu yang ada dipergunakan untuk berkarya lebih banyak. 


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna