Selasa, 18 Februari 2020

Satu Tahun Setelah Ayah Pergi

"Allah telah bekerja dengan caraNya." 

 

Sudah setahun setelah Ayah meninggalkan saya sendirian di ibu kota. Masih sulit bagi saya untuk menerima segala ujian serta nikmat kehidupan yang Allah berikan. Bukannya tidak berusaha untuk bersyukur, namun adakah manusia yang bersedia jauh merantau meninggalkan zona nyamannya yang telah akrab bersua selama puluhan tahun? Saya yakin tidak ada. Meskipun tampak tegar, sejujurnya saya masih ragu mengapa Allah menuntun ke jalan ini? Jalan yang sedari awal bukan pilihan saya dan bukan yang saya inginkan. Mengawali berbagai pertemuan dengan banyak orang baru dan tentu saja, hati yang baru.

Setelah setahun saya menetap di ibu kota, saya belajar banyak arti kesabaran dan proses pendewasaan, serta mental juga banyak ditempa. Menangis di pukul 2 pagi di hadapanNya atau setelah berkirim yasin sudah menjadi kebiasaan setiap hari. Hadir di kantor dengan semangat baru seolah telah melupakan hal yang baru saja terjadi. Banyak filsuf di dunia yang menyampaikan, "barang siapa banyak tertawa, dia juga lah yang banyak mengonsumsi air mata." Kadang saya masih merasa kurang bersyukur dengan apa yang telah dicapai hari ini. Hingga pada suatu sepertiga malam, saya ditegur oleh bayangan Ayah melalui mimpi. Beliau diam-diam kembali menguatkan saya "kesuksesan bukan berarti harus menjadi pemilik pencapaian tertinggi, sebenarnya dengan apa yang telah kita genggam dan kita pertahankan sampai saat ini adalah kesuksesan yang terbesar. Jalani saja dulu, toh Allah juga sedang menguji hambaNya." Kemudian bayangan itu menghilang, tangan saya menggapai udara namun hanya angin yang tergenggam.

Satu tahun berjalan begitu cepat. Hari berganti hari, saya belajar untuk menjadi pribadi yang ikhlas, tapi sungguh hal itu sangat sesak. Realita sampai berada pada titik ini tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, melalui hari-hari tanpa Ayah tidak pernah ada di dalam benak. Tadi pagi, saya menemukan sebuah postingan dari blog listeninda yang sedang membahas hakikat hidup (ceritanya ada di: https://www.listeninda.com/2020/01/untuk-apa-hidup-ini.html). Manusia itu sering...

"Terjatuh, terjerembab, tenggelam, tersandung, terbentur,
sebelum akhirnya... terbentuk."

Bagaimanapun kondisinya patut disyukuri. Lahir ke dunia tidak bisa memilih untuk menjadi siapa atau memilih berjalan kemana. Semua sudah diatur. Fungsi manusia hanya beribadah, mempertahankan hidupnya, dan berjuang untuk masa depannya. Hanya sebatas itu. Paham liberalisme dan kapitalisme kadang membuat manusia kehilangan akal sehatnya apalagi jika sudah tercampur dengan politik, ah... seperti ingin mengasingkan diri berlari jauh ke Greenland. Beberapa hari lalu, saya sempat mendapat invitation untuk wawancara dengan salah satu youtuber terkenal, tapi saya menolak dengan alasan 'saya tidak ingin menjadi terkenal'. Dia menawarkan jika berkolaborasi, follower sosial media milik saya akan berada di angka yang fantastis, pengunjung blog akan membeludak, dan iming-iming ketenaran lainnya. Saya menolaknya. Mungkin banyak yang heran dan beberapa teman juga sempat memarahi saya "kenapa kamu buang kesempatan sebesar ini sih, ci?". Well, saya pernah menjadi wartawan selama 5 semester di salah satu koran nasional dan ketika membaca naskah untuk daftar pertanyaan wawancara yang disuguhkan, bisa saja nanti yang saya sampaikan ke publik justru statement yang mengorek beberapa luka lama yang sudah telanjur kering. Saya takut hal ini terjadi dan saya juga yakin Ayah tidak akan bangga dengan ketenaran karena memberikan citra buruk selama saya masih mengabdi.

Take or leave. Semuanya murni urusan seorang hamba, manusia lemah yang selalu berbuat salah. Setiap langkah ada resiko, saya tidak take karena wawancara ini sangat riskan dan memang hal itulah yang digemari oleh para wartawan. Satu tahun setelah Ayah pergi, tidak banyak yang berubah dari sisi finansial. Alhamdulillah... adik-adik saya masih ada alokasi untuk menempuh pendidikan hingga jenjang Strata-2, bahkan jika mereka menginginkan gelar doktor, it could be raised up soon. Meskipun dari sisi living cost, saya harus berjuang di atas kaki sendiri, bukan tidak ada alokasi anggaran, melainkan saya merupakan anak pertama dan sudah terlalu banyak memberikan beban pada kedua orang tua. Sudah selayaknya, saya mencari penghidupan mandiri, minimal dari sisi living cost serta tabungan masa depan. Selepas kepergian Ayah, hanya Allah yang membantu saya untuk berjuang dalam menghadapi pahitnya ibu kota, upah minimal 'dua digit' yang saya idealiskan setelah lulus sarjana, Alhamdulillah tercapai dan kini saya sedang mengupayakan untuk melipat-gandakan menjadi minimal 'tiga digit'.

Lantas, untuk apa? Mungkin pertanyaan ini yang terngiang. Banyak kebutuhan-kebutuhan serta impian yang ingin saya lakukan di masa depan termasuk menjadi relawan Palestina, melanjutkan pendidikan, menikah, berketurunan, dan serentetan bucket list yang telah direncanakan. Saya bersyukur Ayah memilih Mama sebagai pendamping hidupnya yang setia bersama hingga Jannah, InsyaAllah. Mama sering bilang

"Hidup itu jangan menghadap ke belakang terus, tapi menataplah lurus ke depan."

Kalimat ini sering menguatkan ketika saya telanjur lelah untuk menghadapi ketidakpastian dan lirik lagu 'I still love you' dari The Overtunes sepertinya mampu menjabarkan perasaan yang sedang dialami saat ini. Al-Fatihah untuk Ayah dan saya berharap, tahun ini dapat melalui segala ujian dengan baik. Amin allahuma amin.

If someday your feet can’t touch the ground If someday your arms can’t feel my touch If someday your eyes can’t see my face I’ll carry you, be there for you, any time of day Forever is a long time But I keep my words that I say to you Together we can go far As long as I’m with you Cause I will fall for you No matter what they say I still love you You’ll never be alone Now look me in the eyes I still love you ‘Till forever If someday you don’t recognize my voice If someday it seems so hard to breathe I promise you to give my all Oh like you do from the day I start to see Forever is a long time But I keep my words that I say to you Together we can go far As long as you’re with me I’ll keep you safe until you find What you’re looking for I’ll stay with you until you find Your way back home Now see me through my skin Your heart, it stays within I still love you


Steal your thought,


Dessy Amry Raykhamna

Rabu, 05 Februari 2020

Room Tour

Hampir dua tahun saya meninggalkan rumah untuk berkelana karir di ibu kota, jarangnya cerita ke blog sering disimpulkan oleh banyak pembaca kalau penulisnya sedang vakum atau tidak aktif di dunia maya. Sebenernya saya bisa luangkan 1-2 jam untuk menulis blog, tapi kenyataan tidak semudah itu, malas bergerak lebih kerap hinggap karena you know so well lah kesibukan ibu kota seolah-olah 24 jam itu kurang dan istirahat lebih diutamakan jika saya memiliki waktu luang. Room tour adalah ide sekaligus saran dari beberapa pembaca dunia maya dan teman-teman kuliah yang penasaran dengan pindahan kamar sekaligus workspace di awal 2017 (kelamaan yah hahaha sampe lapuk yang mau baca, tapi apa daya postingan ini numpuk di draft dan saya merasa sayang sekali kalau dihapus hiks). 

Sejak saya berpindah ke ibu kota, ruangan ini disewakan oleh Mama karena letaknya jauh sekali dari rumah utama jadi mau tidak mau seluruh pernak-pernik yang ada sudah ditaruh di gudang perkakas (huhuhu sedih sekali). Intinya, ketika saya pulang kampung, tidak punya kamar dan harus menumpang di kamar Mama. Tidak mungkin untuk menumpang di kamar adik-adik saya, yah karena mereka semua laki-laki. Dulu pernah saat masih sekolah dasar, kami bertiga sekamar dan sering ribut hanya soal bantal atau apalah hal yang kecil. Namun setelah saya memasuki akil baligh, kami berpisah kamar dan mulai menata kehidupan pribadi masing-masing. So far... jarak umur kami sangat dekat, hanya 2-3 tahun antar jenjang satu dengan lainnya. Jadinya kami pernah di suatu masa mengalami masa remaja atau curhat-curhat ala anak labil bersama-sama. Kadang kalau kami hangout bertiga, saya dikira perempuan yang mempermainkan dua hati kaum laki-laki (hahaha stigma terabsurd sih, tapi benar adanya). Saat kami hangout ke toko buku, mba-mba pramuniaga malah gibah soal hal ini di belakang kami. Saya dan kedua adik saya spontan ketawa kecil seraya berpura-pura menggerakkan siku ke kanan dan ke kiri. Rizda, adik laki-laki yang keduaremaja SMA yang kerap mengecap dirinya playboy dan hobi tebar pesona kesana-kemari. Alhasil, sampai putri kyai dan teman perempuannya sering terperangkap dengan perhatian tidak jelasnya itu. Selain itu, dia sering dianggap lebih dewasa oleh teman-teman sepermainannya padahal kalau malam dia selalu tidur ditemani Mama, suka memasak dan belanja serta lebih gemar memakai masker muka dibandingkan saya yang perempuan tulen. Ditambah lagi, dia paling malas kalau belajar, tapi nilainya selalu baik dan juara di setiap lomba apa saja. Dia juga menjadi anak yang paling rajin mengerjakan sunnah. Ahh jangan keterusan deskripsi bocah ini nanti kegeeran tuh orang hahahadia menyoraki mba-mba pramuniaga yang gibah di belakang kami dan menyapa "hai cantik..."  jurus ini membuat mba-mba pramuniaga itu langsung menyingkir dan akhirnya kami tertawa keras bergantian.


Kedua adik saya itu juga sering datang untuk menumpang istirahat ke ruangan ini, entah sepulang dari sekolah atau ekstrakulikuler. Selain mereka, Ayah juga super nyaman berada ruangan ini ketika istirahat kantor, sambil membuka jendela dan rebahan. Ruangan ini sangat dekat dengan kampus UNISMA dan Dinoyo Mall, strategis untuk menumpang istirahat para mahasiswa, ibu-ibu, serta dosen. Mama juga terkadang istirahat sejenak ke ruangan ini sehabis pulang dari pengajian ibu-ibu. Keluarga yang datang silih berganti kerap menyindir "tumben kamar kakak bersih dan rapi? habis salah makan ya, kak?".  Memang perlu diakui, ruangan ini adalah kamar ter-rapi dan paling tertata yang pernah saya miliki. Biasanya banyak cat dan kanvas berserakan di lantai atau kertas-kertas selepas gunting-gunting. Dulu sewaktu sekolah menengah, saya sering mengisi mading sekolah dan mengerjakan beberapa hal lainnya yang berbau kreatif atau terkait jurnalistik. Lomba sekolah juga dimasukinnya ke lomba mading, melukis, menggambar, kaligrafi, membuat komik, atau hal-hal seputar itu. Mau tidak mau memiliki kamar berantakan menjadi pemandangan sehari-hari. 



Ruangan ini sengaja saya bagi menjadi tiga sudut. Sudut pertama fokus pada workspace, hanya terdiri meja kayu dan kursi kantor yang sudah tidak terpakai. Also fyi, semua barang di sini mayoritas reusable things. Tidak ada yang baru sama sekali, kalaupun tampak baru, barang tersebut merupakan kado dari ulang tahun, wisuda, sidang, atau seminar hasil. Sudut kedua, adanya ruang untuk tatanan foto-foto dan poster business model canvas. Selanjutnya, sudut ketiga terpasang susunan rak perkakas yang telah dibagi dari sisi fungsional serta daya guna pada masing-masing slotnya. 

Overall, bahan-bahan yang terkandung dalam ketiga sudut dapat diuraikan seperti ini:
  • Papan gantungan untuk foto: hasil memotong besi penutup pagar.
  • Rak perkakas:  hasil memungut bekas wadah piring yang sudah mengelupas warnanya dan dicat kembali (cerita lengkapnya: klik disini). 
  • Papan mading: sisaan platform untuk pintu kamar mandi.
  • Hook, penjepit kayu, dan tali rotan:  hasil memilah barang di kardus perkakas di gudang rumah.



Beberapa teman sekolah menengah dan kuliah yang mampir juga menyatakan ruangan ini adalah kamar ter-rapi di dunia saya yang pernah mereka temui (maaf yaa gengs, saya memang perempuan yang tidak rapihan huhuhu). Banyak yang minta untuk diabadikan untuk kenang-kenangan yang sebenarnya hanya alibi untuk motivasi mereka beberes, bener kan? hahaha. I really and really understand what you mean, my absurd buddies. Semoga postingan kali ini dapat menginspirasi agar memulai beberes ruangan. What'cha think? 


Steal your thought,


Dessy Amry Raykhamna