Senin, 28 Desember 2020

Dear Fussilat:30

Seminggu yang lalu, saya sengaja pulang kampung ke Malang untuk acara seribu hari Ayah (cerita lengkapnya: klik di sini). Pulang kampung kali ini benar-benar berbeda seperti yang sebelum-sebelumnya, pulang kampung di tengah pandemi tidak pernah terbayangkan. Dua kali shalat hari raya pada idul fitri dan idul adha, semua saya lakukan dengan munfarid, bahkan pendidikan magister yang seharusnya dilakukan di tahun ini, terpaksa di waiver kembali, sampai admisinya New York University lelah mungkin menanggapi email saya. Untungnya, saya dapat dekan yang baik hati dan memahami kondisi, jadinya waiver semaunya tidak masalah. Jarang sekali ada universitas di dunia yang mengindahkan waiver soalnya. Why I can do it? Tidak bisa saya ceritakan di sini, through personal chat maybe? (hahaha).

Then, pulang kampung kali ini sedikit menggelitik diri saya. Ada sebuah fakta unik yang saya temui, meski kisah ini sudah belasan tahun lamanya dan memang di saat itu saya menyimpan banyak tanda tanya. Tanda tanya itu akhirnya terjawab hari ini, antara lega dan bingung, walaupun banyak sastrawan yang bilang "semua yang di dunia ini tidak perlu ada jawaban, mungkin tanpa jawaban bisa menjadi jawaban yang lebih baik", namun apa daya saya hanyalah manusia yang haus akan keingintahuan. Meski terlambat tahu, lebih baik tahu daripada tidak tahu sama sekali. 

Belasan tahun lalu, saat saya masih smp, ada seorang ustadz yang masyaAllah memberikan sebuah lukisan kaligrafi Surah Fussilat:30. Pada zaman itu, entah bagaimana ceritanya, dia mengkhitbah saya di depan kedua orang tua saya. Padahal jarak umur kami cukup jauh, dia mahasiswa dan saya murid smp. Dengar-dengar dari berita ibu-ibu (hahaha bukan bermaksud ghibah), dia merupakan calon menantu idaman, suaranya indah ketika melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, pandai berbahasa arab, dan karya kaligrafinya selalu membuat mata terbelalak takjub. Saya yang masih smp, tentu belum terlalu memberikan kesan sampai sejauh itu. Kami dekat sebagai guru dan murid di sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'an, dia sering mengajak saya berdebat berbagai hal, mulai hal remeh sampai ketauhidan. Entah obrolan apa saja yang membuat kita betah berdebat berlama-lama. Dia juga pernah bilang kalau pemikiran saya berbeda dengan murid smp kebanyakan. Saat itu, saya tidak terlalu ambil pusing dan pernah ada sekelebat rasa aneh yang menelisik, namun pikiran saya kembali bertanya 'akankah mungkin kita bisa disatukan? it is too impossible'. For we're in different age and he's my teacher, isn't it strange if teacher and student are together? Probably, we may accidentally provide boundaries in the future, am I right?

Seiring berjalannya waktu, saya menemukan hal unik lainnya: banyak wanita yang segan meminangnya, dari ustadzah hingga calon dokter, but he rejected all of them. Akhirnya, muncul pertanyaan why he chosen me? Awalnya, saya mengira semua ini hanyalah sebuah drama atau permainan yang sedang diperankan/dimainkan. Tapi lagi-lagi, semua orang di sekeliling saya mengatakan bahwa semua hal ini adalah keseriusan dan saya pahamnya setelah Mama menceritakan segala hal yang terjadi di masa lalu pada hari ini. Teka-teki di benak saya terjawab sudah, antara lega sekaligus bingung: why everyone tells me now? Not a long time ago? alasannya adalah because you're just a kid. Why a kid can't know? Are you worried we will do reckless?

