Sabtu, 10 Juni 2017

Pennsylvania [6]: Partisipasi di PennApps XV


"Jangan berpikir untuk berkompetisi dengan orang lain, tapi pikirkanlah bagaimana cara kita untuk mengalahkan diri sendiri yang kemarin." Hampir semua mahasiswa yang saya sempet ngobrol bareng mereka, haha-hihi bareng mereka, rata-rata mereka selalu pusing memikirkan, "waduh si X jadi mahasiswa berprestasi, udah wisuda, kuliah ke Inggris, liburan ke Paris, dan bla bla bla." Sadar atau nggak sederetan kalimat itu adalah asumsi yang ditanamkan oleh diri kita untuk alam bawah sadar bahwa si X adalah rival yang harus kita capai dan kita samakan. Pasti selanjutnya akan timbul pernyataan, "Yah... saya tertinggal dengan si X, saya harus bagaimana?" sebuah pernyataan menyerah sebelum berperangPada akhirnya mereka kelimpungan mencari jalan keluar, tersesat, dan membenci diri sendiri. Jika hal ini sampai terjadi, maka harus hati-hati karena gangguan skizofrenia akan hinggap secara berangsur. 

Don't ever think for competing with others, but think about how to beat yourself yesterday. Merupakan nasihat yang diungkapkan oleh keynote speaker dari Cybertron Technology saat hadir di salah satu workshop yang diadakan oleh MicroTek Lab. Seperti yang saya ceritakan di post sebelumnya (klik disini), sambil transit saya submit attendance di salah satu workshop yang ada di 10times. Bagi yang baru mendengar, 10times adalah salah satu situs penyedia event terbesar di dunia. London, LA, New York, dan Dubai merupakan kota-kota yang sering memposting event tanpa tiket masuk untuk publik. Kebanyakan mahasiswa Penn Engineering sering rame-rame dateng ke acara konferensi jurnal/paper kalo sedang weekend. Berbekal dikomporin anak-anak dari We are One, sebutan komunitas sosial di upenn, akhirnya saya nyobain budaya mereka untuk ikutan workshop dari MicroTek Lab itu. Salah satu hasil dari workshop itu yah kalimat: don't ever think for competing with others, but think about how to beat yourself yesterday. Bisa dibilang kalimat ini sedang saya alami saat ikut berpartisipasi dalam acara PennApps XV yang diadain sama University of Pennsylvania.

Bagi mahasiswa-mahasiswa di Asia, termasuk Indonesia, acara PennApps sepertinya tidak terlalu booming. Sebab tidak semua kampus diundang oleh University of Pennsylvania, hanya kampus-kampus yang masuk dalam 64 top universities in the world yang sering diundang. Bagi yang belum pernah mendengar, PennApps merupakan ajang hackathon yang diselenggarakan tiap tahun oleh University of Pennsylvania. Mereka mengundang seluruh kampus di dunia untuk mencari the best hack of the year. PennApps diadakan dalam setahun dua kali, pada musim gugur dan dingin. Karena di kedua musim ini para mahasiswa/college biasanya sedang libur menyambut semester baru, bisa dibilang peserta yang ikut makin membeludak. Saya ikut partisipasi di bulan januari tanggal 27 s.d 29, ketika kampus saya sedang libur semester. Jadinya nggak perlu bingung bikin surat dispensasi ke fakultas (yay). Acara ini terbagi menjadi dua, ada hackathon day dan conference day. Hackathon day diperuntukkan bagi mahasiswa yang ingin mendevelop aplikasi sesuai topik dalam waktu 3 hari non-stop. Pemilihan keikutsertaan disaring melalui seleksi yang bersaing dengan mahasiswa 64 negara. Sedangkan conference day diperuntukkan bagi para mahasiswa peneliti untuk mempresentasikan hasil karyanya dihadapan dunia. Bagi penelitian yang dianggap potensial akan didanai dan diterbitkan oleh University of Pennsylvania sebagai koleksi jurnal milik Penn EngineeringReward yang lumayan kan? Kalo menurut saya, rugi kalo kita punya ide penelitian tapi nggak didokumentasikan kemudian diperkenalkan pada dunia. Sebab sesuatu yang tidak dipublish pada akhirnya hanya akan menjadi sampah. Is it right? 

And then... my campus is not inside of 64's, but how can i participate? Banyak temen-temen yang nanya bagaimana saya dapat berpartisipasi di PennApps padahal kampus saya tidak diundang. Meskipun acara ini lebih didominasi mahasiswa-mahasiswa dari universitas atau college Amerika dan Eropa, namun terbuka untuk umum, siapa saja dapat berpartisipasi. Hanya saja, sesi pendaftarannya berbeda. Mahasiswa yang kampusnya tidak masuk ke dalam 64 top universities in the world dapat mendaftarkan diri minimal 3 bulan sebelum acara dimulai. Dalam proses pendaftaran ini ada seleksinya, kita harus membuat esai penelitian dengan APA style. Topik penelitian yang biasanya lolos adalah yang sedang hot issue in the world. Saat itu topik penelitian yang saya ajukan mengenai Software Defined Network, yang (sempat) menjadi bahan skripsi saya semester lalu. Bener-bener nggak nyangka juga, Alhamdulillah topik itu lolos dan diwajibkan ikut conference day. 

Seusai transit di Incheon (cerita sebelumnya, klik disini), saya langsung terbang lagi sekitar 11 jam ke Philadelphia Int Airport. Karena saya serba sendiri, jadinya begitu nyampe di Philadelphia tetiba pesen Uber X buat ke kampus Penn Engineering. Tapi... kayanya nggak terlalu diridhoi oleh Allah, harga Uber X di luar nalar U$D 24 (dimana harga bus phlash hanya U$D 2) dari airport ke kampus upenn. Padahal itu deket cuma 7 menitan. Mungkin karena taxinya pake limousine hahaha bukan xenia/avanza kaya di Indonesia. Stuck sejenak dan coba acak-acak situs philly tour sambil nanyain relasi di LINE/Telegram yang pernah ke Amerika. Akhirnya dikabarin sama kakak sepupu "mending kontak temen-temen kamu yang stay di Delaware. Barang kali mereka mau barengin." What the good solution isThank you my sister, you're problem solver hahaha! 

Sekitar 10 menitan, saya coba nanya-nanya ke grup We are One di Telegram dan ternyata bener, mahasiswa Delaware pada menginap di airport semalaman. Mereka udah kontak panitia PennApps buat ngejemput pagi ini, setelah ngelobby tipis-tipis akhirnya dibolehin bareng (yay!). Why they receive that serve from committee, but i'm not? Yeah because i'm just conference, but they are hackers! Jadi intinya, fasilitas yang diberikan panitia berbeda jika penelitian kita lolos dikonferensi dengan yang melakukan hacking marathon (hackathon). Peserta yang melakukan konferensi mendapatkan dana tambahan U$D 500 untuk keperluan transportasi. Sedangkan peserta hackathon mendapatkan fasilitas jemput dan dana tambahan U$D 500. Jika kekurangan dana, kita bisa minta tolong pada panitia untuk mencarikan sponsor.    

Masalah transportasi di hari itu terselesaikan berkat para mahasiswa Delaware yang baik hati. Thank you so much, Delaware! You have a great soul. Begitu tiba di Penn Engineering, langsung antri panjang buat registrasi ulang. Nggak salah sih antrinya berjajar sampe empat shaf mengular, soalnya dari 64 negara dan 1 tim bisa bawa sampe 4 orang. Why i go there by my self? because i submit for conference day NOT hackathon. Jadi jika kita ingin daftar sebagai tim, kita harus ikut hackathon dan mentoring di dua hari terakhir. Dan itu nggak nyaman sih menurut saya kalo hackathon harus sendirian, nggak ada esensi hahaha.  


Setelah registrasi selesai, saya dan rombongan Delaware misah. Saya di ruang tunggu untuk peserta konferensi dan mereka di ruang hackathon. Selama menunggu giliran untuk konferensi atau selama istirahat hackathon, panitia menyediakan berbagai jajanan gratis yang dapat dikonsumsi selama acara berlangsung. Mulai dari donat, schotel, biskuit, sampe macaroon. Panitia juga menyediakan breakfast sampe dinner bagi peserta conference dan hackathon. Sedangkan untuk tempat menginap, kita nggak perlu berbelas kasih. Karena panitia juga menyediakan sleeping bag atau matras plastik yang tersebar di lorong dorm upenn.

Kalo lorong dorm nggak cukup untuk menampung peserta, biasanya panitia membebaskan peserta ingin berbaring dimana. Entah dilobby universitas, dekat kantin, di bawah tangga, atau di dalem lift. Bebas se-bebas-bebas-nya. Budaya bebas ini nggak akan saya temuin di Indonesia. Lucu juga sih, ngelihat salah satu rombongan tidur di dalem lift sambil pake sleeping bag. Tapi.. mereka cuek, nggak peduli orang mau bilang apa, lagipula nggak ada yang bakal ngatain mereka juga sih hahaha. 

Ohya selama saya berpartisipasi di PennApps, seluruh biaya ditanggung oleh dua sponsor yaitu Bloomberg dan Capital One. Mereka big sponsor dari acara PennApps yang membuka kesempatan luas bagi mahasiswa luar upenn untuk berpartisipasi di acara ini. Feedback-nya kita harus pasang nama mereka di esai yang kita tulis, istilahnya endorser. Nggak ribet kan? Nggak perlu repost sana-sini atau hashtag sana-sini. Jika topik penelitian kita answer their need, why not? Tapi jika kita tergolong hacker pro dari tahun sebelumnya, kita digratiskan segalanya oleh acara ini, mulai transportasi, sampe fee pendaftaran. Hacker pro yang dimaksud adalah mereka yang mendapatkan gelar the best hack of the year pada PennApps tahun sebelumnya. Jadi bukan dari kita yang menilai diri sendiri bahwa kita pro di bagian programmingNot value from you but the world  



Pembukaan acara dilakukan oleh Dean Vijay Kumar dari perwakilan Penn Engineering. Setelah pembukaan acara selesai, peserta hackathon langsung berpencar ke Detkin Lab, Towne 337, Towne 100, dan Wu & Chen. Ruang-ruang dipisah tergantung dari topik yang dikerjakan. Sedangkan saya tetap stay di Moore 100 untuk persiapan konferensi. 

Di saat peserta hackathon mengikuti sesi mentoring dan workshop, peserta conference juga dapat mengikutinya. Tapi sifatnya nggak wajib. Sebagian peserta conference ada yang memilih istirahat di lounge, ada yang mini tour keliling universitas, dan diskusi di kantin. Karena saya nggak mau menyia-nyiakan barang sejam pun, saya ikutan workshop big data and analysis di gedung yang sama saat melakukan konferensi. Jadi selama 2 hari, mulai jam 8 pagi sampe 8 malem saya nggak keluar sama sekali dari gedung Moore 100. Kecuali untuk sholat, makan, dan ke kamar mandi. Beberapa temen ada yang ngajak keluar buat take a breath. Tapi saya nolak, soalnya waktu saya di Amerika cuma sebentar dan tiap jam harus saya manfaatin bener-bener, kalo masalah take a breath bisa dilakuin nanti di hari terakhir, keliling Center City sambil cari oleh-oleh (untuk cerita episode ini, klik disini). 

Saya bukannya sok rajin atau naif, tapi... saya ingin ngelihat perkembangan teknologi dan pengetahuan yang didapat masing-masing mahasiswa dari 64 negara. Saya udah janji sama diri sendiri, buat nggak melewatkan presentasi produk mereka sedikit pun. Alhasil bener, kita tertinggal lumayan jauh, pantes aja kalo universitas di Indonesia nggak masuk ke 64 top universities in the world. Para mahasiswa Amerika, sebelum masuk kuliah mereka punya visi bakal ngapain ngambil jurusan teknik, sering diskusi, dan pemikiran mereka nggak lelet. Produk yang banyak dihack rata-rata hardware dan games. Ada yg bikin mesin pelipat baju otomatis. Ada yang bikin aplikasi smartphone yang bisa nge-detect barang bawaan kita tasnya dipasangin sensor trus ngebaca isi tasnya, sehingga minim buat kemalingan, sensor ini juga ngedeteksi barang keluar dan masuk dari tas kita. Kemudian robot yang bisa ngerjain tugas sekolah kita, fruit ninja tapi versi virtual reality, belajar mengenal tata surya versi virtual reality, dan masih banyak lagi. Aplikasi belajar mengenal tata surya versi VR/AR ini menjadi the best hack of the year di PennApps XV. Kreatif dan bermanfaat ya?


Semoga postingan kali ini mampu menjawab rasa penasaran dari beberapa pertanyaan: apa sih PennApps? ngapain di Amerika? gimana cara nyari sponsor? atau PennApps itu ngapain aja sih? Dan menurut kabar terbaru, PennApps XVI udah dibuka pendaftaran untuk mahasiswa luar upenn bisa di mulai tanggal 19 Mei 2017 loh, informasi lebih lanjut kunjungi situs PennApps (klik disini). Untuk liputan singkat kegiatan PennApps XV ada pada video highlight yang telah diupload melalui channel Youtube PennApps. Happy watching dan semoga tertarik buat partisipasi PennApps XVI di bulan September nanti.


send a thousand happiness,


dessy amry raykhamna






Pennsylvania [5]: Homemade Nachos

"homemade selalu mengingatkan segalanya tentang kampung halaman"


Nachos, tacos, dan churros adalah beberapa jenis makanan yang ingin saya cicipi di 2017. Nachos dan tacos adalah kudapan andalan Meksiko yang telah lama mendunia. Sedangkan churros adalah jajanan Spanyol modifikasi rasa China (di daratan China lebih dikenal dengan sebutan Cakwe). Meskipun ketiga jajanan tersebut dapat dijumpai di restoran atau cafe di Indonesia, tapi... saya masih penasaran bagaimana dengan kualitas rasa yang asli? Rasa yang bener-bener homemade from Meksiko!

Perjalanan selama beberapa hari di Pennsylvania, Alhamdulillah, berhasil membawa saya mengunjungi salah satu kedai mirip benavides nachos, yang katanya hanya ada di Texas. Sementara jarak dari Philadelphia ke Texas itu jauh sekali, harus flight kalo pengen cepet sampe sana, karena nggak ada jalur kereta. Kalo maksa mengendarai mobil bisa 2 harian lebih. Intinya perjalanan yang akan saya tempuh lebih jauh kalo dibandingkan dengan perjalanan ke Cleveland, tempat dimana mbak sepupu saya tinggal (cerita sebelumnya, klik disini). Sengotot apapun saya, semua itu hampir nggak terjangkau kalo harus kelayapan ke Texas seorang diri. Tapi... Allah menunjukkan jalan lain, bukan ke Texas. Berbekal nanya-nanya ke beberapa pengendara carriage di Philadelphia (kalo di Indonesia sejenis delman), mereka menyarankan saya untuk ke Chinatown! Di Amerika, Chinatown hanya ada di New York, jarak PHL-NY atau perjalanan dari Philadelphia ke Chinatown nggak terlalu jauh, bisa ditempuh pake Axela Express yang menyita waktu sekitar 1 jam-an. Mereka mengatakan Chinatown banyak menyediakan berbagai kuliner mancanegara, mulai jepang sampe meksiko. Kalo bingung nyari oleh-oleh bisa langsung ke Chinatown, karena semuanya serba dijual. Mulai dari gantungan kunci, stempel, postcard, aksesoris, baju, dll ala mancanegara semuanya ada disana. Di Chinatown, saya juga menemukan jajanan benavides nachos, yang hanya dijual di Texas itu! 

Bagi yang belum pernah mendengar, jajanan benavides nachos yang terkenal di Texas itu, adalah mozzarella stick dengan doritos. Biasanya doritos ini dipake buat bahan utama nachos. Doritos ini semacam tortila chips atau kripik happy tos yang dijual bebas di Indonesia. Kalo di nachos ala happy tos, tortila chips disuguhkan bareng parutan keju di atasnya, mirip kaya tampilan nachos di Bureau Coffee and Dine (byoo r -oh). Sedangkan pada jajanan benavides nachos yang saya maksud, balutan tortila chips (sebutan kalo di kuliner Meksiko : doritos) yang dihancurkan kemudian adonan mozzarella digulungkan bersama doritos tersebut dan digoreng terlebih dahulu sebelum dimakan. Sehingga mozzarellanya akan meleleh dari dalam. Begitu jajanan tersebut dibuka, mozzarella akan keluar memanjang, sepanjang kita menarik. Jajanan yang menarik untuk dicicipi kan?

Nah, karena rasa ingin mencobanya untuk kedua kali masih menggebu-gebu, saya ingin membuat benavides nachos ala Texas yang berhasil ditemukan di Chinatown itu dengan sedikit modifikasi. Karena di market Indonesia, doritos belum dijual bebas, akhirnya saya menggantinya dengan corn flakes yang dihancurkan. Kemudian mozzarella digulungkan ke tepung terigu dan kuning telur yang telah dikocok sebelumnya. Barulah kemudian digoreng, tunggu sampai kecoklatan dan tiriskan. Sedikit resep mengenai homemade nachos ini, check it out!



Bahan :


Mozzarella cheese     500 gram

Corn flakes           250 gram
Daging ham            5 buah
Telur                 1 butir
Tepung terigu         500 gram

Cara membuat :
1. Potong persegi panjang mozzarella cheese, kemudian sisihkan
2. Kocok telur hingga mengembang
3. Guling-gulingkan potongan mozzarella cheese ke dalam telur dan tepung terigu secara bergantian 
4. Ambil sehelai daging ham, kemudian satukan potongan mozzarella cheese dengan daging ham, dan gulung
5. Celupkan kembali gulungan mozzarella cheese dengan daging ham ke dalam telur 
6. Guling-gulingkan gulungan mozzarella cheese dengan daging ham tersebut ke dalam corn flakes yang telah dihancurkan sebelumnya
7. Siapkan penggorengan dan minyak dengan api sedang
8. Masukkan gulungan tadi ke dalam penggorengan dan tiriskan 

Yuk nyobain homemade nachos sendiri ala kamu. Happy cooking! 


send a thousand happiness,




dessy amry raykhamna




Pennsylvania [4]: Jogging Pagi di Philadelphia


Memang benar apa yang dikatakan oleh beberapa buku psikologi populer bahwa "heart is an important thing as human being". Perjalanan selama 11 jam di udara telah membuktikan hal tersebut kepada saya. Semua orang di bumi Allah masih memiliki hati, ketika saya membutuhkan mereka untuk mendengar, mereka ada. Mereka tidak merasa bahwa saya adalah orang asing, yang tidak perlu untuk ditolong, tapi... tangan mereka selalu terulur ketika saya tidak mampu untuk berjalan. Mereka tidak enggan mengajak saya berbicara masalah keluarga dan masalah lainnya, yang sebisa mungkin dapat menjalin keakraban. Pemikiran-pemikiran saya terkait egoisme, mereka patahkan tanpa belas kasihan. Mengapa saya katakan demikian? Sebelum saya melalui perjalanan panjang yang sendirian ini, saya mengira seluruh orang di dunia ini sibuk dengan segala hal tentang diri mereka, tidak peduli dengan orang di luar lingkungan kehidupan mereka. Terkadang mereka berpihak, terkadang berdusta. Munafik. Begitulah manusia. Dan akhir-akhir ini, saya lebih sering menyimpulkan definisi manusia seperti itu. Semenjak perjalanan yang saya lakukan, banyak pelajaran yang ditunjukkan Allah pada saya, Allah masih menunjukkan kepada saya, bahwa hati manusia masih belum mati, dia hidup bersama dengan alam dan semilir angin. Walaupun terkadang teknologi masih kerap memperbudak mereka.

