Kamis, 19 Desember 2019

Menjelajah Singapore dalam 1 Hari



Biasanya saat melakukan perjalanan overseas, saya selalu sendirian dan lebih ke arah backpacker, yang dirasa lebih travel lightwell-educated, dan paling penting 'tidak ribet'. Namun tahun ini berbeda, saya justru banyak diberikan nasihat serta pengalaman. Dulu, sewaktu mahasiswa semester 1, saya pernah menulis rencana untuk berkeliling Asia dan Eropa setelah lulus kuliah dan dalam rencana tersebut akan mengorbankan deposito pribadi yang susah payah dikumpulkan selama berkuliah (cerita lengkapnya: klik disini). Qadarullah, Allahuakbar! Rencana itu perlahan nampak hilalnya. Tanpa mengeluarkan deposito atau budget apapun atau lebih dikatakan geratisan (saya ulangi: ge-ra-ti-san), Allah menuntun saya untuk ke Singapore melalui perjalanan dinas dari Kementerian Agama. Singapore menjadi negara pertama yang saya injak sebelum mengembara ke beberapa negara di Asia atau bahkan Eropa lainnya. I wish it! (Aamiin)

Di samping itu, Singapore juga mengajarkan saya banyak hal. Salah satu kalimat dari Masjid Al-Fatah di daerah Orchard Road, seberang jalan Takashimaya dan Paragon Mall, diam-diam menegur saya yang kebetulan saat itu memang sedang lelah berjalan kaki "it is not the mountains ahead to climb that wear you out; it is the pebble in your shoe."


Hampir 10 menit saya tidak bergeming dari tempat saya menaruh sepatu di rak alas kaki di pelataran masjid. Saya agak mematung. Beberapa jamaah shalat dhuhur yang berdatangan dan berlalu lalang saya biarkan. Secara tidak sadar, Allah menjawab segala ujian yang sedang saya hadapi saat ini, kurang lebih maknanya menjadi "bukan gunung-gunung di depan yang akan sedang saya daki yang membuat saya lelah; tapi ada kerikil di sepatu saya." Letak salahnya bukan pada ujian-ujian hidup, tapi diri sendiri. Bagaimana saya harus lebih mengenal, lebih jujur, dan lebih terbuka pada diri saya sendiri. It is not about all, but it is all about you. Kira-kira seperti itulah teguran dari Allah di hari itu. Shalat dhuhur serta ashar saat itu tampak takzim dan saya merasa memiliki semangat baru untuk mempertanyakan diri sendiri bahwa 'why I started everything?'. Di dalam Masjid Al-Fatah, saya memilih untuk memisahkan diri dari rombongan sambil berkeliling Orchard Road seorang diri, menikmati keramaian Grand Park Orchard dan jalanan di sepanjang Paragon. Hal ini juga pernah saya lakukan ketika tiba di Kampoeng Arborek, Raja Ampat (cerita lengkapnya: klik disini). Terkadang, butuh juga melakukan muhasabah diri di negeri orang lain.

Meskipun saya pernah ke benua Amerika yang jaraknya jutaan mil dari Indonesia (cerita lengkapnya: klik disini), namun Singapore merupakan negara tetangga yang pertama kali saya kunjungi. Negara yang tertib, bersih, patuh, dan menaungi smart people, mirip dengan Philadelphia. Why I said like that? Ketika saya beristirahat sejenak di privekafe ini sangat terkenal di sekitaran Orchard Road dan sering digunakan para turis sebagai tempat diskusi atau makan siang. Letak kafe ini di sebelah toko Gucci di pelataran Paragon Mall—beberapa waiters mengajak saya berdiskusi secara bergantian. Topik pertama seputaran dengan 'teh', yang sebenarnya jauh-jauh hari saya sudah membaca banyak hal terkait Singapore. Teh TWG dan Dilmah merupakan ramuan teh yang terkenal di Singapore dan sering disajikan di kafe-kafe. Saya merasa diskusi terkait 'teh' hanya sekadar basa-basi sebelum menuju ke hal pokok diskusi, yaitu terkait pluralisme.

Entah ada badai apa, mereka membuka topik, yang awalnya saya hanya memancing dengan sedikit keluhan. Rata-rata para waiters di prive mengenyam pendidikan yang tinggi, saya merasa gap antara negara maju dan berkembang semakin tergerus. Ada yang lulusan Nanyang Business School, sekolah khusus barista di Australia, malah ada juga yang bekerja tahunan di Amerika hingga memilih Singapore sebagai tujuan karirnya. Sebenernya banyak kafe yang tersebar di daerah Orchard, kaya Amiral Atelier, Antoinette, Dazzling, Dean & Deluca, atau Greyhound Cafe—walaupun namanya mengadopsi dari kereta Greyhound di Philadelphia, tapi saya agak sangsi terhadap suasana kafenya, yang mungkin tidak menjurus ke arah rustic/vintage/retro. Ada juga kafe halal di Singapore yang layak untuk dicoba (lebih lengkap mengenai kafe halal di Singapore: klik disini). Namun dari seluruh kafe di Orchard, saya hanya berhenti sejenak ke prive seraya menemani rombongan ibu-ibu dari Harbourfront bay yang telanjur hangover. Untungnya, ibu-ibu ini mengikuti saran saya untuk memesan chamomile tea di prive, jadinya hangover yang dialami lumayan mereda dan semangat kembali untuk menjelajah.

Banyak orang menilai bahwa teh tidak terlalu baik untuk hangover, malah makin memparah kondisi, padahal bergantung dari jenis tehnya. Jika yang dikonsumsi jasmine tea, black tea, green tea, dan teh lainnya selain chamomile tea dan boricha tea tidak akan manjur. Ilmu ini saya dapatkan dari penjual Jaws Ddeokboki di Myeongdong ketika mengalami hangover tak berkesudahan selama transit di Incheon. Saat itu saya disuguhi boricha tea atau teh gandum yang dapat ditemui hanya di negeri gingseng. Alhamdulillah hangover reda dan bisa mendapatkan semangat kembali untuk bergerak. 

Selama 1 hari di Singapore, ada beberapa destinasi yang saya kunjungi bersama dengan tim pengembangan jaminan produk halal: 

Merlion park


Taman tengah kota ini menjadi destinasi awal ketika tiba di Singapore, taman ini lumayan panas dan menggerahkan. Untungnya, sejam sebelum perjalanan saya sudah memakai sunscreen SPF 50++ dari Kiehls yang tidak sengaja kebeli saat jalan-jalan iseng pasca money changer di BBC Plaza Indonesia. Allahuakbar bisa glowing sampe seharian dan potensi untuk kulit belang minim. Ditambah lagi, saya mengadakan mini-research melalui tulisan dari blog yosianurvia yang ternyata sangat berguna untuk survive selama berada di Singapore, seperti memakai atasan berbahan kaos selama berkeliling karena memang sangat panas cuacanya, membawa tisu basah dan tisu kering, toilet spray, hand sanitizer, serta perlengkapan pendukung lainnya. Terima kasih banyak, yosi! atas segala cerita yang ditumpahkan. I can survive so well in this country!

Saat tiba di taman ini, Merlion park lumayan sesak dengan kunjungan turis yang didominasi oleh turis Jepang. Saya dan tim pengembang sistem informasi halal juga sempat sok-sokan mencari 'chance' untuk berfoto bersama, walaupun sempat ada drama kena marah tukang fotonya karena asal menyerobot (hahaha jiwa indonesia masih terbawa). Merlion park menjadi taman yang bersih, soalnya pemerintah disini cukup keras, bergerak sedikit didenda. Makan di bus kena denda, membuang sampah dan menyebrang sembarangan kena denda, atau merokok di tempat yang berplatform juga kena denda. 



Kata tour guide, Singapore memiliki sisi pluralisme yang cukup tinggi. Kaum mongol dan melayu hidup dalam satu rumpun menganut agama islam meski populasinya hanya 14% dari jumlah penduduk Singapore. Penduduk Singapore didominasi oleh agama buddha yang sekitar 33%, sedangkan kaum kristiani menduduki posisi terbanyak kedua setelah penganut islam, yaitu sekitar 18%. Seluruh agama berbaur dan Singapore juga memiliki pendidikan keagamaan yang takzim hingga tersebar dari sudut ke sudut kota. Mereka toleran serta senantiasa hidup berdampingan dalam keanekaragaman. Selain itu, tour guide juga sempat bercerita 'mengapa Singapore tidak pernah macet?' karena negara maju memiliki aturan untuk membatasi penjualan kendaraan, terlebih mobil, tiap tahunnya dan pajak kendaraan (mulai urus sertifikat dll) disini sangat tinggi bisa sampai 1 milyar lebih. Jika tidak sangat kaya, sepertinya akan susah memiliki kendaraan pribadi di negara maju. Makanya tidak jarang ditemui transportasi umum di negara maju sangat ramai dan sesak oleh pengguna. 

Bugis street

Destinasi kedua setelah merlion park adalah bugis street. Seluruh kawasan ini tersebar bermacam distrik untuk berbelanja, hampir seluruh brand harian juga ada disini dengan skala banting harga. Sebagai contoh, semua kaos uniqlo (termasuk koleksinya yang kolaborasi dengan kaws, sesame street, dan lainnya) dipatok dengan harga $5! Sayangnya, saya tidak membeli karena bus tour sudah jalan ketika saya mengetahui hal ini (hahaha). Di lingkungan bugis, turis bisa berbelanja tanpa khawatir bangkrut, karena barang-barang di daerah bugis memiliki harga yang masuk akal. Saya berjalan menyusuri pasar bugis yang letaknya di perempatan jalan. Di tempat ini, saya hanya membeli kebutuhan diri sendiri dan oleh-oleh secukupnya, seperti tiger balm, gantungan kunci, pouch, selai nutella, dan milo sachet. Saya sarankan jika berbelanja ke pasar bugis, carilah barang yang sudah teruji secara rasa maupun kualitas, namun dengan harga yang miring. Jika ingin berbelanja coklat, saya sarankan tidak di pasar bugis, lebih baik ke Hershey's store yang ada di Sentosa Island. Meskipun Singapore adalah pusatnya berbelanja, tapi kita harus cerdas dalam membelanjakan uang, setuju?

Orchard road



Destinasi selanjutnya adalah Orchard road. Banyak berjajar mall dengan brand dunia terkenal di tempat ini, seperti Gucci, Jimmy Choo, GUESS, Marks & Spencer, Kinokuniya, dan masih banyak lagi. Jika tidak ingat bahwa saya diamanahi dua ibu-ibu yang masih hangover, mungkin saya sudah kalap untuk berkelana ke beberapa store dan menggandeng puluhan paper bag (because if shopping is your hobby, you will grap those without thinking hahaha, sekali lagi seluruh brand terkenal yang berjajar di sekitaran Orchard ditawarkan dengan harga yang tidak masuk akal. Contohnya, parfum Victoria Secret hanya $38 yang dimana di beberapa store di Indonesia menjualnya satu juta lebih). Alhamdulillah I am not spending my money loads. 

Kata tour guide, di sekitaran Orchard ada sebuah mall yang menjual seluruh barang dengan harga lebih tidak masuk akal, yaitu Lucky Plaza. Contohnya, Ritz chocolate dijual dengan harga di bawah $1! OMG dalam sen bukan dollar! sedangkan di Indonesia dijual ratusan ribu per piece-nya. Tapi kelemahannya, mall ini rawan dan sering terjadi penipuan setelah akad jual beli. Jika tidak pandai menjadi konsumen, kita akan tertipu. Semisal kita ingin membeli kamera yang diberi harga $800, namun kita menawar $500 dan penjual langsung menyetujui, yang diberikan ke tangan kita hanya body kameranya saja tanpa lensa atau ketika ingin membeli smartphone bisa jadi hanya diberikan casing tanpa mesin. Sudah banyak kejadian-kejadian janggal terjadi di Lucky Plaza. Namun jika jeli, kita bisa mendapatkan banyak barang hanya dengan $2. Semua itu bergantung keberuntungan dan diri sendiri, yah... namanya saja Lucky Plaza.

Sehari sebelum ke Singapore, sebenarnya saya sudah menyediakan semacam bucket list self-activities selama tiba di tempat-tempat tertentu. Mencoba ice cream berbalut waffer yang tersebar di jalanan Orchard menjadi salah satu aktivitas dalam daftar, selain berburu tiger balm di pasar bugis. Ice cream ini tersedia berbagai varian rasa dan dipatok dengan harga $1.20 atau sekitar Rp12.000. Saya memilih rasa peppermint chocochip untuk kali pertama, yang awalnya tertarik untuk memilih rasa vanilla cookies & cream. Tapi... saya merasa peppermint chocochip lebih menarik dan layak untuk dicoba. Overall, perihal rasa tidak jauh berbeda dengan ice cream glico, tebal dan cukup mengenyangkan. Tidak kalah dengan ice cream yang masuk ke supermarket besar. 


Sentosa island



Destinasi keempat adalah Sentosa island, disini tour guide memberikan waktu 40 menit hanya sekedar berfoto dan berkeliling halaman universal studio. Ketika rombongan sibuk berfoto di depan bola dunia universal, saya keliling mencari garret popcorn dan mampir ke Hershey's store. Untuk keberapa kalinya saya harus bilang, harga coklat di Hershey's store luar biasa tidak masuk akal. Hershey kisses dijual kiloan dan dihargai hanya $9! Seketika langsung heboh dan tidak habis pikir betapa murahnya! Ditambah lagi, coklat batangan yang sebesar lengan saya malah lagi promo buy 2 get 1! Reese white yang biasanya dihargai $4 menjadi $1! Wah... pantesan temen-temen saya banyak yang betah berkuliah bahkan rela berpindah tempat tinggal di Singapore. Negara yang futuristik, fasilitas lengkap, dan harga yang relevan bersahabat setara dengan kualitasnya.

Oiya, beberapa teman saya ada yang bertanya terkait budget yang saya habiskan untuk berbelanja selama 1 hari. Sebenernya saya termasuk kategori perempuan yang membeli kebutuhan secukupnya. Awalnya saya hanya menyediakan budget $200, namun ternyata I am just spending $110! Yeayy! Ini sudah termasuk belanja item ke seluruh destinasi yang dipijak, kaya pasar bugis, Orchard's ice cream, garret popcorn, dan Hershey's store loh. Saya bahkan takjub dengan pencapaian ini. Soalnya jika berbelanja ke daerah Alun-alun Indonesia mungkin akan spending much more than it.

Gardens by the bay

Destinasi terakhir atau akhir penjelajahan dari negeri ini adalah Gardens by the bay. Di tempat ini agenda hanya berfoto dikarenakan generator yang ingin dikunjungi ternyata ditutup sementara. Jika ingin melihat ke dalam harus membeli tiket kembali dan sepertinya itu tidak ada dalam itinerary milik travel agency. Untuk eksplor atau melihat event apa saja yang sedang diadakan disini bisa melihat ke situs resmi Gardens by the bay. Tiket masuk bisa reservasi secara online atau on the spot.





Akhir perjalanan ditutup dengan bercanda dan tertawa. Semua terlewati dengan begitu cepat tanpa drama-drama yang menguras energi serta kebatinan. Bersama dengan rombongan saya kembali ke tanah air dengan menggunakan bus dan transit di Harbourfront bay untuk berganti ferry menuju ke pelabuhan batam centre. Di belakang kapal ferry, saya juga sempat berteriak keras di laut untuk melepas ketegangan yang ada serta membuang penat selama bekerja. Perjalanan kali ini merupakan pengalaman sekaligus pencapaian yang luar biasa dalam hidup saya karena berhasil kembali ke tanah air tanpa hangover!


Steal your thought,


Dessy Amry Raykhamna

Minggu, 24 Maret 2019

Selama Satu Tahun Bekerja untuk Kementerian Agama

Mengabdi, hal yang tidak pernah saya bayangkan akan terwujud secepat ini di jalan usia yang seharusnya saya melanjutkan fakta idealis untuk duduk di jenjang Strata-2 di Fakultas Fine Art di New York. Jalan usia yang saya lewati saat ini sangat pelik dan terjal, bagai berjalan di atas aspal yang tidak rata atau bagai mengarungi samudera dengan ombak yang menggulung akan pasang. Bahkan tidak jarang, saya mengeluh di media sosial terkait banyak hal, seperti kemanusiaan, beban amanah, atau kadang ada klise mengenai ‘butir-butir pancasila’. Meskipun bagi sebagian orang, mengeluh di media sosial bukanlah tindakan yang perfeksionis, namun bagi saya hal tersebut merupakan suatu kegiatan yang manusiawi. Dari keluhan-keluahan tersebut, saya banyak belajar bahwa ‘seng didelok apik rung tentu apik tenan lan seng didelok bosok rung tentu bosok tenan’ atau (dalam bahasa Indonesia) ‘yang dilihat baik-baik saja belum tentu baik-baik saja dan yang dilihat buruk belum tentu benar-benar buruk’. Setiap manusia yang hidup pasti (sangat dianjurkan) memiliki masalah dan Allah akan senantiasa mengirimkan ujian-ujian bagi hambaNya selama masih belum dikebumikan untuk menggali potensi dalam dirinya. Jika sanggup bertahan, maka limpahan pahala dan pengampunan dosa (insyaAllah) akan menghujaninya. Sebaliknya, jika tidak sanggup bertahan, keimanan dan ketaqwaan akan diuji ‘apakah hamba ini masih on the track atau malah out of the track?’

Mengabdi, sekali lagi, bukanlah hal yang saya bayangkan akan terrealisasi meskipun dulu sempat memiliki mimpi untuk menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Saya tidak membual, hanya saja sedang bersyukur bahwa rencana Allah (ternyata) lebih ‘mengasyikkan’ untuk dijalani daripada jalan yang telah saya rencanakan, yang rata-rata di dalamnya penuh ambisi serta idealisme. Banyak terjadi gelombang pasang surut, saya merasa sedang ditempa oleh Allah dan hanya kesabaran yang berhak menjadi core of the core dalam menghadapi segala ujian.

366 hari bukanlah waktu yang sebentar untuk saya dapat beradaptasi dan tinggal dengan performansi terbaik dalam lingkup pemerintahan. Banyak dari kaum millenial menolak mentah-mentah untuk tergabung menjadi ‘abdi negara’, rata-rata mereka lebih memilih ‘mengabdi pada dollar’ atau ‘sapi perah perusahaan’. Berada dalam lingkungan pemerintahan banyak pandangan saya yang terpatahkan oleh sistem pemerintahan. Jauh sebelum saya mengatakan sanggup untuk bekerja membangun Indonesia dan rela terjun ke pemerintahan, seorang alumni Faculty of Law dari Michigan State University mengatakan hal ini tepat di acara tujuh harian almarhum Ayah, “nanti ketika Dessy terjun ke Kementerian Agama, jangan pernah meniatkan awal untuk mencari materi, bekerjalah ikhlas dengan niat untuk membantu negara. Sebenarnya saya tinggal di Amerika selama 5 tahun, sambil menempuh Strata-2 saya bekerja juga di Kedutaan Besar Indonesia. Sekarang, saya bekerja untuk urusan luar negeri di Unisma. Saya nggak mengharapkan apa-apa dari instansi, tapi mengabdi itu sebuah pekerjaan yang mulia, Dessy. Jangan pernah disia-siakan selama Allah menghendaki kesempatan itu saat ini, maka ambil itu. Barang kali nanti akan ada kesempatan yang lebih baik untuk belajar lagi. Kalau Dessy butuh Amerika buat belajar, yang penting beasiswa sudah digenggam, mereka juga fleksibel. Kapan pun Dessy taken, mereka siap. Saya dulu juga pakai scholarship dari USAID kok.” Seperti disiram telaga, beliau menyarankan saya mengabdi dulu pada negara untuk sementara waktu dan Mama juga sangat merestui langkah ini daripada saya tergesa-gesa untuk menempuh Strata-2 yang jaraknya jauh ketika beliau ingin berkunjung, 18 jam perjalanan dari Indonesia ke New York.

Selama menyelami 366 hari atau satu tahun, Kementerian Agama merupakan kementerian yang loyal versi saya. Saat ini media sedang membombardir instansi yang menaungi hajat hidup umat dengan berita-berita memilukan, yang saya rasa seorang menteri tidak mungkin melakukan hal tersebut. Mestinya publik mengingat kebaikan-kebaikannya bukan sebutir dugaan namun fitnah sudah menyebar tak terbendung bagai air bah yang meluap dan bersiap untuk meratakan tanah. Entah publik menilai apa, saya tidak peduli. Banyak kesempatan yang diberikan oleh Kementerian Agama pada saya. Salah satunya melibatkan saya dalam pembangunan sistem open data, hal ini merupakan mimpi besar dari Badan Pusat Statistik untuk mengintegrasikan data seluruh kementerian, narasumbernya saat itu adalah dua orang pejuang open data dari Filipina, Miss Gay dan Uncle John. Mereka merupakan representatif dari Paris21.