Hari ini saya menyadari suatu hal bahwa menyukai seseorang memang tidak memandang usia, status (entah dia guru atau murid), atau apapun itu asalkan saling nyaman, it is enough. He made me learn everything about heart, besides knowledge of Qur'an (jiahh hahaha).  This is a letter for him:


Dear Fussilat:30, 

Jika menemukan tulisan ini, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas segala yang terjadi di masa lalu. Terima kasih juga telah mengikhlaskanku untuk menapaki jalan kehidupan yang lebih luas, berkat keputusanmu, aku bisa menjelajah bumi Allah. Aku yakin, saat ini kamu telah menemukan jannah yang kamu maksud dalam Surah Fussilat:30, karena saat ini aku juga sedang mencari jannah-ku. Jika aku memiliki kesalahan di masa lalu, maafkan atas ketidakpekaan dan ketidaktahuanku, kini aku memahami arti di balik Surah Fussilat:30. Kamu akan selalu aku anggap sebagai guruku hingga kapan pun dan aku akan selalu menghormatimu. Doakan aku agar dapat meraih jannah dunia dan akhiratku. Semoga kamu sekeluarga bahagia dan sehat selalu :')

Yang selamanya menjadi muridmu, Dessy.


Kata-kata di dalam surat itu entah mengapa baru dapat saya ungkapkan hari ini. Mungkin karena saat ini saya sudah menjadi lebih dewasa. Ditinggalkan atau meninggalkan bukan lagi perkara yang harus ditakuti, kalau dulu saya sering mengaduh perih dan menangis dalam diam hanya karena ketelan permen, sekarang meski ada kerikil atau batu besar di depan sana, menangis bukan lagi solusi efektif. Tidak ada yang melarang untuk menangis, toh menangis bisa meminimalisir beban walau tidak banyak. Hanya saja, jika hanya menangis tidak akan ada solusi, lebih baik waktu yang ada dipergunakan untuk berkarya lebih banyak. 


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna

Sabtu, 18 April 2020

Dari Marina ke Marina Bay Sands

"As a developer, working on the stage is really great voice." 
—Morgan Freeman

Serasa sudah digariskan, seluruh tempat yang dipijaki berelasi dengan hal yang dialami. Ketika menulis postingan ini sebenernya saya sedikit merinding dan keheranan dengan jalan yang Allah berikan, seolah sudah diatur dengan rapi. Seperti yang dikatakan Morgan Freeman, seorang developer pasti adakalanya butuh working on the stage selama siklus perjalanannya. Saya tidak pernah menyangka bahwa terjun ke ranah pemerintahan akan  mengonsumsi banyak drama yang begitu pelik. Ranah pemerintahan memaksa developer untuk memahami seluruh sisi stakeholder, baik dari sisi budgeting, work load, hingga requirement yang sering berubah-ubah. 

Terlibat dalam berbagai proyek dan perjalanan (project and travel demands) di ranah pemerintahan, sering mengajak saya  untuk berpikir pragmatis dalam posisi apapun dan dimanapun. Sebagai contoh, ketika terlibat diproyek Satu Data Kementerian Agama di Biro Humas, Data, dan Informasi (https://data.kemenag.go.id), saya diajak untuk mengikuti perjalanan ke 5 ibu kota pada 5 provinsi, seperti Semarang di Jawa Tengah, Padang di Sumatera Barat, Banjarmasin di Kalimantan Selatan, Denpasar di Bali, dan Bandung di Jawa Barat. Proyek ini dibangun oleh 4 orang, 1 project owner (pak yudi), 2 developer (mas ryan dan mas iqbal), dan saya sebagai mockup designer/technical writer

Kunjungan ke beberapa provinsi di Indonesia tidak pernah terbayangkan dan bahkan tidak  tercatat dalam buku dream planner milik saya. Semuanya terjadi secara mendadak dan tidak disengaja. Hal inilah yang membuat saya keheranan sekaligus bersyukur pada Allah sudah memampirkan ke beberapa provinsi, dimana menginjakkan kaki di tempat ini tidak mungkin terpikirkan. Dari perjalanan ini, saya juga disadarkan bahwa Indonesia lebih indah dan lebih kaya daripada negara manapun. Banyak makanan daerah yang menyimpan keunikan, alam yang asri, dan pribadi yang ramah. Perjalanan pertama dimulai dengan kunjungan ke Jawa Tengah, meeting point dipusatkan di Semarang yang bertindak sebagai ibu kota provinsi dan berakhir di Singaporetentunya berbeda proyek dan adanya penambahan personil yang terlibat. Di proyek ini, personil developer bertambah 1 orang yang berperan sebagai Back-end Developer. Terkait proyek yang telah membawa saya ke Singapore akan dibahas pada postingan yang berbeda. Saya hanya ingin membahas keterkaitan tempat yang dikunjungi selama terlibat dalam beberapa proyek di Kementerian Agama. 

Pantai Marina, Semarang

Salah satu kunjungan yang membuat saya tertawa lebar adalah Jawa Tengah. Provinsi yang penuh dengan keramahan dan kesederhanaan. Kota-kota di Amerika pun, baik New York, San Francisco, Philadelphia, atau Cleveland, tidak ada yang memiliki atmosfer seperti Semarang. Banyak destinasi wisata yang terkenal (Lawang Sewu, Klenteng Sam Pho Khong, Ayana Gedang Songo, Pagoda, Pondok Kopi, Watu Gunung, Curug Lawe, dan destinasi lainnya) serta memiliki sajian menu yang sangat layak untuk dicicipi (Bandeng Juwana, Lumpia, Kue Mochi, Tahu Bakso, Kerupuk Gendar, Garang Asem, Babat Gongso, Wedang Tahu, dan masih banyak lagi). 

Sayangnya selama di Semarang, saya tidak berkunjung ke destinasi tersebut dikarenakan waktu yang padat, hanya 4 hari dimana 3 hari fullboard acara di Aston Semarang Hotel & Convention Center, sisanya saya self-charging dengan bertemu Papilaya Lugita dan Aldina Hanifah Agni, yang merupakan teman semasa sekolah menengah di Telkom Sandhy Putra Malang. Meskipun sangat padat, tiba-tiba saat siang hampir menjelang sore di hari terakhir, saya diajak bernapas sejenak sama mas ryan dan mas iqbal untuk melihat sunset di Pantai Marina! Letak pantai ini tidak begitu jauh dari homestay tempat kami tinggal, hanya beberapa menit jika ditempuh menggunakan kendaraan umum. 


Pantai Marina ini tidak terlalu besar, berjalan kaki sebentar sudah sampai di ujung pantai. Banyak berjajar batu besar di pinggiran pantai dan tidak sedikit sampah yang berserakan. Meskipun demikian, Alhamdulillah masih diberikan kesempatan sejenak oleh Allah untuk melihat kebesaranNya. Beban yang selama ini ada di pundak perlahan menjadi ringan dengan menghirup bau pasir pantai, deburan ombak, dan matahari tenggelam seraya tertawa bersama di tengah deadline proyek yang seperti ombak. 

Soll Marina, Serpong


Entah bagaimana Allah mengaturnya, seiring berjalannya waktu, kami dilibatkan di berbagai proyek. Salah satunya pembangunan sistem informasi halal atau sihalal (https://si.halal.go.id). Tim yang tadinya hanya bertiga, bertambah 1 personil sebagai Back-End Developer, yaitu mas hasan. Tim kami menjadi semakin penuh warna dan berjalan lebih terarah semenjak kehadiran mas hasan. Ohya, meskipun di tim ini saya menjadi yang paling muda, tapi.. mereka tidak membeda-bedakan. Saya tetap diperlakukan sebagai rekan  sesama satu tim, walaupun saya lebih sering merepotkan mereka (hehehe). 

