Jumat, 25 Mei 2018

Ujian Ketika Menghafal Juz 13

"Sejak lahir manusia sudah diciptakan oleh Allah memiliki 100 miliar sel otak aktif dan 900 miliar sel otak pendukung. 
Untuk memenuhi kapasitas otak dalam menyimpan informasi, manusia perlu mengisinya 
dengan hal baru setiap detik dan dapat bertahan selama 30 juta tahun."

Menghafal Al-Qur'an memang telah menjadi mimpi saya sejak usia belasan tahun. Mimpi itu muncul ketika ada khamil (sebutan penghafal Al-Qur'an yang diadopsi dari Timur Tengah dan Arab Saudi, yang di Indonesia disebut hafidz. Padahal berdasarkan nasabnya, hafidz sebenarnya adalah sebutan bagi penghafal hadist) yang membaca dengan microphone kelewat lancar tanpa kesalahan dan seringnya membatin "kapan ya.. bisa muroja'ah selancar itu?" dan memiliki anak-anak yang hafal Al-Qur'an juga salah satu mimpi Ayah sejak sebelum pernikahan. Mimpi ini kemudian menguat setelah membaca buku motivasi karya Abdul Aziz Abu Jawrah yang tidak sengaja terbeli waktu pergi ke Grand Indonesia. MasyaAllah. Beliau membahas mengenai esensi hidup manusia "untuk apa manusia hidup?" dan "mengapa manusia diciptakan?". Sungguh merugi manusia jika hanya makan, tidur, berketurunan, kemudian meninggal tidak membawa jasa ataupun karya. 

Sejenak berpikir, 21 tahun hidup apa yang dilakukan? Kadang banyak yang ngeles sama diri sendiri:

"Ah.. udah nggak muda lagi, menghafal juga percuma,"
"Aduh.. nggak punya waktu nih,"
"Lah ngapain? Toh menghafal kan nggak wajib."

Di luar sana, masih banyak orang tua dengan usia 54 tahun giat menghafal Al-Qur'an dalam waktu 4 bulan. Is it magnificient thing, huh? Kenapa yang muda-mudi malah sepi? Menghafal Al-Qur'an tidak memandang apapun asalkan ikhlas, begitu papar Abdul Aziz Abu Jawrah dalam bukunya. Sejenak hati saya seperti terbetot keluar dan pipi kanan kiri seperti tertampar keras. Tekad ini semakin menguat hingga hari ini, insyaAllah. 

Banyak hal-hal di luar nalar yang terjadi selama saya menghafalkan Juz 13, dimulai dari Surah Yusuf, Surah Ar-Ra'du, dan Surah Ibrahim. Memang ketika memulai menghafal Al-Qur'an akan ada ujian yang terselip atau ketika kita sampai pada surah-surah tertentu akan mengalami ujian yang berat dan secara kebetulan Juz 13 adalah juz diri saya. Juz yang memaparkan kelebihan, kelemahan, serta bagaimana diri saya. Karena sesungguhnya sifat dasar manusia itu terbentuk dari Al-Qur'an dan karakternya ada pada masing-masing juz. Untuk mengetahui diri kita juz berapa harus menyaratkan ke Alm. Kyai Moenadi, salah satu kyai yang ampuh dalam ilmu ma'arifat, jadi kita tidak bisa memprediksinya sendiri. Ketika menghafal surah Yusuf, saya merasakan banyak kehilangan namun juga merasakan banyak hal-hal tak terduga. Saya dipanggil untuk mengabdi ke salah satu kantor kementerian bersamaan dengan Ayah yang jatuh sakit, kemudian masuk ICU hingga pergi  meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Bahkan sebelum beliau sempat mengantarkan saya menuju ke jenjang pernikahan dan menimang cucu-cucunya kelak. Seluruh startup yang didirikan sejak semester awal perkuliahan terpaksa terpuruk di tengah jalan, namun Letter of Acceptance program magister di salah satu universitas 2oth Top Rank in the world melayang tanpa aba-aba melalui email. Meskipun saya harus mengajukan defer untuk Fall 2021

Banyak lika-liku yang memaksa saya untuk bersabar dan berusaha keras dalam meraih segala keinginan.  Ujian datang silih berganti,  rasanya seperti mendaki gunung berbatu, lebih susah untuk didaki daripada meraih kelulusan sarjana. Allah dengan penuh perhatian menunjukkan sebuah pemandangan "apakah nanti ketika meninggal saya akan seperti itu? Atau bagaimana nanti saya?" hanya membayangkan saja membuat mual. Seperti yang dikatakan guru saya "memang ketika proses menghafal akan banyak ujian.  Apalagi yang ketika berproses sampai pada juz dirinya.  Nabi Yusuf itu kan dimusuhi semua saudaranya,  dimasukkan ke sumur,  kemudian baru merdeka.  Semua itu tidak bisa instan, let it flow." 

Steal your thought,

Dessy Amry Raykhamna

Minggu, 06 Mei 2018

40 Hari Setelah Ayah Pergi

“Bekerja itu tidak perlu meniatkan awal untuk mencari uang, asalkan berguna sebagai tabungan jariyah untuk agama, bangsa, dan negara itu sudah cukup bagi Ayah.”


Petuah itu seolah menampar keras pikiran serta sikap ambisius yang tertanam dalam diri saya yang idealis. Selepas lulus kuliah, saya berambisi untuk mendapatkan upah minimal dua digit dan melanjutkan magister ke salah satu universitas dengan jurusan game terbaik di dunia, University of Helsinki atau Aalto University di Finlandia. Saya pun menekan keinginan itu karena stigma “hidup ini realistis”, manakah hal yang mampu untuk dicapai maka capailah, jika tidak maka tunda atau tinggalkan mungkin Allah telah mempersiapkan kehidupan yang cocok dan lebih dibutuhkan di masa yang akan datang. Qadarullah, Allah menuntun saya untuk berangkat ke Ibu Kota, memenuhi amanah menjadi UI/UX Designer sekaligus Front-End Programmer di salah satu kantor Kementerian. Beberapa minggu setelah saya bekerja, tetiba departemen Tisch School of Arts dari New York University menerbitkan Letter of Acceptance untuk Master of Fine Arts untuk applyer jurusan Game Design karena memang sebelum menuju ibu kota saya melamar beberapa universitas di dunia dengan jurusan Game Design yang telah terkonjungsi dengan industri, seperti DePaul University, James Cook University, dan Savannah College of Art and Design. Semua ini terjadi secara beruntun sebelum menyambut 40 hari kepergian Ayah.

Tidak pernah terbayangkan bahwa menulis akan menjadi seberat ini. Sudah lama ingin menuliskan perihal kepergian Ayah, namun baru saja hari ini saya mampu setelah kejadian beruntun itu. Ayah meninggalkan saya dan segalanya yang beliau miliki di dunia untuk selama-lamanya tepatnya 40 hari setelah 28 Maret 2018. Hidup itu memang saling mengisi dan saling menggantikan. Ketika manusia mulai merasa menginginkan namun tidak membutuhkan, komponen di dalamnya akan menghilang dan digantikan oleh komponen lainnya yang lebih dibutuhkan. Sadar atau tidak,  begitulah hukum alam ini bekerja. Saat ini, saya tinggal di Jakarta sebagai perantauan yang memahami persis beratnya meninggalkan rumah, tempat yang selama ini menjadi kebiasaan bersama keluarga. 40 hari telah berlalu, meskipun orang-orang merasa bahwa saya mampu melewatkan masa-masa kesripahan dengan baik, namun nyatanya saya tidak benar-benar sedang baik-baik saja. Saya butuh berteriak keras di hamparan padi yang luas untuk menekan amarah serta kepedihan yang dirasakan.

Saya telah hidup bersama 21 tahun dengan Ayah. Tentunya banyak kebiasaan-kebiasaan yang hilang sehari-hari. Biasanya setiap akan shubuh ditelepon dan ditanya “sudah shubuhan belum?” namun kini suara itu menghilang dan tidak hadir kembali dalam iringan tafkhim shubuh. Ayah merupakan anggota keluarga yang frekuensi berkirim pesan paling sering kepada saya dengan menanyakan hal-hal kecil, seperti “ci, sudah di kantor?”, “ci, sedang dimana?”, “ci , sudah makan belum?”, “ci, jangan diforsir di depan laptop terus. Tiap 20 menit lihat sekeliling”, “ci, jangan makan mi instan”, atau “ci, sedang apa?”. Sekarang semua pesan itu tidak pernah ada lagi dan yang paling pedih adalah saya tidak dapat lagi menggunakan kata “Ayah” dan memanggilnya dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin beberapa orang akan menjustifikasi bahwa saya berlebihan, namun begitulah nyatanya rasa sakit yang sebenarnya dirasakan ketika orang yang dianggap berharga meninggalkan kita untuk selama-lamanya dan suatu hari semua orang akan merasakannya tanpa menunggu aba-aba. Ini melebihi rasa sakit ketika dosen menolak topik skripsi, ketika tugas diplagiasi, ketika sudah bekerja keras namun tidak ada upahnya, atau ketika panas-panasan mengantarkan koran namun harus dizhalimi.   

40 hari setelah Ayah pergi, banyak yang berubah dari sisi kemanusiaan. Saya menjadi lebih memahami makna ditinggalkan, makna sabar-tabah-dan-bersyukur, makna ‘nrimo ing pandum’, dan makna surah Yasin serta Al-Mulk. Sejatinya memang manusia hidup tidak membawa apa-apa, selain jasad dan ketaatannnya. Washitape, cat air, travel log, sosial media, blog, ijazah, jabatan, gelar, atau kartu hasil studi semua tidak ada gunanya kecuali untuk memenuhi kepuasan duniawi yang rata-rata di dalamnya dipengaruhi oleh ambisi dan nafsu tamak (anyway, saya hanya mengeritik diri sendiri). Meskipun lebih meluangkan waktu untuk umat dan universitas, namun Ayah merupakan sosok yang menerapkan kesederhanaan seperti Umar bin Khatab, ketenagaan seperti Abu Bakar, keilmuan seperti Ali bin Abu Thalib, dan kekayaan seperti Usman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf. Setelah saya rolling back semua itu nyatanya beliau menerapkannya sesuai dengan bisyarah Rasulullah “letakkanlah dunia hanya dalam genggaman, niscaya kau akan melalui segala ujian dengan ringan”.  

Sebagai seorang pengacara, Ayah tidak pernah memaksa atau bahkan mengeluh tentang haknya yang belum terbayarkan. Sudah bersyukur bisa menolong klien yang membutuhkan, begitu katanya. Sebagai seorang ketua ta’mir, Ayah selalu yang pertama melakukan pembenahan dan ketika saya bertanya “kenapa buat jadwal khotib Ayah yang kerjakan? Kan bisa dikasihkan ke sekretaris?” namun Ayah hanya menjawab singkat “ini fii sabilillah, ci. Kenapa harus dihitung-hitung? Selama Ayah mampu ya Ayah kerjakan.” Sebagai seorang dekan, Ayah berusaha menarik minat calon mahasiswa untuk tergabung dalam fakultasnya sehingga mengupayakan mendapatkan akreditasi A. Sampai-sampai beliau rela membagikan brosur dan kalender instansi ke masyarakat, kemudian saya bertanya “kenapa harus Ayah yang membagikan? Dekan di fakultasku aja nggak seberusaha itu untuk panas-panasan bagikan brosur kampus, yah...” beliau hanya tersenyum “namanya juga ikhtiar, ci. Kita hanya bisa mengupayakan untuk menjadi yang terbaik. Banyaknya mahasiswa bisa menjadi pertimbangan akreditasi lo.”

Sebagai dosen, Ayah berusaha untuk menjadi doktor pertama di fakultasnya sehingga mendorong dosen-dosen lainnya untuk menjadi doktor dan menggalakkan penelitian jurnal internasional. Hingga ketika hampir mendekati 40 harinya, beliau meraih penghargaan “The Best Paper Award 2018” dari EAJournals Uni Eropa dan mendapatkan apresiasi dari Thomas Harvey dari editorial jurnal Inggris. Sebagai seorang penulis buku diktat perkuliahan dan opini di koran-koran nasional, Ayah selalu mengeritisi tindak pidana korupsi dari segi moralitas. Salah satunya terkait Elite Lecehkan Hukum, dalam artikelnya beliau menuliskan “Uang tidak dapat memberi Anda rumah yang penuh dengan kasih dan penghargaan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya” demikian pernyataan John Hagee,  dalam buku Barack Obama Menerjang Harapan yang diterjemahkan dari buku The Seven Secrets (2006).

Ayah yang tidak pernah menghitung-hitung kadang membuat saya rendah diri. Saya merasa gap atau jarak ketaatan di antara kami sangat jauh. Bahkan di suatu shubuh, saya pernah bertanya dan mungkin jika saya bertanya pada Tabi’in, saya akan dilempar ke Laut Merah. Pertanyaannya tidak muluk “Yah, usiaku kan sudah hampir 20 tahun, tapi kenapa setiap sholat tidak bisa menghayati sampai menangis seperti Ali bin Abu Thalib yang memahami kenikmatan dalam beribadah? Aku masih merasa kalau aku seperti memenuhi kewajiban aja.”  Dengan tersenyum, Ayah menjawab “kamu persis dengan sahabat Ali pernah bertanya mengenai sholat yang khusyuk bagaimana. Sekarang usiamu baru hampir 20 tahun, Rasulullah saja usia 45 tahun baru diangkat Rasul loh. Kalau kamu bisa khusyuk diusia belia, artinya ketaqwaanmu mendahului rasul? Nanti pasti ada masanya kamu berlaku seperti itu, terkadang juga tergantung dari kematangan usia. Nanti ketika sudah waktunya, Ayah akan ajarkan keilmuan juz untuk mendukung ketaqwaanmu kelak.”

40 hari setelah Ayah pergi, memberikan banyak kenangan dan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung yang belum terpecahkan tentang ketauhidan. Memang belum saatnya saya belajar, namun benak masih haus akan jawaban-jawaban untuk pertanyaan seputar itu. Kini tidak ada lagi yang bisa menekan atau membungkam pertanyaan konyol saya, karena diusia 20 s.d 25 tahun merupakan masa-masa peralihan menuju kedewasaan yang masih haus akan teka-teki puzzle mengenai ketauhidan.

Steal your thought,

Dessy Amry Raykhamna

Sabtu, 24 Februari 2018

Ayah dan Senja di Waisai

"Dulu ketika seusiamu, Ayah bermimpi untuk menuntut ilmu ke Kairo sambil memperdalam keilmuan kitab dan Al-Qur'an disana. Sepertinya mimpi itu harus Ayah simpan selamanya karena hidup ini harus dijalani tidak selalu dengan idealis, tapi realistis. Akhirnya atas izin Allah, Ayah meraih gelar doktor tanpa harus ke Kairo. Tidak perlu muluk-muluk untuk meraih bintang. Apa yang terbaik menurut kamu, belum tentu terbaik menurut Allah. Jalani saja toh semuanya akan menjadi dakwah yang (InsyaAllah) akan melengkapi ibadahmu kelak," kenangnya sambil memandang langit-langit rumah sakit.



Keadaan hari ini sangat berbeda 180 derajat dengan tiga bulan yang lalu. Ketika Ayah masih menikmati senja di Waisai sambil memberikan petuah-petuah hidup dalam kondisi sehat wal afiyat. Saya tidak menuntut banyak, hanya saja banyak ujian bertubi-tubi bersamaan dengan nikmat yang diturunkan oleh Allah pada bulan ini. 15 hari yang lalu, setelah CT Scan dilakukan, terjadi pendarahan dalam otak Ayah sekitar 1,5cc. Meskipun tidak terlalu banyak, namun cukup waktu berbulan-bulan untuk pemulihan total. Gejala stroke sejatinya terbagi menjadi dua bagian; penyumbatan dan pendarahan. Masa pemulihan penyumbatan rata-rata berlangsung lebih cepat daripada pendarahan. Jika tidak terjadi komplikasi, satu minggu cukup untuk pemulihan. Hal ini berbeda dengan pendarahan, membutuhkan bed rest berbulan-bulan untuk pemulihan karena darah sisa stroke membutuhkan waktu melarut minimal 21 hari dalam tubuh. Ayah pun hanya pasrah dengan berbaring di ruang rawat inap 'Jasmine' walaupun februari merupakan bulan terhectic baginya, agenda studi banding ke Belgia harus tertunda (padahal saya akan ikut serta, agak sedih tapi bagaimana lagi). Seseorang yang menderita penyakit kronishipertensi, diabetes, dan asam uratdiharuskan tidak pernah berhenti minum obat hingga akhir hayatnya. Itu adalah pernyataan medis yang sangat menyayat hati bagi saya dan keluarga yang hanya menampakkan ekspresi wajah ikhlas. 