Seperti yang saya katakan pada cerita sebelumnya (incheon dan korean cuisine [1] dan incheon dan korean cuisine [2]), setelah Incheon saya akan menuju ke goal destination, yaitu Philadelphia. Berbeda dengan di Incheon yang hanya 10 jam, di Philadelphia saya akan tinggal selama 4 hari. Hari pertama dan kedua, saya disibukkan oleh acara conference day dan mentoring hackathon. Seluruh acara diselenggarakan di University of Pennsylvania. Sedangkan 2 hari selanjutnya, saya manfaatkan untuk explore kota, mengikuti workshop yang telah disediakan oleh 10times, dan mencari benavides nachos. Benavides nachos adalah kudapan khas Meksiko, berdasarkan petunjuk mapsbenavides nachos hanya ada di Texas. Tapi kenyataannya, kata supir carriagenachos khas Meksiko itu bisa ditemukan di sekitaran Chinatown (cerita ini akan saya bahas pada post yang terpisah).

Pada hari itu accuweather bilang, Philadelphia akan diterpa hujan deras karena suhu berada pada 52°. Namun pada kenyataannya, hari sangat cerah, sodara-sodara. Saya sempat berharap akan turun salju, karena beberapa wilayah perbatasan Meksiko masih didera salju walau tidak deras. Perubahan cuaca kadang juga tak menentu, malam 25° pagi 35° siang 52°, bisa jadi radar cuaca nggak berguna sama sekali ketika kita sedang berada di Philadelphia. Saya akui, its first time i am overseas and very far away from my home. Sendirian, perempuan, tanpa keluarga, saudara, atau teman. Banyak khawatir dan takut nggak bisa survive, tapi karena jauh-jauh hari udah survey berdasarkan petunjuk di city guide. Nggak ada yang perlu dipermasalahkan, hanya pengetahuan itu yang mampu membuat saya positive thinking. Acara PennApps XV telah usai, namun saya masih memiliki waktu 2 hari untuk berada di Philadelphia. Senin - 23 Januari 2017 ingin saya gunakan untuk mengunjungi mbak siste di Missouri. Mbak siste adalah kakak sepupu dari keluarga Ayah yang bekerja sebagai sushi chef di Amerika. Cerita perjalanannya sangat inspiratif untuk disimak. Awalnya dia hanya sekedar chatting dengan teman Amerikanya melalui Facebook, kemudian temannya tersebut memberikan tawaran untuk bekerja di perkapalan sebagai staf IT. Bayarannya lumayan hanya instal aplikasi musik U$D 10, padahal instal hanya klik tombol next sampe finish. Ternyata pekerjaan itu sedikit membosankan, akhirnya mbak siste resign dari perkapalan, walaupun prestasinya sangat gemilang sebagai pegawai perkapalan. Gimana nggak? Setiap hari keliling benua amerika, samudera atlantik, dan beberapa negara di sekitar samudera pasifik. Akhirnya karena merasa kurang tantangan, mbak siste mencoba peruntungan untuk menjadi chef di salah satu restoran jepang yang belum terlalu komersil di daerah Missouri. Singkat cerita, pendapatan restoran menjadi naik sejak kehadirannya. Restoran itu semakin terkenal di daerah Missouri. Sekali lagi, dia merasa kurang tertantang dan akhirnya mencoba tantangan dengan mendirikan restoran jepang sendiri bersama teman-temannya di Cleveland. Daerah Cleveland adalah daerah berbukit dengan jalan menukik dan curam. Kalo di Indonesia mirip daerah Batu atau Imogiri. Dia tinggal di perkampungan Cleveland yang dekat dengan laut. It likes blitar-tumpak kepuh, dont you know?


Setelah chatting panjang lebar dengan mbak siste di instagram, yang menyatakan bahwa dia telah bermigrasi ke Cleveland bukan di Missouri lagi. Saya langsung murung dan stuck sejenak, awalnya saya pikir bisa mengunjunginya setelah tahunan tidak bertemu. Ternyata kenyataan menghianati itinerary, jarak dari Philadelphia ke Cleveland sangat jauh, harus ditempuh dengan kereta Greyhound dan perjalanan minimal tempuh satu hari, sedangkan saya harus ke airport besoknya. Mau dipaksain kaya gimana tetep nggak kesampaian. Karena merasa stuck dan murung, akhirnya saya menghibur diri dengan jogging pagi seraya explore kota. Kalo dipikir-pikir, memang ya begini rasanya self-backpacking, hanya dengan Allah dapat berserah diri. 


Untuk explore kota, saya harus naik Bus Phlash dari University of Pennsylvania ke Pennsylvania Convention Center. Hanya dengan membayar U$D 2, sekitar 9 menitan bisa sampe ke pusat kota Philadelphia. Bus Phlash adalah kendaraan umum yang sering dipakai masyarakat untuk perjalanan dengan jarak dekat. Saya akui, masyarakat Philadelphia sangat memanfaatkan transportasi umum. Mereka nggak gengsi naik bus campur peliharaan, padahal kita tahu bahwa Amerika adalah benua adidaya dengan segala kemajuan teknologi. Tapi... Philadelphia adalah kota sederhana yang menghargai minoritas. Ngomong-ngomong soal minoritas, ketika di bus saya sering denger seliweran bicara soal politik mayoritas yang melindungi minoritas. Dan... ternyata begitu nyampe di Indonesia, saya baca koran di kios gado-gado, gerombolan masa demo di Philadelphia. Kaget dan shock. Karena... mungkin jika saya lebih lama berada disana, akan terbawa arus untuk ikut demo. Intinya yang saya denger waktu di bus bukan gosip, tapi sebuah kebenaran. Setelah baca koran, saya langsung merinding, merasakan dejavu untuk sesaat.


Banyak hal yang saya temukan selama melakukan kegiatan iseng berupa jogging pagi. Yang pertama, carriage, walaupun Philadelphia juga termasuk kota adidaya, namun tetap menghargai sejarah. Carriage masih diabadikan. Kalo di Indonesia, carriage ini mirip delman. Bedanya segalanya serba teknologi, kalo ingin menumpangi harus pesan online terlebih dahulu ke situs phillytour.com, karena carriage yang berserakan di jalanan itu sedang mengantar penumpang. Sekali naik harganya juga beda-beda, jarak tournya dibagi 3, ada short, medium, dan deluxe. Kalo short sekitar U$D 50, medium U$D 60, dan deluxe U$D 125. Dengan harga yang berbeda, tour mengelilingi tempat-tempat di kota Philadelphia juga berbeda. Karena dari awal udah niat backpack, saya harus memilih untuk menghemat budget dengan berjalan kaki untuk melengkapi acara explore kota. Nggak seru aja hunting foto sambil naik carriage, noise terus yang ada (ngalibi : karena harga naik carriage terlalu mahal untuk mahasiswa minim kantong hahaha).



Suburban merupakan stasiun kota Philadelphia. Philadelphia merupakan kota tertua dengan sejarah yang unik. Seluruh bangunannya pun nampak kolosal namun tetap artistik. Meskipun hanya stasiun kecil, Suburban menyediakan 12 jalur kereta untuk berkeliling seluruh kota di Amerika Selatan. Karena antar kota nggak terlalu jauh, misalnya dari Philadelphia ke New York atau San Francisco. Semuanya bisa ditempuh dari Suburban, walaupun memerlukan transit pada stasiun besar terlebih dahulu. Berdasarkan itinerary, besok adalah jadwal saya mengunjungi Chinatown sekaligus mencoba kereta Axela Express dari Suburban ini (mengenai ini akan saya ceritakan pada post yang terpisah). Kata  beberapa anonym yang saya baca dari tripadvisor banyak artefak dan art deco mengenai sejarah Philadelphia yang terpasang pada bagian dalam dinding Suburban. Entahlah saya belum membuktikannya.

Secara historis, Philadelphia sempat menjadi ibu kota Amerika Serikat, walaupun tidak bertahan lama. Ada dua sungai yang terkenal yaitu Delaware dan Schuilkyll. Bisa dikatakan perjalanan 12 jalur selalu melewati kedua sungai, yang konon, disebut sebagai pesangrahan Liberty Bell. Katanya juga, orang indonesia legal maupun ilegal banyak yang tinggal di South Philly atau Philadelphia bagian selatan. Ya, daerah yang sedang saya pijak ini. Namun sepanjang saya berjalan, jarang saya temui lalu lalang orang indonesia. Mungkin mereka masih tertidur di bawah pavilliun. Karena jangan salah, seseorang yang memiliki pondasi keimanan kuat pun bisa tenggelam dengan gemerlap kota ini. Kota ini mampu menarik orang untuk tinggal lama-lama, melupakan jati dirinya sebagai rakyat Indonesia, apalagi mengenai nasionalisme. Nggak perlu pikir panjang, serta merta pergi meninggalkan negara tanpa pamit. Banyak juga yang melakukannya. Saya sering mendengar cerita ini dari kakak sepupu, mbak siste. Namun alhamdulillah, Allah masih menyayangi saya, gemerlap itu tidak melalaikan rukun islam. Tetap melaksanakan kewajiban, sholat dengan seadanya. Sebab sepanjang perjalanan yang saya temukan hanya gereja. Terpaksa harus sholat berhadapan dengan salib. Untung waktu itu, pegawai Medical Center di University of Pennsylvania sangat toleran akhirnya saya diperbolehkan menggunakan  ruang bilik romo untuk beribadah dan murojaah. Dan wudhu, ini adalah hal yang paling sensitif, karena nggak ada kamar mandi dengan kran mengucur, saya terpaksa wudhu di wastafel sambil dilihatin tukang cleaning service dorm. Tapi saya nggak ambil pusing, walau setelah wudhu, mbak-mbak cleaning service itu ngomel-ngomel karena lantai jadi basah. Setelah mbak-mbak ini ngomel, saya langsung menyahut :

"I am sorry so deeply. Because i am a backpacker, so its normally. I hope you understand what i mean, thank you for everything, sister," sambil kabur secara perlahan (hahaha)

Tips ini saya dapatkan dari kenalan saya, Mark Liu, di Asiana Airlines waktu itu. Dia bilang, sebagian orang Philadelphia sebenarnya sangat toleransi jika kita mau memberikan penjelasan secara santun. Dan saya belajar banyak dari dia. Thank you for everything, Mark Liu! You’re the best advicer that i ever met!



Nggak terasa, saya sudah berjalan lumayan jauh dari Suburban. Dan kini sampai pada Center City, daerah yang penuh sesak dengan bangunan pencakar langit. Sepanjang jalan saya pikir akan ada penjual souvenir ternyata nggak ada pedagang kaki lima sama sekali disini. Bersih, rata dengan trotoar. Kota yang bersih dengan udara yang bersih, kota yang sepi tapi nyaman. Kira-kira deskripsi ini yang pantas untuk Center City. Saya nggak nyangka, besok merupakan hari terakhir saya berada di kota ini. Dan lebih nggak nyangka lagi, kalau saya pernah tiba disana. Sendirian. What a great journey, i ever had!

send a thousand happiness,


dessy amry raykhamna



Pennsylvania [3]: Incheon dan Korean Cuisine

Seperti yang saya katakan pada post sebelumnya (cerita lengkapnya : klik disini), penerbangan Asiana Airlines akan segera flight dalam waktu 40 menit. Sehingga saya nggak sempat untuk berlama-lama di Korean Traditional Culture. Setelah mengalami beberapa drama dengan petugas check-in. Akhirnya saya terduduk juga di awak kabin. Sekedar tips, untuk dokumen keperluan penting, seperti visa, paspor, flash card, dan pass student lebih baik semuanya dijadikan satu pada pouch tersendiri. Jangan diletakkan didompet, karena akan tercampur dengan uang atau kertas bon, dan nggak terorganisir dengan baik. Hal ini mungkin remeh, bisa jadi ketika terjadi pengecekan oleh petugas imigrasi, kita kelabakan untuk mencarinya. Kalo yang dikeluarin satu pouch, nggak perlu sedompet-dompetnya, bukankah lebih praktis?

Secara atmosfer, Asiana Airlines, lebih baik daripada (ehem) maskapai sebelumnya yang saya gunakan. Pelayanan dan fasilitasnya juga berbeda. Bangkunya lebih relax dan lebih nyaman kalo dibuat tidur sepanjang perjalanan. Perjalanan dari Incheon ke Philadelphia memakan waktu yang sangat lama, sekitar 11 jam-an. Berbeda dengan perjalanan pulang nanti, yang hanya memakan waktu 6 jam-an, karena keberangkatan dari Philadelphia diarahkan ke San Franscisco Int Airport. 


Biasanya jika perjalanan yang ditempuh memakan waktu lama, ditambah kategori untuk penerbangan internasional. Konsumsi yang disediakan cukup variatif, mulai appetizer, main course, sampe dessert. Jadwal makan disubsidi dua kali, lunch dan dinner. Dari segi menu, Asiana Airlines sangat memikirkan 4 sehat 5 sempurna. Selain itu, fasilitas lainnya yang disediakan adalah wifi onboard dan beberapa special service


Menu yang disajikan pertama (appetizer) adalah chocolate cake. Rasa dari chocolate cake agak pahit dan nggak terlalu manis. Saya justru suka, karena memakan makanan manis dalam perjalanan udara dapat menyebabkan muntah atau jetlag berkepanjangan. Lebih disarankan makan pedas, asin, atau sedikit pahit. Menu selanjutnya (main course) yaitu tok galbi. Sajiannya lengkap, mulai dari nasi dengan galbi saus kedelai hitam, kimchi jjigae, sup rumput laut dengan udang, serta sawi dan bumbu kacang. Dari segi rasa, saya nggak masalah karena semuanya sesuai lidah. Tapi... yang dari awal nggak bisa akrab di lidah itu kimchi jjigae! Mau diolah kaya apa, dicampur minyak wijen atau kecap manis. Saya tetep nggak doyan, rasanya kaya asem-asem ketiak. Yang paling juara dari keseluruhan main course adalah sup rumput laut dengan udang dan tok galbi. Meskipun ada isu yang mengatakan kalo daging ayam/sapi nggak boleh dimakan bersama seafood, dapat menimbun racun jangka panjang. Namun saya tetep makan dan nggak menghiraukan, karena sedang laper hahaha. Di Kedai Jaws tadi hanya makan japchae dan minum teh boricha. Ohya bagi yang baru mendengar, japchae adalah mie tradisional Korea yang biasa dikonsumsi sejak era Joseon. Kalo di Indonesia, mie ini mirip dengan bihun namun lebih tebal dan bewarna abu-abu. Cara makannya dicampur dengan saus kedelai hitam yang telah dicampur dengan minyak wijen. Sedangkan kimchi jjigae, sejenis acar lobak, namun diolah bersama potongan paprika, olive oil, saus gochujang, ragi, dan taburan sedikit garam. Kemudian difermentasi beberapa hari, semakin lama menyimpan maka semakin enak rasa kimchi tersebut.


Setelah main course, kemudian disajikan menu untuk dessert yaitu sop buah. Sekilas saya pikir dessert-nya adalah wedang ronde, tapi setelah saya amati, ternyata potongan buah semangka, anggur dicampur kacang tanah dan nara princles (berukuran kecil bewarna kekuningan). Nara princles adalah sebutannya di Jepang, kalo di Korea saya kurang tahu disebut apa. Saya urung untuk memakan dessert, walaupun terkesan ingin mencicipi. Soalnya ada nara princles ini, biasanya kalo di cafe-cafe borjouisnara princles ini dicampurkan ke mocktail. Jika dikonsumsi berlebihan dapat berefek flying layaknya ganja. Hati-hati dengan apapun saat berada di maskapai, lebih baik mempelajari menu yang ada pada tiap maskapai agar tidak terjebak pada hal-hal sepele. Nara princles saya ketahui saat menonton dorama Jepang, Hanazakari no Kimitachi e (hanakimi). Waktu itu pemeran utamanya, Oguri Shun, memakan habis nara princles dan berakhir flying di gudang perkakas dorm. Dari sini, saya mengetahui tekstur nara princles, bentuk, dan tingkat kekenyalannya. Akhirnya dessert tersebut, tidak jadi saya konsumsi dan saya serahkan kembali pada pramugari. Karena sesuatu yang enak bukan berarti halal, ada baiknya jika kita memeriksa masakan sebelum hendak memakannya dimanapun kita berada. 




Karena perjalanan menuju Philadelphia melewati malam yang panjang, sehingga pihak Asiana Airlines menyediakan main course untuk dinner, yaitu Ramyeon. Ramyeon berbeda dengan japchae walaupun satu spesies, yaitu sejenis mie. Namun ramyeon berbeda, biasanya disajikan dengan banyak kuah, daging ayam/sapi, wortel, telur, dan potongan daun bawang. Dari segi rasa, enak dan hangat, dapat dikatakan dapat memacu semangat saya selama perjalanan udara. Alhamdulillah, selama perjalanan  dengan Asiana Airlines saya nggak muntah (lagi) hahaha. Jadi selama di Philadelphia, bisa dibilang saya strong selalu. Untuk shalat magrib dan isya, bisa rapelan tafkhim di dalam kabin dengan posisi duduk, namun sebelumnya usahakan wudhu terlebih dahulu jika mampu. Namun jika tidak mampu, maka dapat melakukan tayamum (sekali lagi, bersyukurlah bagi mereka yang menjadi musafir hahaha). Ohya selama perjalanan ini, saya berpartner duduk dengan Mark Liu. Seorang mahasiswa dari Hangkuk University, yang akan mengurus kepindahannya di New York, karena kedua orang tuanya yang berpisah. Ceritanya unik, saya sempat berbincang sebelum dinner. Tidak seperti partner duduk saya saat di Air Asia, saya nggak tahu namanya, tapi dia mengaku berasal dari Selandia Baru yang akan berlibur di Jeju. Setelah berbincang sebentar, saya sudah nggak ingat orang tersebut bicara apa. Karena sekujur tubuh udah lemas akibat kebanyakan muntah hahaha. Mark Liu ini orangnya humble dan nyambung diajak ngobrol. Dia keturunan Tiongkok, namun sudah lama tinggal di Busan, Korea Selatan bersama kedua orang tuanya. Belum lama ini, kedua orang tuanya berpisah dan dia memilih untuk mengikuti Ibunya yang bekerja pada perusahaan asuransi di New York. Dari Hangkuk transfer ke New York, semoga Mark Liu mendapatkan universitas yang diimpikannya.

Jarang juga orang Korea terbuka dengan orang luar, menceritakan kisah hidupnya, entah mengapa Mark Liu ini sangat terbuka. Pada perjalanan kali ini, selain saya merasakan full-korean cuisine, saya merasa nggak sendirian.  Banyak orang-orang yang saya jumpai dan mereka sangat care. Mereka mau berbagi cerita kisah hidup dan saya mendapatkan pelajaran dari itu. Semua ini menandakan, kalo sebenernya di dunia ini kita nggak hidup sendiri, hidup berdampingan. Meskipun perjalanan ini saya lakukan sendiri, tapi... saya punya mereka, orang sekitar yang mau berbagi ruang dengan saya. Hati mereka nggak mati, mereka peduli, bahkan mereka juga rela menjadi telinga ketika saya sedang membutuhkan. Bumi Allah itu luas, manusia di bumi ini tumpah ruah, dan semuanya makhluk Allah. Tidak ada yang berbeda, semua sama. Mengapa saya mengatakan demikian? Perjalanan ratusan kilo meter ini telah mengajarkan saya berbagai hal mengenai solidaritas, tenggang rasa, dan berjiwa besar. Terima kasih Ya Allah telah memberikan pembelajaran ini pada saya. For today or future, i love to be my self!


send a thousand happiness,

dessy amry raykhamna

Pennsylvania [2]: Incheon dan Korean Cuisine



Beberapa waktu yang lalu, saya telah drop post mengenai tips sebelum melakukan self-backpack (cerita lengkapnya : klik disini). Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, di pertengahan perjalanan menuju Pennsylvania, terjadi pergantian maskapai atau transit pada salah satu dari lima bandara terbaik di dunia setelah Munich International Airport, yaitu Incheon International Airport. Menurut hasil survey Skytrax, sebuah badan internasional yang melakukan survey terhadap angkatan udara di suatu negara, dari segi bandara, maskapai, sampe kabin pesawat. Munich Int Airport menjadi bandara dengan pelayanan dan fasilitas terbaik di dunia, peringkat kedua diduduki oleh Incheon Int Airport dengan maskapai Asiana Airlines yang dicap sebagai maskapai bintang lima, dan peringkat ketiga diduduki oleh Changi Int Airport. Sebagai Warga Negara Indonesia, saya juga turut berbangga karena maskapai Garuda Indonesia juga dinobatkan sebagai maskapai bintang lima dengan awak kabin terbaik di dunia. Ada baiknya, sebelum kita bepergian berjam-jam dengan suatu maskapai, untuk melihat feedback atau berbagai review mengenai pelayanan dan fasilitas yang diberikan pada suatu maskapai. Sehingga sewaktu di perjalanan tidak mengeluhkan ini-itu. Hal ini juga saya lakukan sebelum bepergian ke Pennsylvania. Searching dan hunting maskapai saya lakukan pada 2 minggu sebelum keberangkatan, sambil berharap dapat harga promo. Tapi ya... karena saya berangkatnya pada bulan-bulan liburan semester, yang ada dapat harga seperti hari efektif hahaha, nggak ada promo, hanya dapat diskon channel.



Mengenai maskapai, saya mencari di wego sama tripair, karena traveloka dan beberapa situs penyedia tiket travel lainnya hanya menyediakan direct flight dari CGK-PHL dengan penawaran harga yang kurang bersahabat. Di wego, saya dapat tiket harga lelang dari tripair dengan jenis round-trip CGK-ICN-PHL selama pulang-pergi (depart-return). Totalnya USD 1384 atau kalo dikurs-kan sekitar 18 juta-an untuk sekali perjalanan. Kata kakak sepupu saya, mbak siste, yang udah sering bolak-balik ke Amerika, dapat tiket dengan harga segitu termasuk murah, biasanya sampe 30 juta-an untuk sekali perjalanan. Akhirnya saya apply tiket tersebut untuk 1 orang. Yah, saya melakukan perjalanan backpack pertama kali dan itu sendirian! Biasanya kalo ikutan kompetisi atau acara-acara universitas, saya berangkatnya rombongan bareng tim. Kaya waktu IGD 2016, Compfest 2016, AODH 2016, INAICTA 2015, PHOSE 2015, REOC 2014, dan beberapa kompetisi lainnya. Semuanya bareng tim, nggak pernah sendirian hackathon sampe ke luar kota atau keluyuran di kota lain. Dan pada tahun 2017, untuk pertama kalinya, saya pergi jauh dari rumah, meninggalkan keluarga dan negara dengan jarak beribu-ribu kilo meter tanpa tim, tanpa siapapun. First time i am become self-backpacker, dont you know?

Pengalaman selama menjadi self-backpacker kali ini membuat saya berkesimpulan bahwa studying is not for getting good grades, but for training yourself to overcome hardships. Banyak hal yang saya dapatkan, mulai dari menjalin keakraban dengan beberapa anonymous di negara lain, kemudian menjadikan mereka temen akrab, belajar budaya baru, memahami atmosfer yang berbeda, beribadah di tempat yang dekat dengan kata musyrik-kafir, dan berbagai pengalaman baru lainnya yang nanti akan saya ceritakan di post yang terpisah. Nah back to topic, karena Incheon menjadi tempat transit saya pertama sebelum menuju ke Philadelphia, saya memilih maskapai Asiana Airlines untuk mengantar ke sana, dengan estimasi tunggu selama 10 jam. Beberapa ada yang nanya : kenapa nggak pake Korean Air? Karena menurut beberapa isu yang tersebar, sejak kemunculannya, Korean Air kerap mengalami banyak kecelakaan. Hingga Skytrax menyematkan kualitas maskapai bintang empat pada Korean Air, hal ini terjadi juga pada Japan Airlines yang disematkan bintang empat oleh Skytrax. Jadi menurut saya, tingkat safety itu lebih penting, makanya saya lebih memilih maskapai dengan bintang lima daripada bintang empat hehehe. Walaupun harga Asiana Airlines sedikit lebih mahal dibandingkan Korean Air. 




Selanjutnya, sambil menunggu keberangkatan maskapai Asiana Airlines, saya langsung eksekusi rencana berdasarkan itinerary yang telah dibuat jauh-jauh hari sebelum menuju Incheon. Berdasarkan itinerary, hal pertama yang saya lakukan begitu turun dari Air Asia adalah istirahat sekitar 30 menit-an di Rest Area, untuk menenangkan diri. Karena selama 7 jam di perjalanan udara saya sudah muntah berkilo-kilo (hahaha), saya termasuk nggak betahan dengan perjalanan udara yang cukup lama, apalagi kalo maskapai yang ditumpangi bukan tergolong comfortable bagi saya. Masih dikasihani oleh Allah, alhamdulillah, saya nggak pusing atau jetlag berkepanjangan. Sehingga saya masih strong buat perjalanan ke Myeongdong sekitar 2 jam-an untuk menemui Tante Sri walaupun badan masih lemas. Tante Sri adalah kerabat mama saya yang tinggal di Yongsan sejak suaminya menerima beasiswa LPDP doktoral tahun lalu. Awalnya saya pikir, Incheon tidak terlalu jauh dari Yongsan, sehingga saya berharap Tante Sri dapat menjemput saya yang kelemasan di depan Seoul Station. Ternyata tidak begitu adanya, sodara-sodara, jika ingin ke Incheon, Tante Sri harus naik kereta terlebih dahulu dari Myeongdong ke Seoul Station. Kemudian barulah bertemu saya, jarak dari Myeongdong ke Seoul Station tidak bisa ditempuh dengan mobil. Karena kedua wilayah tersebut ternyata berbeda pulau, masyaAllah!

Setelah menjalani adegan drama di depan petugas imigrasi, saya langsung menuju Seoul Station untuk berhenti di Myeongdong, karena rupanya Tante Sri telah menunggu saya di depan Kedai Jaws. Bisa dibilang, Kedai Jaws merupakan kedai yang menjual topokki terbaik di Seoul. Tapi sesampai di Kedai Jaws, saya nggak langsung mencicipi topokki karena masih merasa lemas dan nggak nafsu makan, apalagi buat nge-vlog dan foto-foto nggak ada tenaga. Akhirnya Tante Sri menyuruh saya untuk minum teh boricha atau teh gandum, yang telah diramu dengan gula rendah kalori dan air panas. Setelah meminum teh tersebut, saya kembali merasa strong, alhamdulillah, dan mulai memakan japchae asli Yongsan yang telah beliau bawakan. Terima kasih banyak, Tante Sri atas kepeduliannya pada saya yang kelemasan saat itu. Semoga Allah membalas segala kebaikan Tante dengan yang lebih baik. Amin Ya Robbal Alamin.      



Ritual pemulihan diri dengan meminum teh boricha dan makan japchae telah saya lakukan. Saya pun pamit pada Tante Sri setelah berbincang selama 2 jam-an di Kedai Jaws. Seperti perjalanan yang sebelumnya, saya kembali naik kereta ke Seoul Station, kemudian menunggu di Asiana Lounge selama beberapa saat. Mungkin ada benarnya, jika menunggu adalah hal yang membosankan, apalagi kalo perjalanan sendirian. Akhirnya saya memutuskan untuk menjalankan rencana kedua pada itinerary yaitu muterin Incheon sambil nyari tempat sholat dan mencicil oleh-oleh. Sebenernya di airport guide telah diberi arahan mengenai market place. Tapi saya ingin mengikuti intuisi dengan berbekal pengetahuan dari airport guide yang telah dibaca jauh-jauh hari, walaupun pada kenyataannya masih sering nyasar hahaha. 




Sebenernya saya sempat mampir sebentar ke Food Square dan berakhir nggak jadi makan apa-apa karena harga seluruh menu hampir bunuh kantong sekali makan, yang murah hanya sepiring kimchi. Harga bibimbap disana 10.000 won, kalo dikurs-kan sekitar 110.000-an, setara beli indomie 3 kardus. Berhubung juga, perjalanan ini ditanggung sponsor jadi mau nggak mau harus minim pengeluaran, supaya nantinya nggak terlalu nggelandang waktu perjalanan pulang. Karena nggak jadi mampir di Food Square, akhirnya saya memutuskan untuk berkeliling mencari tempat beristirahat sekaligus beribadah di Prayer Room. Waktu itu sedang memasuki dhuhur, sehingga saya memutuskan buat rapelan tafkhim dhuhur dan ashar (bersyukurlah bagi mereka yang menjadi musafir hahaha).

Diam-diam saya membatin, apakah di Amerika akan mendapatkan hal yang sama seperti ini? Bandaranya menyediakan prayer room, rest area yang nyaman, fasilitas yang lengkap di bandara seperti movie teather, kamar mandi lengkap dengan handuk-sabun-shampoo, spa/sauna, golf, toko buku, museum, dan lainnya?  Mendadak segalanya menjadi penuh misteri. Karena setahu saya, selama menjelajah search engine, tidak ada bandara di Amerika yang masuk ke dalam lima bandara service terbaik versi Skytrax. Belum lagi, pemberitaan mengenai Presiden Donald Trump yang menandatangani surat eksekutif untuk melarang imigran yang berasal dari negara islam masuk ke Amerika dan adanya pembangunan tembok perbatasan untuk Meksiko. What? Tolong... saya nggak mau jadi imigran gelap. Tapi yang namanya self-backpacker, harus menanggapi segalanya dengan positif meskipun pemberitaannya memilukan. Agar nggak mundur dari perjalanan, jadi nggak perlu berpikir kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi. Keep positive thinking!




Seusai rapelan dhuhur dan ashar, saya langsung berburu oleh-oleh di Duty Free. Untuk masalah tempat oleh-oleh, saya nggak perlu bingung. Karena sejak awal saya hanya bawa ransel sama koper kosong (nggak bener-bener kosong sih, hanya terdapat baju untuk conference day dan jas hujan), jadi nggak perlu bingung mau dimasukin kemana oleh-olehnya. Waktu di Kedai Jaws, Tante Sri juga bawain sekilo teh borichajapchae mentahan, sama odeng mentahan. Yang katanya, walaupun nggak difreezer 2-3 harian nggak bakal berbau. Soalnya udah dipress dan all from Yongsan (sudah saya duga semua ini akan terjadi ketika bertemu kerabat hahaha).

Beberapa barang yang saya beli di Duty Free, rata-rata hanya untuk keluarga dan saudara. Buat diri sendiri hampir jarang. Paling-paling saya beli dua potong baju ganti, kemeja dan rompi brokat, soalnya selama kesini hanya bawa dua potong baju. Baju berangkat sekaligus pulang dan baju conference day. Sedari awal udah diniatin backpacker, jadi ya mau gimana lagi. Ohya lebih baik kalo nanya-nanya detail produk yang ingin dibeli ke karyawan toko, saya sarankan pake bahasa jepang, tapi... kalo ngelontok bahasa korea ya pake bahasa korea. Fyi, saya pernah nanya ke mbak-mbak bagian syal dan sejenisnya, waktu itu saya pengen beli syal dengan model sama tapi grosiran. Nah saya nanya ke mbaknya :

"Excuse me, Eonni. I want to buy this scraft more than one. Can i have it?"
"Hmm?" sambil mengernyitkan dahi berulang kali
"Doushite?" celetuk saya nggak sengaja (dalam bahasa indonesia : kenapa?)
"Nihon-eu?" tanyanya
"Iie,"
"Sumimasen, kokyaku-san. Atashi wa eigo o wakarimasen," (dalam bahasa indonesia : maaf pelanggan, saya kurang ngerti bahasa inggris)
"Oh, wakatta..." saya ngedumel dalam hati.

Berawal dari celetukan tersebut, akhirnya kami dapat mengerti maksud satu sama lain. Duty Free menjual segalanya dengan lengkap, mulai dari buku, alat tulis, souvenir, baju, kosmetik, parfum, tas, berbagai peralatan rumah tangga, dan elektronik. Tapi ya gitu, menurut beberapa saran temen-temen, kalo ke Duty Free, beli yang di luar kosmetik, parfum, tas, dan baju. Katanya harganya akan sama dengan toko-toko lainnya. Sedangkan yang bener-bener bebas pajak hanya buku, alat tulis, dan souvenir. Kalo sumpit dengan bahan stainless steel beli disini aja, satu pack 1000 won. Sedangkan kaos kaki dapat harga grosir, selusin 7632 won (per biji 636 won). Apalagi harga segebok postcard malah lebih murah. Bisa dibayangkan juga harga alat tulisnya?

Sejak mengerti harga-harga yang tertera, saya makin males beli kalo ketemu alat tulis impor lucu-lucu di toko buku Indonesia. Dulu sebelum tahu harga-harga free tax, saya sering berburu alat tulis, setiap ketemu yang lucu, unik, dan vintage. Tapi sekarang... harus berpikir-pikir dahulu. Saya makin menyadari bahwa self-backpacker juga dapat menjadikan pribadi seseorang lebih super berhemat dan bisa ngerem mendadak buat nggak hebohan kalo lihat barang-barang impor yang vintage.


Sebenernya saya juga ingin berkunjung lama-lama di Korean Museum sama Korean Traditional Culture untuk mencoba membuat handmade. Korean Traditional Culture itu semacam expo bagi turis yang ingin mengenal budaya korea. Kadang kalo hari tertentu ada pertunjukan musik tradisional disana, kita juga bisa bikin gelang atau aksesoris sendiri dan membawanya pulang sebagai oleh-oleh. Tapi... karena penerbangan Asiana Airlines telah diumumkan akan segera flight dalam 40 menit, saya langsung berlarian ke terminal A untuk check-in.


send a thousand happiness,




dessy amry raykhamna