Di proyek sihalal, kami memiliki schedule meeting di Soll Marina untuk membahas proses bisnis dalam sistem sekaligus QA pada beberapa proses bisnis yang sudah didevelopSelain diskusi atau ngoding bareng, kami juga sering mencari kegiatan absurd di sela-sela waktu, terutama saat stuck atau sedang bosen sama rutinitas. Beberapa kegiatan absurd (dianggap sebagai hiburan, red) yang pernah kami lakukan secara kompak, diantaranya: masak ramyeon, jajan shihlin sama gulu-gulu, makan kuaci sambil curhat, mencicipi marugame udon, jajan starbucks sambil curhat, nonton the avengers, bahkan sampai naik hewan-hewanan di mall. It's an unforgettable moment and I'll memorize until then! (hahaha).



Soll Marina menjadi destinasi ke sekian kali setelah bertemu dengan tempat lainnya yang memiliki nama berembel-embelkan 'marina'. Di tempat ini, kami melakukan pembenahan alur bisnis (business process) dan development sihalal pada waktu yang bersamaan. Di tengah-tengah development, kami juga sempat untuk rehat sejenak dengan berkunjung  ke Summarecon Mall untuk jajan gulu-gulu dan mencoba wahana hewan-hewanan (yang seharusnya dinaiki oleh anak-anak dan balita, tapi lucunya kakak-kakak abangable ini menuruti ide absurd yang saya ajukan hahaha). 

Marina Bay Sands, Singapore

Kunjungan selanjutnya adalah Batam di Kepulauan Riau dalam rangka melanjutkan proses development sihalal serta pembahasan Keputusan Menteri Agama (KMA) terkait sihalal, yang berlanjut menyebrang ke Singapore. Bertepatan dengan 2 Desember, dimana usia saya bertambah menjadi 23 tahun. Pertama kalinya saya berani menyebrang dengan ferry tanpa hangover, ditambah berbeda negara pula! Jika keluarga saya menyaksikan, mungkin mereka akan bertepuk tangan dan menyelamati karena saya berhasil mengusir ketakutan dengan kapal laut. Alhamdulillah-nya lagi, berkeliling Singapore menggunakan bus tanpa hangover! Dimana bus menjadi salah satu transportasi yang paling saya takuti sebelum kapal laut, aroma bus bisa membuat saya rentan hangover. Terakhir saya naik bus saat taman kanak-kanak dan berakhir menyerah ikut darmawisata apapun dengan bus. Allahuakbar, Allah Maha Pengatur segalanya, saya berhasil mengusir rasa takut selama berkeliling negara ini. What a wonderful year! 

Selama ini dapat dikatakan, saya merupakan orang yang pemilih jika bersangkutan dengan masalah transportasi. Mulai maskapai sampai jenis mobil, saya tergolong orang yang sangat rewel. Itulah yang menyebabkan keluarga saya malas untuk membawa saya bepergian kemanapun. Mereka lebih sering berwisata mandiri dan saya lebih sering di rumah sendirian. So sad, tapi yah mau gimana lagi, namanya rasa takut hangover kalo dipaksakan malah akan terjadi. Menjadi berani memang membutuhkan proses, Singapore menjadi saksi langkah perubahan saya untuk berani dan mengubah mindset untuk tidak rewel dengan transportasi apapun. Thank you so much, ya Allah telah memberi saya kesempatan untuk menjadi berani. Tim sihalal, orang-orang terdekat di Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH), dan beberapa orang yang telah menyemangati, terima kasih banyak! Ohya cerita selama menjelajah Singapore ini telah saya bahas di postingan sebelumnya (postingan sebelumnya: klik disini). 



Banyak warna dan drama yang kami konsumsi selama menjadi tim. Terkadang susah dan senang dibagi, tapi mayoritas lebih banyak terzhaliminya (hahaha namanya juga roda kehidupan, kalo flat aja berarti tidak hidup). Teruntuk tim sihalal, meskipun produk yang dikembangkan telah terhenti development, saya mengucapkan:

"Terima kasih telah menjadi tim yang memberikan banyak warna dan drama sepanjang hidup saya, menjadi kakak-kakak abangable yang rajin mengingatkan dan menasehati jika saya berbuat salah serta banyak membantu di kala saya panik menghadapi error."