Pada acara ini, anak bangsabisa dibilang juga, saya diibaratkan anak-anak yang sedang bermain di dalam gedung karena usia yang kerap menjadi gap antara saya dengan pegawai-pegawai di Kementerian Agama. Sering mendengar celetukan “Dessy paling muda disini loh, kaya anak kecil masuk playground yah bla bla” dan sederetan lainnyadiberikan kepercayaan untuk menyelesaikan beberapa assignment terkait pandangan statistisi terhadap proses analisis dan pengumpulan data serta diamanahkan sebagai perwakilan Kementerian Agama secara mandiri. Hal ini menjadi kehormatan bagi anak bangsa pada kebhinekaan. Ada rasa haru, namun tidak bangga karena sudah memenuhi kewajiban untuk berada memimpin di garis depan kapanpun negara butuhkan.


Dapat dibilang, di acara ini saya juga dianggap ‘paling muda’ oleh panitia dan Miss Gay juga sempat mengatakan “you’re so young, dear” ketika di awal-awal perkenalan. Saya sempet minder sekian detik, tapi yaudahlah why teenager not attempt to break the rule is? Tapi.. dianggap jadi ‘paling muda’ saya jadi merasa bebas untuk sok kenal dan pro aktif everywhere (hahaha). Miss Gay banyak mengalami jatuh bangun selama membangun NSDS untuk negara berkembang dan saya juga sempat bertanya pada Miss Gay seputar pengembangan diri tentang mengapa beliau begitu passionate dan percaya diri, serta good looking as always. Beliau tersenyum sambil menatap saya lekat-lekat seolah ingin menyampaikan suatu hal dengan tekad membara, tapi pandangan matanya tetap sayu, "I suggest that (in the future) you're the future leader, Dessy. I would pray for your best future endeavors. Anyway, I got japan scholarship for human-resource development in 35 years old. I trained my self better and better. Prepare well is a must for me. Write a point to nail in the sticky dotes is my daily routine as a student. Also, I never fabricate the waste time." Pernyataan ini membuat saya menganga sekaligus merasa haru, beliau masih gigih memperjuangkan beasiswa. Menurut saya, hanya sedikit dan orang-orang terpilih saja yang memiliki jiwa juang seperti ini diusianya yang mungkin yah.. tidak muda. 

Selama satu tahun ini, Kementerian Agama menggunakan tenaga saya sebagai graphic designer, UI/UX integration, system analyst, business process analyst, technical writer, QA analyst, dan OWASP engineer untuk pengembangan proyek https://data.kemenag.go.id dan animator di https://kemenag.go.id dalam pengisian konten tertentu. Proyek https://data.kemenag.go.id sempat saya sampaikan juga dengan pihak Paris21 saat itu dan mereka sangat mengapresiasi bahwa Indonesia akan membangun National Sustainable Development Strategy (NSDS) yang sangat powerful dibandingkan milik negara berkembang lainnya yang telah dahulu membangun NSDS, seperti Mongolia (https://www.en.nso.mn/), Bangladesh (http://bbs.gov.bd/), Filipina (http://www.psa.gov.ph/), dan sebagainya. Proyek NSDS negara-negara ini telah diinkrisi oleh World Bank dan saya yakin Indonesia could be more and more magnificient than nowadays. Dalam pertemuan lintas negara dan kementerian dengan Paris21 ini perlahan membuka mata saya bahwa Indonesia memiliki beraneka ragam dan sumber daya manusia yang kokoh jika ingin dibudidayakan atau ditempa, mereka sedari dulu adalah bibit-bibit anak bangsa yang layak untuk diperjuangkan andaikan pemerintah menyadari hal itu. Sudahkah Anda tertarik bergabung bersama kami? Bersama membangun negeri yang hidup enggan mati pun tak mau?    

Steal your thought,

Dessy Amry Raykhamna