Tiga bulan yang lalu tidak begini, dalam perjalanan pertamanya bersama rombongan APPTHI ke Papua Barat, Ayah masih tampak sehat dan kuat untuk berjalan berpuluh-puluh meter bahkan masih sempat mengikuti serangkaian itinerary kunjungan ke beberapa tempat wisata di Papua Barat, seperti Kepulauan Wayag, Painemo, Kampoeng Arborek (cerita lengkapnya: klik disini),  dan Pantai Waisai Torang Cinta. Dari semua tempat tersebut, sebenarnya Ayah lebih menyukai kunjungan terakhir di Pantai Waisai Torang Cinta. Dengan datang ke pantai kita dapat berpikir jernih seraya memilah-milah permasalahan yang bersarang di otak, katanya.  Ditambah lagi, hari itu akan beranjak senja. Sejak turun di Bandara Dominique Edward Osok, hawa dan aura dari daratan ini tampak berbeda. Meskipun panas dan sebagainya, namun ada sisi intrik yang melekat erat di sepanjang perjalanan sebelum tiba di Pantai Waisai. Orang-orangnya. Bangunannya. Alamnya.

Rata-rata orang asli Papua tidak terlalu ‘welcome’ pada orang berbeda suku atau asing. Beberapa di antara mereka membutuhkan Arak untuk berkomunikasi dengan pendatang karena kurangnya percaya diri. Mereka yang menjadi ramah pastilah telah berpergian ke luar dari daerah belantara itu atau menjadi perantauan di negeri lain. Bangunannya pun memiliki unsur ‘singuptanpa aura dan gelap’. Hal ini berbanding terbalik dengan alamnya yang luar biasa MasyaAllah, air lautnya jernih dan terlebih air payaunya hingga terlihat dasarnya. Sambil menunggu senja tiba, para rombongan berjamaah menunaikan sholat Ashar di atas jembatan bambu, setelahnya mereka berbincang-bincang atau sekedar menggelar piknik kecil di pinggiran pantai. Hari esok adalah jadwal kepulangan, Pantai Waisai menjadi kunjungan terakhir yang dirayakan dengan mengabadikan momen, rehat, dan acara bebas lainnya.

Selama menikmati senja, Ayah menceritakan banyak hal, sepertinya suasana Pantai Waisai mengingatkannya pada Pantai Pangi, pantai yang masih hijau dan tak terjamah masyarakat hanya satu kilo dari rumahnya di Desa Tumpak Kepuh. Ayah memiliki mimpi yang besar untuk agama dan bangsa sejak usia remaja, tekadnya untuk pendidikan lebih besar dibandingkan apapun. Ayah memberi petuah "semua ilmu dunia yang ada di Bumi ini telah dikarang dan dikuasai oleh kaum Yahudi. Jika ingin memasukkan keilmuan dunia yang telah teringkas di dalam Al-Qur'an, sebagai muslim kita harus belajar setinggi-tingginya supaya bisa menakhlukkan kaum Yahudi. Coba pikirkan, IT-mu bahasa pemrograman dan jaringan yang kau pelajari itu karangan siapa, jika bukan monopoli mereka? Di masa depan nanti, jadilah creator bukan seorang user." 

Saya hanya mengangguk lemas sambil memandang nanar pemandangan senja, seolah ada beban berat yang nantinya harus saya pikul jika benar-benar mengembara keilmuan di negeri yang jauh. Amanah dari bangsa dan kodrat hidup sebagai seorang muslimah. Hanya memikirkannya saja, hal itu berhasil menghantam keras kepala saya. Jika amanah itu tidak dikabulkan, maka anak cuculah yang harus menggantikan peran. Kasihan sekali anak cucu keturunan saya kelak. "Tidak ada yang pasti di dunia ini, tapi kita bisa membuatnya menjadi pasti. Allah itu kaya, Allah itu pemilik seluruh alam beserta isinya. Jika nanti kau punya hajat yang sekiranya bermanfaat bagi bangsa dan agama, maka mengembaralah untuk mencari kemudian tanamkan dihatimu. Tapi... perjalanan juang anak muda saat ini tidak seperti Ayah dulu. Bayangkan, Ayah pernah menjadi pedagang tahu keliling karena dampak perekonomian yang disebabkan genjatan senjata oleh G30SPKI di Blitar dulu.  Padahal Indonesia sudah merdeka itu, tapi hanya merdeka hitam di atas putih. Tapi sekali lagi, perjuangan Ayah juga masih belum sebanding dengan Salman Al-Farisi dan Zaganosh Pasha dalam mencari ketauhidan. Salman Al-Farisi bahkan berkeliling antar benua untuk menemukan Baginda Rasulullah dan Zaganosh Pasha bahkan berjalan kaki dari desanya menuju Turki Utsmani untuk menemukan Syekh Al-Qurani, guru tahfidz dari Muhammad Al-Fatih." Suatu saat nanti, saya berjanji akan menjadikan petuah dan kisah hidupnya yang pelik itu sebagai sebuah buku autobiografi. Dari pedagang tahu keliling, berakhir menjadi guru besar Hukum Tata Negara. Highlight itu mungkin cocok disematkan padanya, namun sebelum buku itu terbit, saya berharap Ayah sempat untuk mengoreksi dan membacanya (Amin Allahuma Amin). 

Sepertinya nuansa senja di Waisai akan tetap sama, meskipun sudah berbulan-bulan. Berbeda dengan entitas yang pernah datang menikmati sejenak. Keadaan Ayah hari ini masih belum stabil, sempat dilarikan ke ICU karena kemarin sempat mengginggau tidak jelas dengan membaca alfabet dalam bahasa inggris. Saya pikir itu merupakan bagian dari terapi wicara, namun ternyata itu adalah sebuah gangguan mengginggau atau mungkin pendarahan kembali? Karena belum ada hasil CT Scan yang pasti, saya urung untuk menduga-duga. Apapun itu semoga semuanya adalah pilihan yang terbaik yang Allah berikan dan titipkan ujian pada hamba-hambaNya. Jika Ayah membaca tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa saya bangga dilahirkan menjadi anak pertama dari Ayah dan saya bangga memiliki Ayah seperti Ayah meskipun hanya mampu meluangkan waktu 5 s.d 15 menit di rumah untuk mengambil bekal kentang rebus. Terima kasih banyak selalu bekerja keras untuk saya dan adik-adik dan atas segala kenangan, pelajaran, petuah, dan klise-klise lainnya yang pernah Ayah berikan pada saya. Hanya do'a yang mampu saya panjatkan, karena jarak dan sebagainya. 


Steal your thought,

Dessy Amry Raykhamna
  

15 Hari yang Melelahkan

Hampir setiap malam, saya meracau. Sebenarnya untuk apa saya hidup dan apa amanah dari nama Dessy Amri Raykhamna dalam beragama, berbangsa, dan bernegara. Ini terdengar seperti akan membacakan undang-undang dasar, namun memang ini yang saya rasakan. Mendadak pikiran menjadi labil dan sering menanyakan banyak hal di awal usia 21 tahun. Ditambah lagi, tidak pernah berpikir bahwa memilih bekerja atau berkuliah akan menjadi soal yang rumit dibandingkan memilih Axure RP atau Pidoco sebagai wireframetidak perlu dicerna secara serius. 15 hari di bulan februari menjadi awal yang cukup berat. Seperti yang telah saya ceritakan di postingan sebelumnya (Ayah dan Senja di Waisai: klik disini), tetiba Ayah harus diopname hampir 2 minggu dan sepulang kursus saya harus pulang ke rumah sakit. Begadang hingga pukul 2 malam karena menjaga infus paracetamol sambil ditemani beberapa novel tebal. Padahal di awal januari saya tidak memiliki target judul buku untuk dihatamkan, tapi secara ajaib bulan februari membuat saya menghatamkan 7 novel tebal dalam 2 minggu. Ini pencapaian yang tidak pernah saya lakukan selain membaca 40 komik dalam seminggu. Biasanya 2 minggu hanya mampu saya habiskan untuk 2 buah novel setebal Harry Potter seri the Order of Phoenix dan the Deathly Hallows. Sederetan pengakuan ini bukanlah hal yang saya banggakan, tapi saya merasa prihatin akan diri sendiri yang bersikap introvert. Kadang sikap itu kembali ketika kesepian menghampiri. Yah... seperti 15 hari di awal bulan februari ini, sepertinya saya akan menjadi kutu buku tingkat akut.

Kegiatan 15 hari ini hanya berputar pada rumah sakit, kursus, buka email, baca novel, dan imbuh-imbuh lainnya. Sekedar info, jurnal internasional tidak tersentuh sama sekali seusai saya memberikan stabilo pada baris-baris yang perlu dimasukkan ke dalam paragraf literature review sejak januari lalu. Merawat orang sakit, siapa pun itu, membutuhkan tenaga dan pikiran ekstra lebih dari sekadar menulis latar belakang skripsi. Tidak bisa disambi dengan hal-hal duniawi lain termasuk membalas pesan media sosial. Meskipun benar-benar sibuk, namun serangkaian ini merupakan sibuk yang melelahkan. Jika ditanya "lagi ngapain?" atau "sekarang ngapain aja?". Saya agak malas untuk menanggapi dan merasa tidak perlu memaparkan apapun, lebih sering saya jawab sekenanya. Terkadang memaparkan segala sesuatu perihal dunia nyata ke dunia maya, bukanlah hal yang relevan. Paling-paling tidak ada solusi berarti, hanya rangkaian kata 'penuh empati' atau yang lebih parah, menertawakan karena kasihan. 

Alih-alih menimbang antara bekerja atau berkuliah, memikirkannya saja sampai tidak sempat. Walaupun saya telah meluncurkan banyak opportunities, mulai mendaftarkan diri ke universitas, ke incubator company hingga ke kementerian, sebelum 15 hari ini. Dua dari incubator company mewawancarai dalam minggu yang sama melalui Skype dan detailnya pernah saya ceritakan di postingan sebelumnya. Dalam 15 hari ini, saya lebih sering menghabiskan waktu untuk mengulur target jurnal internasional yang seharusnya hari ini terbit namun terhambat berminggu-minggu karena harus bergantian menjaga infus setiap malam. Saya tidak berniat mengeluh karena bagaimanapun ini adalah ujian Allah untuk menambah ketaatan birulwalidain, hanya saja ketidakproduktifan sering menggerayangi.


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna


Rabu, 21 Februari 2018

Akankah Saya Menuju ke Jenjang Pernikahan?


Jarang-jarang saya membicarakan hal yang sangat pribadi di halaman blog. Mungkin efek dari pernyataan di postingan sebelumnya mengenai buku catatan untuk 2018, jika saya berniat berburu jodoh di tahun ini. Biasanya saya hanya menceritakan seputar daily life, pengalaman berpartisipasi di lomba X, Y, atau Z, sharing hobby, pengalaman travelling,  dan nol mengenai ruang percintaan terlebih pernikahan. Bukannya malas membicarakan hal ini namun saya agak ragu jika harus menuliskannya ke dalam sebuah tulisan. Yah... menurut saya percintaan terlebih pernikahan bukanlah opini publik, jadi untuk apa dibagikan. Namun akhir-akhir ini kepala sering pening dan tidur tidak terlalu tenang karena permasalahan kompleks yang mungkin menurut sebagian orang bukanlah hal yang perlu dipusingkan berlarut-larut.

Sebulan terakhir sebelum saya meninggalkan kota Malang, di dalam ruang rawat inap ‘Jasmine’ Ayah tiba-tiba membahas ‘’Kapan kamu menikah, nduk?” dengan aksen jawa yang lumayan kental. Saya saat ini berusia genap 22 tahun dan rasanya sudah bukanlah hal aneh ketika orang tua di keluarga manapun  menanyakan masalah ini. Bahkan di usia saya, Mama termasuk orang yang dengan cepat meng-iya-kan ketika dilamar oleh seseorang. Prioritas utama yang penting ‘sholeh‘, begitu nasihatnya. Sebenarnya saya termasuk orang yang akan tertarik dengan seseorang yang rajin melakukan sunnah, jadi begitu bertemu dengan salah seorang dari kampus yang hampir barengan dhuhahan seusai bimbingan skripsi maupun jurnal internasional, saya langsung simpatik. Bukankah tidak terlalu muluk? Daripada harus membanding-bandingkan dengan yang kaya-raya-tampan-menggunakan-jas-kacamata hitam-rayban hitam-layaknya-eksekutor-serta-berkemeja rapi-berkulit putih-layaknya-oppa oppa-korea, sepertinya deskripsi ini hanya ada dalam novel, webtoon, atau komik serial cantik. Di dunia nyata? Jangan harap ada yang seperti itu dan saya cukup sadar diri.

Mungkin bagi Mama pertanyaan “kapan kamu menikah?” adalah pertanyaan yang mudah dipecahkan, semudah menjawab “ingin makan menggunakan cah brokoli atau cah jengkol?” namun tidak bagi saya. Pertanyaan itu seperti mengharuskan kembali menyatukan kubik-rubik yang tercacar di lantai, kemudian menyusunnya menjadi keseluruhan berwarna seragam. Menurut saya, menikah itu berarti saya harus menyatukan persepsi, ego dibuang, pondasi agama yang kuat, hafalan sudah tidak ada masalah, istiqomah sunnah, dan lain-lain. Terlalu muluk, ya? Sebab bagaimana nanti seorang ibu dapat mengajarkan anaknya baca tulis kitabullah kalau baca Al-Qur’annya masih belepotan? Bagaimana nanti melayani suami ketika kitab durratun nasihin (halah) irsyadul ibad saja tidak hafal? Bagaimana nanti jika sering debat hanya masalah ‘popok’ karena melalaikan isi surah Ali Imran atau Luqman? Dan sederetan bagaimana nantinya jika....

Hanya memikirkannya, saya bahkan tidak tahu harus menjawab apa ketika disumpal pertanyaan itu oleh mereka. Jadinya hanya menjawab sekenanya “mungkin sebelum usia 24, yah..” Ya Allah Ya Robbi jawab apa saya? Bahkan calon-aja-belum-ada-dan-dua-tahun-lagi-bukanlah-waktu-yang-lama! Rasanya ingin menghilang atau kabur kemana saja. Walaupun kadang sering menenangkan diri “tenang, usia hanyalah angka” tapi nyatanya hal itu susah untuk diabaikan. Sering-sering terpikir jika berada pada kesepian, misalnya ketika pergi ke toko buku sendirian “andai ada gandengan pasti sudah tidak perlu membawa buku seberat ini” dan keluhan-keluhan semacam itu. Meskipun pengandaian itu nyata dilarang oleh Allah. Astagfirullah!

Karena saya selalu menjawab sekenanya, akhirnya Ayah mencarikan calon selama 15-hari-yang-melelahkan-itu (15 hari yang melelahkan: klik disini). Hari silih berganti, total calon ada 5!! Semuanya di luar nalar saya selama ini. Calon pertama: dosen-muda-usia 26 tahun-mengajar-di-universitas-negeri-di-malang-lulusan-master-informatika-ITS-tinggi rata-rata-kulit putih-rajin sholat sunnah-mungkin puasanya juga-fans para mahasiswi-karena-baik-dan-tidak pelit nilai-dan-memiliki lesung pipi (anyway, ini memang sederetan deskripsi untuk orang yang tersebut di paragraf kedua dan sering bertemu). Calon kedua: dosen-muda-mengajar-di-universitas-swasta-di-malang-lulusan-master-hukum-james-cook-university-tidak terlalu tinggi-kulit semi sawo-katanya-qiroahnya-juara-dan-punya wajah yang lumayan (semoga tidak stalking dan menemukan blog ini). Calon ketiga: masih-dosen-hampir 30 tahun-pengusaha juga-mapan-punya rumah dan kendaraan pribadi-kurang-tahu-kalau-istiqomahnya-apa. Calon keempat: anak-teman-ayah-which is-tetangga-lulusan-sarjana-hubungan internasional-kulit hitam pekat-tinggi menjulang-akan-melanjutkan-master-di-swedia-dan-setiap-hari-ayahnya-selalu-mengirimkan-mashed-potato (baik sekali keluarganya). Calon kelima: calon-dosen-muda-universitas-islam-negeri-lulusan pesantren salaf-tampan (dilihat dari frekuensi perempuan yang ingin meminang! Waw jaman telah berbalik, perempuan jaman now sangat krusial)-tinggi hampir 180cm-ngajinya-juara-layaknya-meminjam-suara-fatih-seferagih-berkulit putih-dan-memiliki-lesung pipi.  