3 destinasi ini meninggalkan kisah masing-masing. 3 destinasi yang sepertinya memiliki benang merah dalam siklus perjalanan tim saya dan be a part of global changing of indonesia government adalah salah satu mimpi dalam hidup saya. Jika di masa depan, ada destinasi dengan nama serupa berarti memang kehendak illahi yang mendorong kami untuk semakin menjelajah dan berproses. 

Steal your thought,


Dessy Amry Raykhamna

Sabtu, 11 April 2020

Unpublished Project

Beberapa bulan yang lalu, saya sempat terlibat proyek yang berkenaan dengan data anggaran dimana pada workflow sistem yang akan dibangun melibatkan integrasi antara basis data milik Kementerian Keuangan dengan Kementerian Agama. Sayangnya, proyek ini terhenti begitu saja disebabkan alasan klise 'keterbatasan anggaran instansi' (maksudnya: tidak bisa merencanakan anggaran kegiatan dengan baik). Padahal garapan saya pada sisi branding dan mock-up sudah selesai dan produk ready untuk dipresentasikan pada stakeholder. Hal ini bukan satu atau dua kali menimpa saya, berulang kali, di berbagai proyek. Ranah pemerintahan sejatinya memang seperti itu, produk yang dikerjakan ketika benar-benar butuh seperti ibarat membangun candi semalam, namun jika tidak benar-benar butuh langsung dihilangkan seperti menyapu daun kering di pelataran rumah. Menyedihkan ya? Tapi memang itulah kenyataan yang saya rasakan selama dua tahun mengabdi di lingkungan pemerintahan, mau tidak mau atau suka tidak suka kita harus bisa 'legowo' atau dapat memahami dan menerima segala sesuatunya dengan baik yang dimana kita  juga dipaksa untuk mengendalikan ego idealis yang kita miliki.

Saya merasa bahwa meskipun proyek ini terhenti dan belum sempat diterbitkan ke publik, setidaknya saya bangga pernah terlibat di dalamnya. Here was the unpublished project that I worked some months ago. 




Steal your thought,


Dessy Amry Raykhamna

Selasa, 18 Februari 2020

Satu Tahun Setelah Ayah Pergi

"Allah telah bekerja dengan caraNya." 

 

Sudah setahun setelah Ayah meninggalkan saya sendirian di ibu kota. Masih sulit bagi saya untuk menerima segala ujian serta nikmat kehidupan yang Allah berikan. Bukannya tidak berusaha untuk bersyukur, namun adakah manusia yang bersedia jauh merantau meninggalkan zona nyamannya yang telah akrab bersua selama puluhan tahun? Saya yakin tidak ada. Meskipun tampak tegar, sejujurnya saya masih ragu mengapa Allah menuntun ke jalan ini? Jalan yang sedari awal bukan pilihan saya dan bukan yang saya inginkan. Mengawali berbagai pertemuan dengan banyak orang baru dan tentu saja, hati yang baru.

Setelah setahun saya menetap di ibu kota, saya belajar banyak arti kesabaran dan proses pendewasaan, serta mental juga banyak ditempa. Menangis di pukul 2 pagi di hadapanNya atau setelah berkirim yasin sudah menjadi kebiasaan setiap hari. Hadir di kantor dengan semangat baru seolah telah melupakan hal yang baru saja terjadi. Banyak filsuf di dunia yang menyampaikan, "barang siapa banyak tertawa, dia juga lah yang banyak mengonsumsi air mata." Kadang saya masih merasa kurang bersyukur dengan apa yang telah dicapai hari ini. Hingga pada suatu sepertiga malam, saya ditegur oleh bayangan Ayah melalui mimpi. Beliau diam-diam kembali menguatkan saya "kesuksesan bukan berarti harus menjadi pemilik pencapaian tertinggi, sebenarnya dengan apa yang telah kita genggam dan kita pertahankan sampai saat ini adalah kesuksesan yang terbesar. Jalani saja dulu, toh Allah juga sedang menguji hambaNya." Kemudian bayangan itu menghilang, tangan saya menggapai udara namun hanya angin yang tergenggam.

Satu tahun berjalan begitu cepat. Hari berganti hari, saya belajar untuk menjadi pribadi yang ikhlas, tapi sungguh hal itu sangat sesak. Realita sampai berada pada titik ini tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, melalui hari-hari tanpa Ayah tidak pernah ada di dalam benak. Tadi pagi, saya menemukan sebuah postingan dari blog listeninda yang sedang membahas hakikat hidup (ceritanya ada di: https://www.listeninda.com/2020/01/untuk-apa-hidup-ini.html). Manusia itu sering...

"Terjatuh, terjerembab, tenggelam, tersandung, terbentur,
sebelum akhirnya... terbentuk."

Bagaimanapun kondisinya patut disyukuri. Lahir ke dunia tidak bisa memilih untuk menjadi siapa atau memilih berjalan kemana. Semua sudah diatur. Fungsi manusia hanya beribadah, mempertahankan hidupnya, dan berjuang untuk masa depannya. Hanya sebatas itu. Paham liberalisme dan kapitalisme kadang membuat manusia kehilangan akal sehatnya apalagi jika sudah tercampur dengan politik, ah... seperti ingin mengasingkan diri berlari jauh ke Greenland. Beberapa hari lalu, saya sempat mendapat invitation untuk wawancara dengan salah satu youtuber terkenal, tapi saya menolak dengan alasan 'saya tidak ingin menjadi terkenal'. Dia menawarkan jika berkolaborasi, follower sosial media milik saya akan berada di angka yang fantastis, pengunjung blog akan membeludak, dan iming-iming ketenaran lainnya. Saya menolaknya. Mungkin banyak yang heran dan beberapa teman juga sempat memarahi saya "kenapa kamu buang kesempatan sebesar ini sih, ci?". Well, saya pernah menjadi wartawan selama 5 semester di salah satu koran nasional dan ketika membaca naskah untuk daftar pertanyaan wawancara yang disuguhkan, bisa saja nanti yang saya sampaikan ke publik justru statement yang mengorek beberapa luka lama yang sudah telanjur kering. Saya takut hal ini terjadi dan saya juga yakin Ayah tidak akan bangga dengan ketenaran karena memberikan citra buruk selama saya masih mengabdi.

Take or leave. Semuanya murni urusan seorang hamba, manusia lemah yang selalu berbuat salah. Setiap langkah ada resiko, saya tidak take karena wawancara ini sangat riskan dan memang hal itulah yang digemari oleh para wartawan. Satu tahun setelah Ayah pergi, tidak banyak yang berubah dari sisi finansial. Alhamdulillah... adik-adik saya masih ada alokasi untuk menempuh pendidikan hingga jenjang Strata-2, bahkan jika mereka menginginkan gelar doktor, it could be raised up soon. Meskipun dari sisi living cost, saya harus berjuang di atas kaki sendiri, bukan tidak ada alokasi anggaran, melainkan saya merupakan anak pertama dan sudah terlalu banyak memberikan beban pada kedua orang tua. Sudah selayaknya, saya mencari penghidupan mandiri, minimal dari sisi living cost serta tabungan masa depan. Selepas kepergian Ayah, hanya Allah yang membantu saya untuk berjuang dalam menghadapi pahitnya ibu kota, upah minimal 'dua digit' yang saya idealiskan setelah lulus sarjana, Alhamdulillah tercapai dan kini saya sedang mengupayakan untuk melipat-gandakan menjadi minimal 'tiga digit'.

Lantas, untuk apa? Mungkin pertanyaan ini yang terngiang. Banyak kebutuhan-kebutuhan serta impian yang ingin saya lakukan di masa depan termasuk menjadi relawan Palestina, melanjutkan pendidikan, menikah, berketurunan, dan serentetan bucket list yang telah direncanakan. Saya bersyukur Ayah memilih Mama sebagai pendamping hidupnya yang setia bersama hingga Jannah, InsyaAllah. Mama sering bilang

"Hidup itu jangan menghadap ke belakang terus, tapi menataplah lurus ke depan."

Kalimat ini sering menguatkan ketika saya telanjur lelah untuk menghadapi ketidakpastian dan lirik lagu 'I still love you' dari The Overtunes sepertinya mampu menjabarkan perasaan yang sedang dialami saat ini. Al-Fatihah untuk Ayah dan saya berharap, tahun ini dapat melalui segala ujian dengan baik. Amin allahuma amin.

If someday your feet can’t touch the ground If someday your arms can’t feel my touch If someday your eyes can’t see my face I’ll carry you, be there for you, any time of day Forever is a long time But I keep my words that I say to you Together we can go far As long as I’m with you Cause I will fall for you No matter what they say I still love you You’ll never be alone Now look me in the eyes I still love you ‘Till forever If someday you don’t recognize my voice If someday it seems so hard to breathe I promise you to give my all Oh like you do from the day I start to see Forever is a long time But I keep my words that I say to you Together we can go far As long as you’re with me I’ll keep you safe until you find What you’re looking for I’ll stay with you until you find Your way back home Now see me through my skin Your heart, it stays within I still love you


Steal your thought,


Dessy Amry Raykhamna

Rabu, 05 Februari 2020

Room Tour

Hampir dua tahun saya meninggalkan rumah untuk berkelana karir di ibu kota, jarangnya cerita ke blog sering disimpulkan oleh banyak pembaca kalau penulisnya sedang vakum atau tidak aktif di dunia maya. Sebenernya saya bisa luangkan 1-2 jam untuk menulis blog, tapi kenyataan tidak semudah itu, malas bergerak lebih kerap hinggap karena you know so well lah kesibukan ibu kota seolah-olah 24 jam itu kurang dan istirahat lebih diutamakan jika saya memiliki waktu luang. Room tour adalah ide sekaligus saran dari beberapa pembaca dunia maya dan teman-teman kuliah yang penasaran dengan pindahan kamar sekaligus workspace di awal 2017 (kelamaan yah hahaha sampe lapuk yang mau baca, tapi apa daya postingan ini numpuk di draft dan saya merasa sayang sekali kalau dihapus hiks). 

Sejak saya berpindah ke ibu kota, ruangan ini disewakan oleh Mama karena letaknya jauh sekali dari rumah utama jadi mau tidak mau seluruh pernak-pernik yang ada sudah ditaruh di gudang perkakas (huhuhu sedih sekali). Intinya, ketika saya pulang kampung, tidak punya kamar dan harus menumpang di kamar Mama. Tidak mungkin untuk menumpang di kamar adik-adik saya, yah karena mereka semua laki-laki. Dulu pernah saat masih sekolah dasar, kami bertiga sekamar dan sering ribut hanya soal bantal atau apalah hal yang kecil. Namun setelah saya memasuki akil baligh, kami berpisah kamar dan mulai menata kehidupan pribadi masing-masing. So far... jarak umur kami sangat dekat, hanya 2-3 tahun antar jenjang satu dengan lainnya. Jadinya kami pernah di suatu masa mengalami masa remaja atau curhat-curhat ala anak labil bersama-sama. Kadang kalau kami hangout bertiga, saya dikira perempuan yang mempermainkan dua hati kaum laki-laki (hahaha stigma terabsurd sih, tapi benar adanya). Saat kami hangout ke toko buku, mba-mba pramuniaga malah gibah soal hal ini di belakang kami. Saya dan kedua adik saya spontan ketawa kecil seraya berpura-pura menggerakkan siku ke kanan dan ke kiri. Rizda, adik laki-laki yang keduaremaja SMA yang kerap mengecap dirinya playboy dan hobi tebar pesona kesana-kemari. Alhasil, sampai putri kyai dan teman perempuannya sering terperangkap dengan perhatian tidak jelasnya itu. Selain itu, dia sering dianggap lebih dewasa oleh teman-teman sepermainannya padahal kalau malam dia selalu tidur ditemani Mama, suka memasak dan belanja serta lebih gemar memakai masker muka dibandingkan saya yang perempuan tulen. Ditambah lagi, dia paling malas kalau belajar, tapi nilainya selalu baik dan juara di setiap lomba apa saja. Dia juga menjadi anak yang paling rajin mengerjakan sunnah. Ahh jangan keterusan deskripsi bocah ini nanti kegeeran tuh orang hahahadia menyoraki mba-mba pramuniaga yang gibah di belakang kami dan menyapa "hai cantik..."  jurus ini membuat mba-mba pramuniaga itu langsung menyingkir dan akhirnya kami tertawa keras bergantian.


Kedua adik saya itu juga sering datang untuk menumpang istirahat ke ruangan ini, entah sepulang dari sekolah atau ekstrakulikuler. Selain mereka, Ayah juga super nyaman berada ruangan ini ketika istirahat kantor, sambil membuka jendela dan rebahan. Ruangan ini sangat dekat dengan kampus UNISMA dan Dinoyo Mall, strategis untuk menumpang istirahat para mahasiswa, ibu-ibu, serta dosen. Mama juga terkadang istirahat sejenak ke ruangan ini sehabis pulang dari pengajian ibu-ibu. Keluarga yang datang silih berganti kerap menyindir "tumben kamar kakak bersih dan rapi? habis salah makan ya, kak?".  Memang perlu diakui, ruangan ini adalah kamar ter-rapi dan paling tertata yang pernah saya miliki. Biasanya banyak cat dan kanvas berserakan di lantai atau kertas-kertas selepas gunting-gunting. Dulu sewaktu sekolah menengah, saya sering mengisi mading sekolah dan mengerjakan beberapa hal lainnya yang berbau kreatif atau terkait jurnalistik. Lomba sekolah juga dimasukinnya ke lomba mading, melukis, menggambar, kaligrafi, membuat komik, atau hal-hal seputar itu. Mau tidak mau memiliki kamar berantakan menjadi pemandangan sehari-hari. 



Ruangan ini sengaja saya bagi menjadi tiga sudut. Sudut pertama fokus pada workspace, hanya terdiri meja kayu dan kursi kantor yang sudah tidak terpakai. Also fyi, semua barang di sini mayoritas reusable things. Tidak ada yang baru sama sekali, kalaupun tampak baru, barang tersebut merupakan kado dari ulang tahun, wisuda, sidang, atau seminar hasil. Sudut kedua, adanya ruang untuk tatanan foto-foto dan poster business model canvas. Selanjutnya, sudut ketiga terpasang susunan rak perkakas yang telah dibagi dari sisi fungsional serta daya guna pada masing-masing slotnya. 

Overall, bahan-bahan yang terkandung dalam ketiga sudut dapat diuraikan seperti ini:
  • Papan gantungan untuk foto: hasil memotong besi penutup pagar.
  • Rak perkakas:  hasil memungut bekas wadah piring yang sudah mengelupas warnanya dan dicat kembali (cerita lengkapnya: klik disini). 
  • Papan mading: sisaan platform untuk pintu kamar mandi.
  • Hook, penjepit kayu, dan tali rotan:  hasil memilah barang di kardus perkakas di gudang rumah.



Beberapa teman sekolah menengah dan kuliah yang mampir juga menyatakan ruangan ini adalah kamar ter-rapi di dunia saya yang pernah mereka temui (maaf yaa gengs, saya memang perempuan yang tidak rapihan huhuhu). Banyak yang minta untuk diabadikan untuk kenang-kenangan yang sebenarnya hanya alibi untuk motivasi mereka beberes, bener kan? hahaha. I really and really understand what you mean, my absurd buddies. Semoga postingan kali ini dapat menginspirasi agar memulai beberes ruangan. What'cha think? 


Steal your thought,


Dessy Amry Raykhamna