Senin, 22 November 2021

Surat Kecil dari Calon Imamku

Bismillahirahmanirrahim. Assalamu'alaikum wr. wb. 

Menindaklanjuti hasil silaturahmi yang saya lakukan secara pribadi. Dengan niat dan tujuan yang tulus ikhlas mengikuti sunnah Rasulullah, saya mengkhitbah putri Ibu, yaitu Dessy Amry Raykhamna yang Alhamdulillah diterima langsung oleh ibu. 

Sekarang ini saya menunjukkan keseriusan dengan membawa Ibu dan Bapak saya serta perwakilan keluarga, secara resmi ingin menanyakan langsung kepada pihak terkait, yaitu Dessy. 

"Dengan disaksikan kedua belah pihak keluarga sekarang yang hadir di sini. Apakah Dessy bersedia menjadi calon istri saya?"

Your Future Husband,

V

Sepenggal surat ini memang terdengar sederhana, namun entah mengapa dibaca berulang kali pun rasanya seperti melayang ke planet lain (hahaha). Ketika menulis ini kebetulan hawa di Malang sedang hujan, tangan saya seolah tergerak untuk segera merangkai postingan karena vibes yang mendukung. Beberapa hari yang lalu, saya sempat dikhitbah resmi dan isi surat dari khitbah tersebut adalah rangkaian kalimat yang tertulis di atas. 

Dua kali saya meneteskan air mata, yang pertama adalah ketika beliau memberikan jawaban dari pertanyaan saya terkait 'kriteria apa yang Anda cari?' atau 'mengapa ingin menikah?', yah semacam itu dan seluruh jawabannya sama dengan yang saya pikirkan. Yang kedua, beliau memiliki prinsip yang sama antara hubungan perempuan dan laki-laki, serta caranya memperlakukan wanita begitu elegan. Siapa yang tidak menitikkan air mata haru ketika dengan tawadu' sosok itu mengunjungi Almarhum Ayah terlebih dahulu sebelum khitbah terang-terangan di hadapan Mama? Artinya, lelaki ini tidak fokus pada saya sebelum kalimat ijab terucap, namun niatnya memang lillah. Diantara kaum adam yang datang, tidak ada yang seperti beliau, berangkat dari hal tersebut, saya berinisiatif untuk melakukan shalat istikharah dan jawaban Allah seperti menuntun ke arahnya, tanpa diminta.

Sebenarnya proses yang diberikan oleh Allah begitu sederhana kali ini tidak seperti yang sebelum-sebelumnya (bahasan tentang hal ini: klik disini), namun bagi saya merupakan hal yang luar biasa. Setelah diflashback ternyata banyak hal-hal yang akhirnya terpecahkan. Pertama, 40 hari sebelum dikhitbah Almarhum Ayah datang ke mimpi saya, beliau menangis tanpa mengeluarkan suatu kata. Kedua, tengah malam saya tiba-tiba diajak jemaah oleh seorang ustadz dalam mimpi, dimana ustadz ini lebih condong mengajak untuk menjadi makmum rumah tangganya. Ketiga, saya pernah menulis di dalam buku 100 mimpi ketika mahasiswa baru di sana tertulis "menikah dengan seorang dosen" dan yang terakhir sudah sejak belia saya memendam sebuah mimpi, jika nanti dikhitbah oleh seorang muslim, saya ingin mahar Surah Ar-Rahman atau Al-Qur'an mini yang dapat menemani dalam menghafal untuk menggantikan Al-Qur'an yang diberikan oleh Ayah yang dapat dikatakan (ehem) sudah amburadul. Allahuakbar segalanya terkabul dalam satu waktu, padahal saya tidak pernah memanjatkannya sehabis sholat. Saya hanya membatin, jika mimpi itu terkabul wa syukurillah, jika tidak saya hanya menerima apa saja yang ditakdirkan oleh Sang Maha Perencana. Wallahu'alam bi shawab.


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna

Rabu, 20 Oktober 2021

Dear Imamku

Well, ini bukan tulisan tentang review sebuah sekuel drama atau novel yang sedang naik daun tempo hari lalu. Saya membahas hal ini hanya untuk menuangkan segala pikiran dan keluh kesah yang membanjiri benak akhir-akhir ini. Benar kata pepatah 'jodoh tidak akan datang tepat waktu, namun dia datang di waktu yang tepat'. Sudah membaca postingan Dear Fussilat:30? Yah, disana saya bercerita bahwa pernah dikhitbah oleh ustadz saya sendiri di usia yang terbilang cukup belia, 13 tahun. Ketika saya mencoba menggabung-gabungkan puzzle apa yang terjadi dalam hidup saya, ternyata segalanya saling terkait. 

Sebenarnya Allah menawarkan jodoh untuk kita berulang kali di tiap fase usia, namun terkadang kita abai menanggapi kode dari Allah. Bukan jodoh yang sulit ditemukan, melainkan manusiaNya lah yang rewel, didatangkan seorang Qori' yang taat, berkulit sawo matang, manis, dan sebagainya, dia menolak. Kemudian didatangkan lagi, seorang khamil Qur'an berkulit putih, tinggi, ganteng, dan sebagainya, dia menolak. Mau yang bagaimana lagi seorang hamba ini? Sampai bertemu dengan seseorang berkulit biru atau merah muda atau hitam legam? 

Ada juga teori Barat yang menyangkal: menemukan seorang jodoh yang cocok dan sempurna dengan kita ibarat mencari sepatu di Mall, tapi sekali lagi itu hanyalah sebuah klise. Nyatanya, tidak ada orang yang cocok dan sempurna dengan kita di dunia ini, bergantung dari cara kita how to deal with it, agree? Selama kita bisa menerima dia sebagai pasangan, baik buruknya, sifat, watak, dan sebagainya, bukanlah ini lebih baik? Jika kita mampu menerima segala tentang dia, maka telan dan jika tidak, maka lepaskan. Entah teori filsuf atau orang-orang di luar sana terkait pemahaman ini, akan tetapi yang saya pahami akhir-akhir ini adalah kita tidak lebih dari sekedar sebuah 'boneka' milik Allah yang diperintahkan untuk taat pada perintah serta laranganNya. Tidak ada toleransi. 

Menikah adalah ibadah dengan ladang pahala yang melimpah ruah di antara seluruh ibadah yang ada. Tidak ada salahnya jika kita bersikap Qanaah dari segala keputusan yang semesta tawarkan pada hambaNya. Sekali lagi, hidup itu pilihan: bertahan atau pergi, berdiri atau berlari, bangkit atau berserah, dan di antara probabilitas lainnya. Hidup memang selalu menawarkan pilihan-pilihan selucu ini. Baru seminggu lalu, saya mengalami Quarter of Life, wanita berusia 25 tahun di Indonesia merupakan hal yang tabu, dimana setumpuk pertanyaan tentang menikah seolah senang sekali ditanyakan. Terkadang ada yang intimidatif dan menyudutkan, hal ini memang terdengar aneh, jika kita sering memiliki circle 'bodoh amat' serta 'independen'. Meskipun selama ini saya menanggapi segala permasalahan dengan santai bahkan kelewat santai, namun bukan berarti tidak memikirkannya. Saya berikhtiar sebagaimana muslimah seharusnya dan ketika berada pada titik berserah, Allah tiba-tiba mendatangkan dua orang, dimana keduanya tidak saya kenal selama ini. Keduanya memiliki niatan untuk menjadikan saya sebagai pendampingnya, bukan yang datang kemudian isapan jempol belaka. Lantas, bagaimana saya harus beristikhoroh?

Istikhoroh sejatinya memang harus dilakukan hanya dan hanya jika seorang hamba belum yakin akan pilihanNya dan perasaan di dalam hati haruslah netral, tidak memihak pilihan manapun. Karena jika di dalam hati seorang hamba telah memihak meski secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi, istikhoroh tersebut akan bersifat obyektif. Istikhoroh ini dapat dilakukan ketika seorang hamba telah melakukan amalan jodoh, kemudian Allah datangkan pilihan, dan barulah kita dapat bangun di sepertigamalam untuk melaksanakan shalat tahajud 8 rakaat, shalat istikhoroh 2 rakaat, serta witr 1-3 rakaat (seikhlasnya hehe). Istikhoroh ini sifatnya sunnah, jadi... jika kita sudah yakin akan seseorang dan yang datang tidak ada pilihan lain selain orang tersebut, silakan tidak istikhoroh, cukup mengucapkan 'bismillah' kemudian yakinkan hati untuk melangkah ke jenjang berikutnya.

Ada sebuah surat yang saya tulis dalam benak ketika telah yakin akan pilihan Allah, yang  awalnya saya meragu dan galau tidak menentu karena segalanya serba mendadak dan tidak disangka-sangka. Namun entah mengapa di saat meragu, ada saja cara Allah untuk membuat saya yakin. Akhirnya tanpa disangka, perasaan, otak, dan jemari saya saling berkoordinasi untuk menuliskan serangkaian paragraf:


Dear Imamku,

Aku menulis ini ketika bulan berubah kemerahan dan angkasa masih berselimut kabut hitam. Sejak belia, aku selalu meminta pada Rabb-ku untuk tidak menjatuhkan hati pada siapapun, kecuali pada kaum Adam yang kelak menjadi imamku, aku tak ingin hati ini ternoda dengan perasaan yang seharusnya tak kumiliki sebelum akad terucap. Hal itu selalu kulangitkan dan berharap istiqomah dijaga seperti sosok Sayyidina Fatimah. 

Mungkin lisanku mudah berkata, tapi tidak dengan hatiku. Wa syukurillah, doaku diijabah dan Allah jaga sampai hari ini. Aku tak pernah meminta sosok pendamping bak novel, yang kuminta pada Rabb-ku hanya satu "aku ingin dia adalah seseorang yang memiliki Qur'an di hatinya." 

Kemudian, Allah pertemukan dengan seorang dosen muda sekaligus santri. Dia adalah sosok yang perfeksionis, cuek, dan dingin. Mirip sosok di dalam novel kan? Tidak jauh-jauh dari sifat Pak Alif dalam "Assalamu'alaikum Calon Imam" dan "Diaku Imamku". Dia ibarat gunung es yang butuh buldoser untuk meruntuhkan kebekuan di hatinya. Dia ibarat ambulan unit gawat darurat yang tiba-tiba datang, kemudian mengkhitbah. Dia adalah manusia yang sulit kuterka isi pikiran serta hatinya hingga aku butuh pemikiran ekstra untuk memahami sosok itu sampai saat ini, but I love all challenges and I enjoy those every piece with you.

Imamku, Ayah menitipkanku padamu untuk kau bimbing, kau yang menjadi imam shalatku, imam rumah tanggaku, imam dari segalaku, serta imam dunia akhiratku. Semoga kelak kisah cinta kita seperti Sayyidina Ali dan Fatimah dipadu Nabi Adam dan Hawa. Karena menemukan jodoh sejatinya memang tidak pernah mudah, Hawa tidak pernah selonjoran di teras masjid saja hanya untuk bertemu Adam, begitu pula sebaliknya.

Then... last but not least, thank you so much Mas Dosen, yang telah menerima segala tentangku, aku yang  berisik, suka cerita, extrovert, dan... hobi nanya apapun (hahaha). So glad to have you in my life and live. Meski aku nggak ingat segala awal tentangmu, tapi mulai hari ini dan seterusnya I'll memorize all of you (jiahh... kurang romantis apa coba? :p)

Dari mahasiswa dunia akhiratmu, Dessy. 


Surat ini merupakan reka ulang yang telah disunting dari calon caption feed instagram yang telah tertimbun beberapa hari yang lalu. Saya sengaja mempostingnya ketika nanti sudah hampir mendekati hari pernikahan, supaya bisa dibaca berulang kali sekaligus sebagai reminder diri. 


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna

Selasa, 31 Agustus 2021

Orang-orang Serakah

Berulang kali hati saya patah karena banyaknya menyaksikan ketidakadilan yang sering terjadi di dalam sebuah instansi pemerintahan. Saya bisa menghakimi untuk memukul rata bahwa bekerja di bawah pemerintahan memang fardhu 'ain untuk memiliki mental yang kuat dan stok kesabaran seluas samudera. Bagi mereka yang gemar dengan uji mental, bekerja di bawah pemerintahan adalah solusi mutlak. Orang berkategori baik di dalamnya akan sering diinjak dan diremehkan, bukan malah diperjuangkan, namun malah dicurangi, is that right? 

Usia memang bukan jaminan seseorang memiliki mental dewasa, tapi usia dapat menjadi tolak ukur seseorang dianggap cerdas atau berotak bulus. Jarang-jarang saya menumpahkan segala hal yang dirasakan sangat privasi ke dalam sebuah postingan, hal ini dikarenakan masalah yang saya rasakan sudah sangat menumpuk dan saatnya untuk dibagikan agar dijadikan pelajaran hidup. 

Saya mendedikasikan diri bertahun-tahun di sebuah unit besar dan instansi yang tampak kokoh, bukan berarti tanpa masalah, justru semakin tinggi instansi yang diduduki, maka akan semakin banyak masalah yang dikonsumsi. Tidak jarang orang-orang di sekitar saya menjelma menjadi serakah dalam waktu yang singkat. Saya tidak mengkritisi unit atau instansinya, melainkan orang-orang yang terlibat bekerja di dalamnya. Rata-rata mereka berasal dari kaum menengah ke bawah, bukan juga kaum sultan atau sejenisnya. Namun mereka memiliki gengsi yang tinggi dan gaya hidup yang tidak normal, menurut saya. Ada salah seorang di tempat saya bekerja, sebut saja dengan inisial ID. Saya benar-benar heran dengan spesies ini. 

ID bukan lah seorang berpendidikan IT, namun bisa-bisanya mengajukan diri menjadi seorang system analyst (yang mungkin jika dia bekerja di Sillicon Valley atau perusahaan IT lainnya sudah ditertawakan). Bahkan lucunya, ID tidak memahami apa saja yang harus dikerjakan sebagai seorang system analyst (i may told that's why pentingnya sebuah gelar dan perkuliahan, yah untuk membuktikan bahwa seseorang tersebut memiliki kredibilitas di bidangnya). ID memiliki hobi untuk ikut-ikutan hype, jika berbicara sedikit congkak, ada titisan menjadi serakah, terkadang amat sangat sok tahu atau bahasa jawanya keminter, dan paling gengsi untuk mengakui kelemahannya. Saya tidak bermaksud untuk menjustifikasi seseorang, tentu ID juga memiliki sisi positif, namun sayangnya yang tampak di pelupuk mata hanya sikapnya yang hobi mencurangi saya. Saya hanya meyayangkan hidupnya, jika selama puluhan tahun hanya didedikasikan untuk berbuat zhalim. Nauzubillah tsumma nauzubillah. 

Dapat saya katakan, ID ini termasuk kategori orang yang toxic di dalam lingkungan sosial. Harta yang dimilikinya tidak seberapa, namun memaksa untuk memiliki gaya hidup setara sultan, saya turut prihatin dengan mentalitas yang dimilikinya. Selain itu, sebagai teman sesama muslim, saya ikut nelangsa, saya kasihan dengan Ayahnya di akhirat. Bagaimana nanti bisa memikul beban anak-anaknya? Apa yang akan dijawab Ayahnya ketika ditanya oleh malaikat nanti? Hal inilah mengapa setiap anak yang lahir ke dunia diwajibkan untuk mempelajari ilmu agama. Jika suatu hari dia diuji oleh harta, dia tidak silau. 

Letakkan dunia hanya dalam genggaman, bekerjalah seolah kita akan hidup selamanya dan beribadahlah seolah kita akan mati esok hari.

Nasehat ini bukanlah sekedar omong kosong. Kasus ID ini bukan yang pertama kali menimpa saya, namun ada beberapa banyak kasus sebelumnya. Saya juga memiliki kenalan dua orang lainnya, sebut saja HS dan RY. Kedua orang tersebut juga memiliki sisi yang hampir mirip dengan ID, namun tidak tampak dan hanya beberapa orang yang memahami bahwa mereka adalah bunglon dan ular yang menyamar. Entah mengapa sekeras apapun mereka berusaha menzhalimi seseorang, suatu hari orang yang terzhalimi tidak mungkin tidak paham atau sekeras apapun mereka berusaha membodohi seseorang, suatu hari kebenaran pasti terkuak. Wallahu'alam bi showab

Menjadi serakah itu murni pilihan seorang hamba, bejibun kitab yang turun ke dunia, hanya perlu manusia-Nya lah yang bergerak untuk mengambil intisari kitab tersebut. Saya bukannya sok menghakimi atau menganggap diri ini suci tanpa berlumur dosa, tidak sama sekali. Hanya saja saya cukup heran dengan spesies-spesies yang berada di sekitar saya ternyata tidak sekokoh yang saya kira. Mereka sangat senang semena-mena terhadap orang lain, hak anak yatim tanpa segan mereka rampas. Saya hanya sanggup berdoa, semoga mereka merasakan ketidakadilan yang lebih parah di dunia serta akhirat dan keluarga saya senantiasa diberikan kesehatan serta rezeki yang barokah. Amiin allahuma amiin


Steal your thought!


Dessy Amry Raykhamna