Seharusnya semua calon adalah pilihan yang perlu diistikhorohkan dan cukup menjanjikan di masa depan, namun sekali lagi saya-bukanlah-seorang-putri-indonesia-dengan-tinggi-semampai-dan-ilmu-agama-yang-berlebih. Saya hanyalah perempuan biasa dengan prestasi duniawi yang abal. Awalnya saya berniat memilih calon pertama karena sudah tahu dan bertemu setiap hari, namun setelah tahu bahwa beliau adalah lulusan pesantren Gontor. Saya ulangi: G-O-N-T-O-R, pesantren yang super ketat dan banyak sekali (sampai tak bersisa mulai akidah, ketauhidan, dan lainnya tidak heran jika beliau rajin menegakkan sunnah) ilmu agama yang telah dikenyam, mungkin kitab salaf sudah jadi makanan sehari-hari. Kepala saya seperti dihantam batu 20kg, tidak 200kg! Realistis saja, calon pertama paling hanya mau dengan anak kyai yang memiliki pesantren sehektar. Tinggal calon kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Iya K-E-L-I-M-A! Itu hanyalah sebuah mimpi dari seorang nijikon mengharapkan menikah dengan seiyuu! Mana mungkin kesampaian, dikejar mengitari andromeda tidak akan sampai. Kedua orang tua saya memang suka sekali menyiksa anak sendiri, dilihat dari kacamata manapun mereka jomblang kalau sama saya! Bukannya tidak percaya diri, mana mau sih mereka dengan seorang anak micin (eh salah, buntalan) berilmu koi? Realistis. Saya pun terpaksa mengatakan “sepertinya... saya belum siap yah, masih perlu menyesuaikan diri dulu” itu jawaban  yang terdengar sangat pengecut.

Rasanya jenjang pernikahan hampir dekat bagi saya, mengingat hafalan Juz 13 saja belum selesai-selesai dari sebulan yang lalu. Kalaupun didekatkan semoga segalanya atas izin Allah. Untung saja ini bukanlah novel, jadi saya tidak perlu menulis ending dari tulisan ini, kan?


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna


Rabu, 31 Januari 2018

Tips & Trik Meraih Band Score 9.0 di IELTS

Beberapa minggu yang lalu, saya mengadakan mini voting untuk postingan blog di bulan Januari 2018. Awalnya hasil voting didominasi oleh behind the scene tentang pengerjaan skripsi, namun tetiba jumlah voters untuk tips dan trik meraih band score 9.0 di IELTS mengejar topik sebelumnya sekitar 50 pengikut dari 101 viewers.  Ini di luar dugaan saya karena saya hanya menargetkan sampai 30 pengikut untuk ikut voting. Membaca pangsa pasar yang semakin haus akan kebutuhan tes kemampuan bahasa inggris, saya mencoba untuk menulis artikel click bait yang sebenarnya hampir tidak pernah saya ulas di blog pribadi. Mengapa saya tiba-tiba menjadi giat menulis ini? Sampaikan ilmu walau hanya satu ayat. Kata-kata ini seolah memaksa jemari saya untuk segera mengetik hal-hal penunjang dakwah di masa yang akan datang. 

IELTS atau International English Language Testing System merupakan ujian internasional giatan Inggris dan Amerika untuk mengukur kemampuan native atau non-native dalam hal berbahasa inggris. Jenis IELTS terbagi menjadi dua diantaranya Academic dan General Training. Bagi yang menginginkan lanjut bersekolah atau berkuliah ke luar negeri disarankan untuk mengambil Academic, sedangkan General Training biasanya diperuntukkan bagi yang ingin bekerja di perusahaan atau bermigrasi ke suatu negara dengan bahasa utamanya adalah bahasa inggris. Kedua tes ini mencangkup empat kemampuan, yaitu Listening, Speaking, Reading, dan Writing. Masing-masing kemampuan memiliki format tersendiri detailnya dapat dibaca disini. Secara kasar, IELTS sama halnya dengan TOPIK atau ALI, sama-sama tes kemampuan kemahiran suatu bahasa. TOPIK untuk mengukur kemampuan berbahasa korea dan ALI untuk mengukur kemampuan berbahasa arab. Semuanya memiliki peran penting tergantung kebutuhan masing-masing exam takers

Sebenarnya ketika saya membuat postingan ini ada sudut pikiran yang menyatakan ketidakpercayaandiri. Saat simulasi pertama kali, band score IELTS saya hanya 5,5 dan dominasi tertinggi terletak pada reading dan writing dengan band score 6,0, sedangkan listening sangat memprihatinkan yaitu 4,5 dan speaking diangka 5,5. Kemudian pada tes simulasi IELTS terakhir (katanya ini sangat potensius untuk the real exam dan kebanyakan test takers ketika pengujian real hasil yang didapat naik 0,5 sampe 1) yang saya ambil seminggu yang lalu, saya masih belum meraih perfect score di semua kemampuan, hanya writing dan reading yang mendapatkan band score 9.0, sedangkan listening dan speaking berada pada band score 7.0. Jika dirata-rata band score saya adalah 8.0. Kata orang-orang di sekeliling saya hal ini sudah lebih dari lumayan karena rata-rata orang Asia sekitar 7.0 hingga 7.5. Saya tetap bersyukur Alhamdulillah meraih band score sekian, meskipun tempat saya menempa diri sangat mengharuskan muridnya untuk meraih perfect score. Bahkan ada salah satu murid SMA yang hanya 7 kali mentoring band score-nya langsung 7.5 atau yang NOL dalam bahasa inggris dalam jangka waktu 4 bulan dapat meraih 9.0 atau yang paling menakjubkan, ujian GMAT dan IBT-nya hanya salah SATU buah soal di writing dengan mentoring selama 2 bulan  

Tentunya saya tidak akan sharing tentang meraih nilai GMAT atau IBT yang penuh perjuangan itu, saya hanya akan sharing tentang "bagaimana saya menaikkan band score IELTS beberapa kali lipat dari band score sebelumnya?"

1. Tetapkan tujuan dan milikilah kata-kata penyemangat
Sebelum bertempur lebih baik menetapkan tujuan kemana kita nantinya akan berlabuh, fokus kita dimana? Mengambil IELTS untuk sekedar ingin tahu atau bersenang-senang? Buatlah tekad yang kuat, jangan seperti kerupuk disiram air. Peliharalah semangat setiap hari, misalnya saya adalah IELTS Academic takers maka saya menulis di dinding kamar seukuran A3 atau lebih besar lagi "saya akan meraih band score 9.0 bagaimanapun caranya untuk mendapatkan predikat terbaik di mata dunia dan universitas yang saya tuju." Karena nantinya saya akan melanjutkan jenjang Strata-2, maka tuliskan semua kebutuhan dengan jelas di dinding kamar dan ketika bangun di pagi hari saya dapat melihatnya secara saksama kemudian muncul semangat baru.

Mimpi besar dan muluk tidak masalah, toh nantinya jatuhnya tidak jauh dari itu. Saya mengharapkan band score 9.0, tapi Allah menghendaki 8.0. Tidak begitu jauh bukan? Hal ini disebabkan best effort yang kita berikan adalah untuk meraih band score 9.0 bukan 8.0. Sebagai buzzer setiap harinya, saya membutuhkan asupan kata-kata penyemangat yang telah diteriakkan dari mulut atau sebut saja sebagai sumpah. Saya meyakini dua hal saat itu bahwa "saya hanya akan sukses ketika saya mampu untuk menjadi lebih baik dari diri saya yang kemarin" dan "jika saya lelah memperjuangkan suatu hal, berarti hal tersebut adalah sangat berharga." Setelah saya memasukkan kata-kata ini alam bawah sadar, saya merasa bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini karena sejujurnya saya tidak menyukai bahkan benci setengah hidup dengan bahasa inggris dan kini perasaan itu berubah menjadi cinta seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, segera temukan kata-kata penyemangatmu.

