Rabu, 20 Oktober 2021

Dear Imamku

Well, ini bukan tulisan tentang review sebuah sekuel drama atau novel yang sedang naik daun tempo hari lalu. Saya membahas hal ini hanya untuk menuangkan segala pikiran dan keluh kesah yang membanjiri benak akhir-akhir ini. Benar kata pepatah 'jodoh tidak akan datang tepat waktu, namun dia datang di waktu yang tepat'. Sudah membaca postingan Dear Fussilat:30? Yah, disana saya bercerita bahwa pernah dikhitbah oleh ustadz saya sendiri di usia yang terbilang cukup belia, 13 tahun. Ketika saya mencoba menggabung-gabungkan puzzle apa yang terjadi dalam hidup saya, ternyata segalanya saling terkait. 

Sebenarnya Allah menawarkan jodoh untuk kita berulang kali di tiap fase usia, namun terkadang kita abai menanggapi kode dari Allah. Bukan jodoh yang sulit ditemukan, melainkan manusiaNya lah yang rewel, didatangkan seorang Qori' yang taat, berkulit sawo matang, manis, dan sebagainya, dia menolak. Kemudian didatangkan lagi, seorang khamil Qur'an berkulit putih, tinggi, ganteng, dan sebagainya, dia menolak. Mau yang bagaimana lagi seorang hamba ini? Sampai bertemu dengan seseorang berkulit biru atau merah muda atau hitam legam? 

Ada juga teori Barat yang menyangkal: menemukan seorang jodoh yang cocok dan sempurna dengan kita ibarat mencari sepatu di Mall, tapi sekali lagi itu hanyalah sebuah klise. Nyatanya, tidak ada orang yang cocok dan sempurna dengan kita di dunia ini, bergantung dari cara kita how to deal with it, agree? Selama kita bisa menerima dia sebagai pasangan, baik buruknya, sifat, watak, dan sebagainya, bukanlah ini lebih baik? Jika kita mampu menerima segala tentang dia, maka telan dan jika tidak, maka lepaskan. Entah teori filsuf atau orang-orang di luar sana terkait pemahaman ini, akan tetapi yang saya pahami akhir-akhir ini adalah kita tidak lebih dari sekedar sebuah 'boneka' milik Allah yang diperintahkan untuk taat pada perintah serta laranganNya. Tidak ada toleransi. 

Menikah adalah ibadah dengan ladang pahala yang melimpah ruah di antara seluruh ibadah yang ada. Tidak ada salahnya jika kita bersikap Qanaah dari segala keputusan yang semesta tawarkan pada hambaNya. Sekali lagi, hidup itu pilihan: bertahan atau pergi, berdiri atau berlari, bangkit atau berserah, dan di antara probabilitas lainnya. Hidup memang selalu menawarkan pilihan-pilihan selucu ini. Baru seminggu lalu, saya mengalami Quarter of Life, wanita berusia 25 tahun di Indonesia merupakan hal yang tabu, dimana setumpuk pertanyaan tentang menikah seolah senang sekali ditanyakan. Terkadang ada yang intimidatif dan menyudutkan, hal ini memang terdengar aneh, jika kita sering memiliki circle 'bodoh amat' serta 'independen'. Meskipun selama ini saya menanggapi segala permasalahan dengan santai bahkan kelewat santai, namun bukan berarti tidak memikirkannya. Saya berikhtiar sebagaimana muslimah seharusnya dan ketika berada pada titik berserah, Allah tiba-tiba mendatangkan dua orang, dimana keduanya tidak saya kenal selama ini. Keduanya memiliki niatan untuk menjadikan saya sebagai pendampingnya, bukan yang datang kemudian isapan jempol belaka. Lantas, bagaimana saya harus beristikhoroh?

Istikhoroh sejatinya memang harus dilakukan hanya dan hanya jika seorang hamba belum yakin akan pilihanNya dan perasaan di dalam hati haruslah netral, tidak memihak pilihan manapun. Karena jika di dalam hati seorang hamba telah memihak meski secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi, istikhoroh tersebut akan bersifat obyektif. Istikhoroh ini dapat dilakukan ketika seorang hamba telah melakukan amalan jodoh, kemudian Allah datangkan pilihan, dan barulah kita dapat bangun di sepertigamalam untuk melaksanakan shalat tahajud 8 rakaat, shalat istikhoroh 2 rakaat, serta witr 1-3 rakaat (seikhlasnya hehe). Istikhoroh ini sifatnya sunnah, jadi... jika kita sudah yakin akan seseorang dan yang datang tidak ada pilihan lain selain orang tersebut, silakan tidak istikhoroh, cukup mengucapkan 'bismillah' kemudian yakinkan hati untuk melangkah ke jenjang berikutnya.

Ada sebuah surat yang saya tulis dalam benak ketika telah yakin akan pilihan Allah, yang  awalnya saya meragu dan galau tidak menentu karena segalanya serba mendadak dan tidak disangka-sangka. Namun entah mengapa di saat meragu, ada saja cara Allah untuk membuat saya yakin. Akhirnya tanpa disangka, perasaan, otak, dan jemari saya saling berkoordinasi untuk menuliskan serangkaian paragraf:


Dear Imamku,

Aku menulis ini ketika bulan berubah kemerahan dan angkasa masih berselimut kabut hitam. Sejak belia, aku selalu meminta pada Rabb-ku untuk tidak menjatuhkan hati pada siapapun, kecuali pada kaum Adam yang kelak menjadi imamku, aku tak ingin hati ini ternoda dengan perasaan yang seharusnya tak kumiliki sebelum akad terucap. Hal itu selalu kulangitkan dan berharap istiqomah dijaga seperti sosok Sayyidina Fatimah. 

Mungkin lisanku mudah berkata, tapi tidak dengan hatiku. Wa syukurillah, doaku diijabah dan Allah jaga sampai hari ini. Aku tak pernah meminta sosok pendamping bak novel, yang kuminta pada Rabb-ku hanya satu "aku ingin dia adalah seseorang yang memiliki Qur'an di hatinya." 

Kemudian, Allah pertemukan dengan seorang dosen muda sekaligus santri. Dia adalah sosok yang perfeksionis, cuek, dan dingin. Mirip sosok di dalam novel kan? Tidak jauh-jauh dari sifat Pak Alif dalam "Assalamu'alaikum Calon Imam" dan "Diaku Imamku". Dia ibarat gunung es yang butuh buldoser untuk meruntuhkan kebekuan di hatinya. Dia ibarat ambulan unit gawat darurat yang tiba-tiba datang, kemudian mengkhitbah. Dia adalah manusia yang sulit kuterka isi pikiran serta hatinya hingga aku butuh pemikiran ekstra untuk memahami sosok itu sampai saat ini, but I love all challenges and I enjoy those every piece with you.

Imamku, Ayah menitipkanku padamu untuk kau bimbing, kau yang menjadi imam shalatku, imam rumah tanggaku, imam dari segalaku, serta imam dunia akhiratku. Semoga kelak kisah cinta kita seperti Sayyidina Ali dan Fatimah dipadu Nabi Adam dan Hawa. Karena menemukan jodoh sejatinya memang tidak pernah mudah, Hawa tidak pernah selonjoran di teras masjid saja hanya untuk bertemu Adam, begitu pula sebaliknya.

Then... last but not least, thank you so much Mas Dosen, yang telah menerima segala tentangku, aku yang  berisik, suka cerita, extrovert, dan... hobi nanya apapun (hahaha). So glad to have you in my life and live. Meski aku nggak ingat segala awal tentangmu, tapi mulai hari ini dan seterusnya I'll memorize all of you (jiahh... kurang romantis apa coba? :p)

Dari mahasiswa dunia akhiratmu, Dessy. 


Surat ini merupakan reka ulang yang telah disunting dari calon caption feed instagram yang telah tertimbun beberapa hari yang lalu. Saya sengaja mempostingnya ketika nanti sudah hampir mendekati hari pernikahan, supaya bisa dibaca berulang kali sekaligus sebagai reminder diri. 


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna