Mengabdi, sekali lagi, bukanlah hal yang saya bayangkan akan
terrealisasi meskipun dulu sempat memiliki mimpi untuk menjadi manusia yang
berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Saya tidak membual, hanya saja sedang bersyukur
bahwa rencana Allah (ternyata) lebih ‘mengasyikkan’ untuk dijalani daripada
jalan yang telah saya rencanakan, yang rata-rata di dalamnya penuh ambisi serta idealisme.
Banyak terjadi gelombang pasang surut, saya merasa sedang ditempa oleh Allah
dan hanya kesabaran yang berhak menjadi core
of the core dalam menghadapi segala ujian.
366 hari bukanlah waktu yang sebentar untuk saya dapat
beradaptasi dan tinggal dengan performansi terbaik dalam lingkup pemerintahan.
Banyak dari kaum millenial menolak mentah-mentah untuk tergabung menjadi ‘abdi
negara’, rata-rata mereka lebih memilih ‘mengabdi pada dollar’ atau ‘sapi perah
perusahaan’. Berada dalam lingkungan pemerintahan banyak pandangan saya yang
terpatahkan oleh sistem pemerintahan. Jauh sebelum saya mengatakan sanggup
untuk bekerja membangun Indonesia dan rela terjun ke pemerintahan, seorang
alumni Faculty of Law dari Michigan State University mengatakan hal ini tepat di acara tujuh
harian almarhum Ayah, “nanti ketika Dessy terjun ke Kementerian Agama, jangan pernah
meniatkan awal untuk mencari materi, bekerjalah ikhlas dengan niat untuk
membantu negara. Sebenarnya saya tinggal di Amerika selama 5 tahun, sambil
menempuh Strata-2 saya bekerja juga di Kedutaan Besar Indonesia. Sekarang, saya
bekerja untuk urusan luar negeri di Unisma. Saya nggak mengharapkan apa-apa
dari instansi, tapi mengabdi itu sebuah pekerjaan yang mulia, Dessy. Jangan
pernah disia-siakan selama Allah menghendaki kesempatan itu saat ini, maka ambil
itu. Barang kali nanti akan ada kesempatan yang lebih baik untuk belajar lagi.
Kalau Dessy butuh Amerika buat belajar, yang penting beasiswa sudah digenggam,
mereka juga fleksibel. Kapan pun Dessy taken, mereka siap. Saya dulu juga pakai
scholarship dari USAID kok.” Seperti disiram telaga, beliau menyarankan saya mengabdi
dulu pada negara untuk sementara waktu dan Mama juga sangat merestui langkah ini
daripada saya tergesa-gesa untuk menempuh Strata-2 yang jaraknya jauh ketika
beliau ingin berkunjung, 18 jam perjalanan dari Indonesia ke New York.
Selama menyelami 366 hari atau satu tahun, Kementerian Agama
merupakan kementerian yang loyal versi saya. Saat ini media sedang membombardir
instansi yang menaungi hajat hidup umat dengan berita-berita memilukan, yang
saya rasa seorang menteri tidak mungkin melakukan hal tersebut. Mestinya publik
mengingat kebaikan-kebaikannya bukan sebutir dugaan namun fitnah sudah menyebar
tak terbendung bagai air bah yang meluap dan bersiap untuk meratakan tanah. Entah
publik menilai apa, saya tidak peduli. Banyak kesempatan yang diberikan oleh
Kementerian Agama pada saya. Salah satunya melibatkan saya dalam pembangunan
sistem open data, hal ini merupakan
mimpi besar dari Badan Pusat Statistik untuk mengintegrasikan data seluruh
kementerian, narasumbernya saat itu adalah dua orang pejuang open data dari Filipina, Miss Gay dan
Uncle John. Mereka merupakan representatif dari Paris21.
Pada acara ini, anak bangsa—bisa dibilang juga, saya
diibaratkan anak-anak yang sedang bermain di dalam gedung karena usia yang
kerap menjadi gap antara saya dengan
pegawai-pegawai di Kementerian Agama. Sering mendengar celetukan “Dessy paling
muda disini loh, kaya anak kecil masuk playground
yah bla bla” dan sederetan lainnya—diberikan kepercayaan untuk menyelesaikan
beberapa assignment terkait pandangan
statistisi terhadap proses analisis dan pengumpulan data serta diamanahkan sebagai
perwakilan Kementerian Agama secara mandiri. Hal ini menjadi kehormatan bagi anak
bangsa pada kebhinekaan. Ada rasa haru, namun tidak bangga karena sudah
memenuhi kewajiban untuk berada memimpin di garis depan kapanpun negara
butuhkan.
Dapat dibilang, di acara ini saya juga dianggap ‘paling muda’
oleh panitia dan Miss Gay juga sempat mengatakan “you’re so young, dear” ketika di awal-awal perkenalan. Saya sempet minder sekian detik, tapi
yaudahlah why teenager not attempt to
break the rule is? Tapi.. dianggap jadi ‘paling muda’ saya jadi merasa
bebas untuk sok kenal dan pro aktif everywhere
(hahaha). Miss Gay banyak mengalami jatuh bangun selama membangun NSDS untuk negara berkembang dan saya juga sempat bertanya pada Miss Gay seputar pengembangan diri tentang mengapa beliau begitu passionate dan percaya diri, serta good looking as always. Beliau tersenyum sambil menatap saya lekat-lekat seolah ingin menyampaikan suatu hal dengan tekad membara, tapi pandangan matanya tetap sayu, "I suggest that (in the future) you're the future leader, Dessy. I would pray for your best future endeavors. Anyway, I got japan scholarship for human-resource development in 35 years old. I trained my self better and better. Prepare well is a must for me. Write a point to nail in the sticky dotes is my daily routine as a student. Also, I never fabricate the waste time." Pernyataan ini membuat saya menganga sekaligus merasa haru, beliau masih gigih memperjuangkan beasiswa. Menurut saya, hanya sedikit dan orang-orang terpilih saja yang memiliki jiwa juang seperti ini diusianya yang mungkin yah.. tidak muda.
Selama satu tahun ini, Kementerian Agama menggunakan tenaga
saya sebagai graphic designer, UI/UX integration,
system analyst, business process analyst, technical
writer, QA analyst, dan OWASP engineer untuk pengembangan proyek
https://data.kemenag.go.id dan animator di https://kemenag.go.id dalam pengisian konten
tertentu. Proyek https://data.kemenag.go.id
sempat saya sampaikan juga dengan pihak Paris21 saat itu dan mereka sangat
mengapresiasi bahwa Indonesia akan membangun National Sustainable Development Strategy (NSDS) yang sangat powerful dibandingkan milik negara
berkembang lainnya yang telah dahulu membangun NSDS, seperti Mongolia (https://www.en.nso.mn/), Bangladesh (http://bbs.gov.bd/), Filipina (http://www.psa.gov.ph/), dan sebagainya.
Proyek NSDS negara-negara ini telah diinkrisi oleh World Bank dan saya yakin Indonesia could be more and more
magnificient than nowadays. Dalam pertemuan lintas negara dan kementerian
dengan Paris21 ini perlahan membuka mata saya bahwa Indonesia memiliki beraneka
ragam dan sumber daya manusia yang kokoh jika ingin dibudidayakan atau ditempa,
mereka sedari dulu adalah bibit-bibit anak bangsa yang layak untuk
diperjuangkan andaikan pemerintah menyadari hal itu. Sudahkah Anda tertarik
bergabung bersama kami? Bersama membangun negeri yang hidup enggan mati pun tak
mau?
Steal your thought,
Dessy Amry Raykhamna