2. Pilih tempat kursus yang tidak abal
It is okay jika beberapa dari kita memilih untuk otodidak belajar semua kemampuan di IELTS. Tapi... ada hal yang perlu diketahui speaking dan writing tidak bisa dipelajari otodidak. Kedua kemampuan itu membutuhkan partner untuk mengoreksi salah pronounce, grammarparaphrase, atau idiom yang digunakan. Karena terkadang kita tidak menyadari apa yang diucapkan maupun ditulis beberapa detik yang lalu, benar tidak? Pilihlah tempat kursus yang tidak abal, jangan hanya tertarik diskon atau tawaran band score tinggi tanpa pembuktian yang relevan. Kita harus menjadi smart consumer untuk kurang lebih 3 juta dalam sekali tes IELTS. 

Banyak kursusan yang menawarkan macam-macam namun goal tiap murid belum tentu dapat diraih karena ada permainan bisnis di dalamnya. Bagi yang pernah berpengalaman melakukan pekerjaan freelancer di freelancer.com, ibaratnya nilai project yang akan kita biding harus relevan untuk membidik sasaran dengan tepat. Harga dan ilmu yang akan dihasilkan harus sepadan. Kata orang Jawa, rego nggowo rupo atau harga membawa rupa. Untuk usaha speaking, saya menempa diri dengan mengunjungi channel ETJ English dan mempraktekkan semua hal di dalamnya hingga menyetorkan hasil latihan ke Mr. Elliot sendiri melalui website teaching-nya dengan membayar sekian euro per jam. Berlatih aksen itu penting untuk menaikkan band score 0,5 sampai 1. Dalam usaha writing untungnya saya dibimbing dengan guru yang (menurut saya) sangat tepat. Beliau sangat ketat dalam mengoreksi punctuation, pemilihan lexical resource, dan menyarankan saya untuk tidak selalu direct translation agar hasil tulisan tampak seperti native writing

Terkadang beberapa dari IELTS taker mengeluh akan biaya untuk kursus dan hal yang terkait dengannya. Sebenarnya biaya ini dapat dicicil selama kita berkuliah di Strata-1, dapat dengan menyisihkan uang bulanan, uang beasiswa, atau pendapatan selama menjadi freelancer atau part-timer. Visi yang kita himpun harus jauh, jadi tidak ada alasan lagi untuk mencari tempat kursus yang relevan dan tidak abal. 

3. Deteksi kemampuanmu 
Baik otodidak maupun kursus, kita dapat mendeteksi kemampuan melalui pre-test yang dilakukan bersama diri sendiri. Kita harus menjadi sadar diri. Biasanya kesusahan terbesar IELTS takers adalah tidak mengetahui di lini mana seharusnya dia berada karena egonya lebih berkuasa dibandingkan dirinya. Dari pre-test tersebut, kita akan mengetahui seberapa mampu dan waktu yang dapat ditempuh untuk menguasai 4 kemampuan dalam IELTS. Saya akui, saya memiliki porsi yang berbeda-beda untuk memahami tiap-tiap kemampuan.  Kemampuan terendah saya adalah di listening, selama tiga hari saya menyusun materi yang cocok untuk diperdengarkan selama 1 bulan ke depan dan listening dapat dikembangkan secara otodidak. 

Saya memahami bahwa listening dengan band score 4,5 di awal membutuhkan usaha yang besar untuk merangkak naik ke 5,0, 6,0, hingga 7,0 sehingga saya mendedikasikan pagi hari (pukul 5 hingga 11) dan disambung sore hari (pukul 3 hingga 5) hanya untuk listening. Materinya dapat berupa film, lagu, materi TEDx, atau soal listening IELTS. Untuk writing hampir setiap malam saya membuat essay mulai pukul 8 hingga 10 selama 2 bulan, yang hasil essay tersebut akan disetorkan kepada guru writing pada siang hari. Untuk reading, saya merampas 1-2 jam di tiap weekend atau waktu kosong untuk membaca koran, novel, dan jurnal berbahasa inggris untuk memberikan stabilo pada vocabulary, word form, word choice, pemilihan conjuction, dan cara mereka menuliskan suatu kalimat sehingga tidak menyebabkan direct translation

4. Buatlah catatan untuk bakat dan kelemahanmu 
Hal ini sangat penting untuk mengingat dimana letak hal-hal yang harus ditingkatkan. Saya menyediakan 4 buku untuk merangkum masing-masing kemampuan. Apa yang dikatakan orang sekeliling dan guru tentang saya selama IELTS, saya catat atau ketika menemukan kosakata baru di koran, novel, atau jurnal langsung saya tulis pada buku yang merangkum kemampuan reading, seperti itu terus berulang-ulang hingga hari H tes. Bahasa inggris bisa jadi adalah talent bagi beberapa orang, namun bagi yang tidak menyenanginya juga dapat membuatnya beralih menjadi mencintainya. Unfortunately, that is true! 

Ketika band score writing kita telah mencapai 6.0, segeralah untuk mempelajari buku karangan L.G Alexander dan catat caranya memodifikasi suatu kalimat serta hafalkan idiom untuk menaikkannya menjadi 7.0.  Tidak masalah untuk mempelajari writing dahulu sebelum reading. Dari writing, secara tidak sadar, kita akan termotivasi untuk membaca banyak buku sebagai bahan kepenulisan, right?

5. Naikkan bakatmu dan latihlah kelemahanmu
Sudah mengetahui bakat dan kelemahan, kemudian apa? Bakat harus terus diasah dan kelemahan harus dilatih untuk meningkat. Misalkan kita berbakat diwriting maka kita harus mencari guru yang tepat yang sekiranya mampu meningkatkan gaya penulisan serta ragam lainnya dikepenulisan. Saya merekomendasikan thewritingcoachmalang, dengan mesin interpreter yang dimilikinya kita dapat mengoreksi tulisan essay, paper, atau jurnal. Jika membutuhkan writing guide bisa langsung booking dalam 24/7 dan meeting point-nya bisa dimanapun (restaurant, mall, asalkan masih dalam lingkup kota malang) dengan membayar per jamnya. Untuk di luar malang bisa guiding melalui Skype. Begitu pula dengan titik lemah, misalkan kita sukar untuk listening maka kita dapat melatihnya secara otodidak namun berulang-ulang dan konsisten.    

6. Buatkan dirimu jadwal
Sudah ada keniatan untuk menaikkan bakat dan melatih kelemahan, lantas apa? Asahan bakat dan latihan kelemahan tidak mungkin berhasil jika tanpa diberikan porsi waktu yang cukup. Buatlah jadwal besar di kertas A3 mulai senin hingga minggu. Misalnya, saya memiliki kelemahan di listening dan biasanya berdampak pada speaking atau lebih dikenal active subject in english, sehingga saya memiliki susunan menu di setiap bulannya:

Bulan ke- 1: Lakukan creambath sebelum simulasi dan konsultasikan telinga ke dokter THT. It is okay. Mungkin ini hal yang remeh, namun apa salahnya untuk dicoba. Setelah telinga dibersihkan, saya dapat mendengar pronounciation lebih baik daripada sebelumnya. Sebelum melakukan tips ini, saya bertanya pada teman-teman yang mengambil kelas listening for SAT, IBT, GRE, and GMAT yang membutuhkan standar score yang tinggi untuk lolos di Harvard, Oxford, NUS, UCLA, MIT, dan beberapa universitas di dunia dengan kapasitas penerimaan yang ketat. Jika dibandingkan dengan keempat ujian tersebut, IELTS tampak luar biasa mudah. 

Rata-rata mereka mengatakan listening lebih terdengar jelas setelah telinga dibersihkan. Setelah itu, cobalah mendengar lagu, percakapan radio (radio BBC atau radio VOA), pidato di channel TEDx, menyalin lirik lagu (buatlah daftar 10 lagu untuk dihafal dan disalin liriknya), dan mencatat vocabulary pada film yang telah ditonton (buatlah daftar 10 film untuk ditonton). Dalam menonton film tidak asal menonton, ceritakan kesimpulan atau interpretasi jalan cerita dari film tersebut dan lakukan dengan menggunakan bahasa inggris. Perhatikan pula pronounciation yang dipelajari melalui channel ETJ English. 

Bulan  ke- 2:  Lakukan setiap seminggu sekali untuk simulasi dengan native secara online atau coach di tempat kursusan. Hal ini akan menaikkan band score setidaknya 0,5 setiap minggunya. 

Bulan ke- 3: Perbanyak jam terbang dengan berlatih variasi soal dan perbanyak membaca koran berbahasa inggris dengan suguhan lexical resource yang sulit serta susunan penulisan yang tidak biasa, seperti mengandung unsur abridgment dan break down-nya. Ini dapat membantu untuk writing sehingga tidak tampak direct translation ketika menuliskannya.

Jadwal ini dapat dipercepat jika kemampuan listening yang dimiliki paling tidak 6.0. Saya mengasah sekitar 3 bulan untuk mendapatkan listening dengan band score 7.0, terhitung sejak Oktober hingga Desember 2017. 

6. Fokus dan hilangkan kebiasaan malas
Fokus adalah hal yang paling terpenting dari yang terpenting. Persiapan ujian IELTS mirip dengan ujian skripsi, unas, sbmptn, atau semacamnya. Tidak bisa dibarengi dengan apapun untuk mendapatkan perfect score. Katakan selamat tinggal pada liburan, santai-santai, dan apapun hal dunia yang tidak berkaitan dengan IELTS. Nonaktifkan sosial media untuk beberapa saat dan hanya membukanya di hari libur atau weekend adalah senjata terampuh. Karena sosial media biasanya sering membuat kita menjadi malas bergerak; melihat feeds orang lain sambil mengiri kemudian membandingkan dengan diri kita, muka pengen melihat teman berlibur ke Jepang, dan perasaan tidak mutu lainnya. Hanya irilah atau cemburulah pada 3 hal: sedekahnya, ibadahnya, dan taatnya. Genggam ini dan tanamkan pada jiwa raga perjalanan menempuh persiapan ujian IELTS akan lebih tidak hambar. Percayalah. 

7. Berdo'a dan berserah diri
Bagaimana pun usahanya jika tanpa do'a tidak akan pernah membawa berkah di dunia maupun di akhirat sekalipun. Perbanyak do'a, karena hanya Dia yang mampu membolak-balikkan hati penguji. Selamat berjuang.


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna


Selasa, 16 Januari 2018

Deposito Pribadi Selama Berkuliah

Akhir-akhir ini, saya sering melakukan blogwalking ke beberapa senior blogger yang inspiratif. Salah satunya adalah mbak Twelvi. Salah satu postingannya di bulan November memaksa saya untuk mengingat momen-momen ketika awal-awal menyelami masa perkuliahan. Postingannya tersebut sekaligus mengingatkan saya pada salah satu teman yang tetiba bertanya melalui Direct Message "bagaimana sih caramu menabung selama berkuliah?" dan "bagaimana kamu bisa bagi waktu antara part-time worker dan kuliah? Tugas-tugas kuliah kan banyak banget, susah juga kalo disambi". Saya tidak ingat detailnya, intinya teman ini menanyakan "kenapa saya mempunyai tabungan seusai lulus?"

Saya harus kembali ke masa mahasiswa baru untuk menceritakan tentang niat awal menabung. Sekitar Agustus di 2013 ketika ospek universitas, panitia menyuruh seluruh mahasiswa orientiasi untuk membuat daftar 100 mimpi. Waktu itu saya menuliskan mimpi  ke- 79, yaitu keliling Eropa seusai lulus. Impian yang tertulis singkat, namun butuh usaha yang besar untuk mencapainya. Walaupun belum tercapai hingga saat ini, tapi.. berkat mimpi tersebut saya menjadi giat menyisihkan IDR 20.000 atau 50.000 setiap harinya. Jika tidak mendapati uang IDR 20.000 atau 50.000, saya menyisihkan uang bulanan sekitar 50%.  Karena ganjaran setelah lulus adalah Eropa, saya tidak akan menyia-nyiakan uang sepeserpun dan setiap pengeluaran saya rincikan dalam general ledger. Dengan sistem general ledger, saya mengetahui dana beku dan fungsionalitas dana yang dibelanjakan setiap hari.

Mulai semester 1 hingga semester 4, saya menjadi perantauan di Kediri. Meskipun kotanya jarang mall dan tidak memerlukan budget yang besar untuk makan atau tinggal, seorang perantau harus tetap jeli dalam mengatur keuangan tidak bisa sertamerta hidup hedon setiap hari. Saat itu, saya mendapatkan supply dana bulanan dari orang tua sebesar IDR 1,350,000 per bulan untuk menyewa kos sebesar IDR 350,000, makan satu bulan IDR  250,000, fotokopi dan urusan perkuliahan IDR 200,000, transport IDR 50.000, pengembangan diri (workshop/seminar/kompetisi/buku/hobi/hiburan) IDR 100,000, dana darurat IDR 100,000, dan dana beku IDR 300.000. Dana darurat dapat dijadikan infaq, jika sehat wal afiyat dalam sebulan. Dana beku merupakan dana yang tidak boleh dicairkan bagaimanapun kondisinya atau istilahnya deposito pribadi. Dana beku ini hanya bisa dicairkan setelah 4 tahun perkuliahan saja dengan syarat kepengurusan kesehatan, paspor, visa, dan beberapa dokumen penting. Yang terpenting, bagaimanapun kondisinya seorang perantau harus memegang komitmen. 

Setelah dihitung-hitung, ternyata tabungan yang mengandalkan dana beku hanya mencapai IDR 3,600,000 per tahun dan tentu saja Eropa tidak semurah itu. Saya kembali memutar otak bagaimana tidak memangkas alokasi dana, namun tetap mencapai target sampai 10 juta per tahun? Satu-satunya cara adalah menjadi part-time worker. Entah berada di perusahaan fisik atau remote, pekerjaan ini harus dilakukan sehingga pendapatan dari part-time dan dana bulanan dari orang tua dapat digabung menjadi dana saku bulanan dan ditabung sekitar 50%. Saya mencoba pekerjaan remote sebagai junior programmer di salah satu software house dan menjadi part-time wartawan di salah satu koran nasional dengan pendapatan tidak menentu. Pendapatan junior programmer sekitar IDR 2,100,000 per bulan dengan jam kerja 18 jam seminggu. Dana beku menjadi bertambah sebesar IDR 2,400,000 per bulan. Jika dikalkulasi, maka saya dapat menabung IDR 28,800,000 per tahun, sedangkan pendapatan dari wartawan sebesar IDR 600,000 per bulan (termasuk iklan dan berita) saya alokasikan untuk pengembangan diri termasuk alokasi pembelajaan buku dan hiburan.    

Bagaimana makan dengan IDR 250,000 per bulan meskipun di kota kecil? Bisa jadi ini pertanyaan paling potensial ditanyakan atas rincian di atas. Bahkan ketika usia 16 tahun, saya pernah menganggarkan makan per bulan sebesar IDR 200,000. Saat itu sedang merantau 3 bulan di Yogyakarta. Seperti yang dikatakan Mas Danton dalam Wikufest 2012pemilik jagoanhosting.com, sekaligus alumni dari sekolah menengah saya dulubahwa menciptakan kondisi kepepet dapat memaksa kita untuk berkembang dan (waw) kalimat itu bukanlah ucapan belaka melainkan mengandung daya magis yang kuat. Dengan IDR 250,000 bukanlah mustahil saya membelanjakan sayur sop, jamur, egg roll, chicken nugget, bayam, sayur asem, tempe, tahu, telur 1/4 kg, tepung, madu, ayam, udang, ikan tongkol, ikan pindang, dan bumbu dapur (bawang putih, bawang merah, garam, gula, merica, cabe, dan saus tiram). Saya mengusahakan tidak membeli mi instan, saya berkomitmen alokasi pembelian mi instan digantikan dengan jus buah setiap bulannya. Dalam setahun mungkin hanya 1-2 kali saya merebus mi instan. Semua bahan makanan harus dibelanjakan di pasar tradisional atau mlijo yang biasanya lewat di sekitar perumahan. Saya selalu membawa bekal seminggu 5 kali selama berada di kampus. Makan di kantin mungkin hanya 1-2 kali per bulan atau makan di luar kampus hanya 1-2 kali per bulan. 

Kenapa saya seperhitungan itu dengan uang? Dapat dikatakan, saya berasal dari keluarga (yang mungkin) cukup, saya bisa saja meminta ini-itu kepada orang tua. Tapi... saya cukup sadari diri bahwa semua harta adalah milik orang tua, sebagai anak hanya 'numpang'. Terkadang saya menggunakan tas atau sepatu yang sama selama setahun, bahkan sampai lulus hanya satu atau dua kali mengganti tas atau sepatu dikarenakan rusak atau sudah tidak layak pakai (punya lubang dimana-mana). Saya dididik semenjak sekolah dasar untuk selalu prihatin karena masih dalam rangka mencari ilmu. Meskipun punya uang lebih, sebaiknya ditabung jangan terlalu dihamburkan untuk membeli barang yang nonfungsional, misalnya jam tangan merek terkenal X harus beli karena tren atau semacamnya. Dalam membeli kita harus menjadi smart buyer, belilah berdasarkan kebutuhannya bukan berdasarkan tren.

Sekarang deposito itu akan dianggarkan untuk apa? Selepas lulus kuliah, Alhamdulillah deposito pribadi yang dikumpulkan semenjak semester 1 masih tetap utuh, meskipun saya pernah menguranginya untuk kepengurusan visa Amerika pada Januari 2017. Sembari menunggu entering university for fall 2018 nanti, deposito pribadi ini akan saya pergunakan untuk mewujudkan mimpi ke-79 itu yang diagendakan bulan April mendatang (semoga tidak ada hambatan apapun ya Allah).  Segala mimpi butuh penantian, mimpi saja dulu urusan terkabulnya pasrahkan pada Allah. 


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna


Sabtu, 13 Januari 2018

Buku Catatan untuk 2018


2018 dapat menjadi awal kemungkinan dari pengembaraan saya selama ini. Membangun karir, meniatkan diri untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, menemukan jodoh, dan mengeklaim hobi baru. Semuanya merupakan resolusi (insyaAllah) akan ditekuni selama tahun ini. Karena visi dan misi yang semakin bertumpuk ketika hanya dipikirkan, saya memutuskan untuk membuat buku catatan di 2018. Melalui buku catatan ini, saya berharap mampu merelaksasikan serta meningkat sisi kreatifitas dalam diri. Perencanaan dan perjalanan yang akan dan telah dilakukan pada tahun ini, hal-hal tersebut didokumentasi dalam sebuah buku catatan. 

Sekitar tiga bulan yang lalu, saya mengikuti pre-order washi tape dan sticker. Ketika mencoba mengeksplor feed pagi hari, saya terbelalak dengan postingan dari Anna Suna yang menyinggung tentang Bofa Huang, Pinkoi, dan traveler note. Bofa Huang, seorang ilustrator dari Taiwan yang mencetuskan brand La Dolce Vita (La Dolce Vita: klik disini). Keberaniannya untuk hengkang dari dunia industri dan drop-out dari college, menimbulkan ide untuk menciptakan fashion identity dari La Dolce Vita yang dipasarkan melalui Pinkoi dan berakhir laris di pasaran hingga saat ini. Saking larisnya, ilustrasi dari brand tersebut  diterapkan di berbagai stuff, mulai kertas surat-menyurat, tas, kotak pensil, sampul buku, hingga selotip. Selain sebagai seller, Anna Suna juga menggunakannya untuk menghias traveler note miliknya. Berkat sebuah feed di pagi hari, akhirnya saya mengajukan pre-order untuk Midori TN yang sebenarnya sudah ada keniatan jauh-jauh bulan karena harganya lumayan menguras tabungan mahasiswa maka diurungkanlah niat tersebut (hahaha). Even so, today I gladly build the decision to choose one for welcoming 2018!



Setelah menunggu sekian minggu, Midori TN atau buku catatan untuk 2018 akhirnya datang. Bagi saya, hari itu merupakan hari yang paling bahagia selama berada dalam dunia journaling. Ditambah lagi, seorang kurir memberikan surat dari Belgia di siang yang terik. Ketika membuka suratnya, saya bertambah bahagia (hanya dengan surat, Allah berikan rasa bahagia yang meluap dalam hati, Allahuakbar walhamdulillah) karena teman seangkatan, Vincentiayang telah mendahului untuk menempuh S2 di bangsa Frank, mengirimkan kartu ucapan ulang tahun dan dedaunan musim gugur dari Eropa. MasyaAllah. Betapa banyaknya teman yang perhatian pada saya meskipun jaraknya begitu jauh. Terkadang silaturahmi itu unik, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Saya rasa hal tersebut kerap terjadi di sepanjang akhir 2017 hingga awal 2018. 



Beberapa keluarga dan teman sempat bertanya apa kegunaan Midori TN dan bagaimana menggunakannya? sebagian lain juga mempertanyakan apa faedahnya dari memiliki buku catatan dengan harga yang cukup mahal bagi mahasiswa? 

Kegunaan Midori TN 
Mungkin penggemar surat-menyurat atau menulis buku diary merupakan seorang introvert yang lebih rileks atau lebih terbuka dalam menuangkan ide-idenya melalui pena. Midori TN adalah salah satu merk buku catatan khusus traveler untuk menampung  curahan ide yang disalurkan melalui pena tersebut. Tentu saja tidak hanya untuk seorang introvert, para extrovert juga dapat menggunakannya sebagai buku pengingat harian. Sebenarnya jenis-jenis buku catatan ini ada banyak, seperti ring bound, book bound, spiral bound, discbound, dan bullet journal. Tergantung dari kebutuhan kita ingin menggunakan jenis seperti apa. Kebetulan untuk tahun ini saya memilih Midori TN sebagai buku catatan kemana-kemana. 

Bagaimana menggunakan Midori TN?
Midori TN sering digunakan oleh traveler sebagai buku perencanaan atau dokumentasi perjalanan. Juga, beberapa channel YouTube telah menjabarkan banyaknya kreasi yang dapat dilakukan jika telah memiliki Midori TN, seperti channel Tokyo Pen Shop dan Kaufmann. Mereka memiliki ide-ide kreatif untuk membuat buku catatan mirip dengan gayanya. Sebagai seseorang yang gemar meminimalkan budgeting setiap harinya, lebih baik buatlah isian Midori TN dengan kekuatan Do It Yourself (DIY). Meskipun isian Midori TN dijual bebas dan dapat dijangkau oleh kalangan mahasiswa, namun saya menyarankan untuk mengantisipasinya sesekali. Seperti yang dikatakan Abbey Sy dalam bukunya The ABCs of Journaling, buatlah layout buku catatan tampak acak karena hal itu lebih mirip seni. Misalkan ketika kita sedang meminum secangkir macchiato, tetiba tersenggol ketika hendak mengambil kentang goreng atau kudapan nachos sehingga kertas dari Midori TN ternodai oleh air kopi maka biarkanlah seperti itu. Jangan disobek ataupun dibersihkan karena hal tersebut akan menambah seni dari halaman buku catatan. Selanjutnya, sebuah DIY akan membuat kita mudah dalam mendefinisikan pemikiran-pemikiran pribadi.  

Membuat isian Midori TN menjadi lebih mudah ketika kita mengumpulkan kertas-kertas bekas kemudian dikombinasi dengan recycle stuffs, seperti bekas sampul jilidan skripsi, pembatas buku, kertas kado random, kardus bekas, penjepit kertas yang telah berkarat, tali rotan bekas exchange mail, atau dedaunan kering yang jatuh di jalanan. Intinya, jelilah melihat sampah dan peluangnya di sekitar kita. 

Memiliki Buku Catatan Mahal, Lantas?
Jika disurvei di pasaran harga Midori TN sekitar U$D 59,78 atau jika dikurskan sekitar IDR 767000. Bagi penduduk di negara berkembang, harga segitu memang tergolong harus berpikir terlebih dahulu untuk membelinya. Berbeda dengan penduduk negara maju, harga tersebut sangat relatif dan terjangkau. Menurut saya sebagai mahasiswa pertengahan (cross country), harga tersebut tidak terlalu mahal juga tidak terlalu murah. Mengapa dikatakan demikian? Karena halaman depannya berbahan kulit, kertasnya juga tidak abal dan adaptability dengan berbagai cat, produksi impor dengan the best quality, dan mudah diisi ulang, saya rasa harga patokan tersebut sudah sewajarnya. Dalam setahun, saya berharap dengan tampilannya yang semi-elegan dapat memberikan asupan inovasi serta kreatifitas yang cukup. Jika dicicil setahun, harga Midori TN tidak berbanding apapun dengan inovasi atau kreatifitas yang telah dituangkan ke dalamnya. 


Setelah ini apakah sudah memiliki semangat untuk memulai journaling di 2018? Buku catatan seperti apa yang sesuai dengan kebutuhan Anda? Cari saja secara perlahan. Saya berharap kegiatan journaling di 2018 dapat berlangsung berulang-ulang dan menjadi hobi baru untuk menghabiskan weekend di tahun ini. Karena melakukan evaluasi diri setiap harinya merupakan prioritas yang sangat penting untuk menjadi lebih baik dari yang kemarin.


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna