Jarang-jarang saya membicarakan
hal yang sangat pribadi di halaman blog. Mungkin efek dari pernyataan di postingan sebelumnya mengenai buku catatan untuk 2018, jika saya berniat berburu jodoh di tahun ini. Biasanya saya hanya menceritakan seputar
daily life, pengalaman berpartisipasi di lomba X, Y, atau Z, sharing hobby,
pengalaman travelling, dan nol mengenai ruang percintaan terlebih pernikahan. Bukannya malas
membicarakan hal ini namun saya agak ragu jika harus menuliskannya ke dalam
sebuah tulisan. Yah... menurut saya percintaan terlebih pernikahan bukanlah opini publik, jadi
untuk apa dibagikan. Namun akhir-akhir ini kepala sering pening dan tidur tidak
terlalu tenang karena permasalahan kompleks yang mungkin menurut sebagian orang
bukanlah hal yang perlu dipusingkan berlarut-larut.
Sebulan terakhir sebelum saya
meninggalkan kota Malang, di dalam ruang rawat inap ‘Jasmine’ Ayah tiba-tiba
membahas ‘’Kapan kamu menikah, nduk?”
dengan aksen jawa yang lumayan kental. Saya saat ini berusia genap 22 tahun dan
rasanya sudah bukanlah hal aneh ketika orang tua di keluarga manapun menanyakan masalah ini. Bahkan di usia saya,
Mama termasuk orang yang dengan cepat meng-iya-kan ketika dilamar oleh seseorang.
Prioritas utama yang penting ‘sholeh‘, begitu nasihatnya. Sebenarnya saya
termasuk orang yang akan tertarik dengan seseorang yang rajin melakukan sunnah,
jadi begitu bertemu dengan salah seorang dari kampus yang hampir barengan
dhuhahan seusai bimbingan skripsi maupun jurnal internasional, saya langsung
simpatik. Bukankah tidak terlalu muluk? Daripada
harus membanding-bandingkan dengan yang
kaya-raya-tampan-menggunakan-jas-kacamata hitam-rayban hitam-layaknya-eksekutor-serta-berkemeja
rapi-berkulit putih-layaknya-oppa oppa-korea, sepertinya deskripsi ini hanya
ada dalam novel, webtoon, atau komik serial cantik. Di dunia nyata? Jangan harap
ada yang seperti itu dan saya cukup sadar diri.
Mungkin bagi Mama pertanyaan “kapan
kamu menikah?” adalah pertanyaan yang mudah dipecahkan, semudah menjawab “ingin
makan menggunakan cah brokoli atau cah jengkol?” namun tidak bagi saya.
Pertanyaan itu seperti mengharuskan kembali menyatukan kubik-rubik yang
tercacar di lantai, kemudian menyusunnya menjadi keseluruhan berwarna seragam.
Menurut saya, menikah itu berarti saya harus menyatukan persepsi, ego dibuang,
pondasi agama yang kuat, hafalan sudah tidak ada masalah, istiqomah sunnah, dan
lain-lain. Terlalu muluk, ya? Sebab bagaimana nanti seorang ibu dapat mengajarkan
anaknya baca tulis kitabullah kalau baca Al-Qur’annya masih belepotan? Bagaimana
nanti melayani suami ketika kitab durratun nasihin (halah) irsyadul ibad saja tidak
hafal? Bagaimana nanti jika sering debat hanya masalah ‘popok’ karena melalaikan
isi surah Ali Imran atau Luqman? Dan sederetan bagaimana nantinya jika....
Hanya memikirkannya, saya bahkan
tidak tahu harus menjawab apa ketika disumpal pertanyaan itu oleh mereka. Jadinya
hanya menjawab sekenanya “mungkin sebelum usia 24, yah..” Ya Allah Ya Robbi
jawab apa saya? Bahkan calon-aja-belum-ada-dan-dua-tahun-lagi-bukanlah-waktu-yang-lama!
Rasanya ingin menghilang atau kabur kemana saja. Walaupun kadang sering
menenangkan diri “tenang, usia hanyalah angka” tapi nyatanya hal itu susah
untuk diabaikan. Sering-sering terpikir jika berada pada kesepian, misalnya
ketika pergi ke toko buku sendirian “andai ada gandengan pasti sudah tidak
perlu membawa buku seberat ini” dan keluhan-keluhan semacam itu. Meskipun
pengandaian itu nyata dilarang oleh Allah. Astagfirullah!
Karena saya selalu menjawab
sekenanya, akhirnya Ayah mencarikan calon selama 15-hari-yang-melelahkan-itu (15
hari yang melelahkan: klik disini). Hari silih berganti, total calon ada 5!! Semuanya
di luar nalar saya selama ini. Calon pertama: dosen-muda-usia 26 tahun-mengajar-di-universitas-negeri-di-malang-lulusan-master-informatika-ITS-tinggi
rata-rata-kulit putih-rajin sholat sunnah-mungkin puasanya juga-fans para
mahasiswi-karena-baik-dan-tidak pelit nilai-dan-memiliki lesung pipi (anyway,
ini memang sederetan deskripsi untuk orang yang tersebut di paragraf kedua dan sering
bertemu). Calon kedua: dosen-muda-mengajar-di-universitas-swasta-di-malang-lulusan-master-hukum-james-cook-university-tidak
terlalu tinggi-kulit semi sawo-katanya-qiroahnya-juara-dan-punya wajah yang
lumayan (semoga tidak stalking dan
menemukan blog ini). Calon ketiga: masih-dosen-hampir 30 tahun-pengusaha juga-mapan-punya
rumah dan kendaraan pribadi-kurang-tahu-kalau-istiqomahnya-apa. Calon keempat:
anak-teman-ayah-which is-tetangga-lulusan-sarjana-hubungan internasional-kulit
hitam pekat-tinggi menjulang-akan-melanjutkan-master-di-swedia-dan-setiap-hari-ayahnya-selalu-mengirimkan-mashed-potato
(baik sekali keluarganya). Calon kelima: calon-dosen-muda-universitas-islam-negeri-lulusan
pesantren salaf-tampan (dilihat dari frekuensi perempuan yang ingin meminang!
Waw jaman telah berbalik, perempuan jaman now
sangat krusial)-tinggi hampir 180cm-ngajinya-juara-layaknya-meminjam-suara-fatih-seferagih-berkulit
putih-dan-memiliki-lesung pipi.
Seharusnya semua calon adalah
pilihan yang perlu diistikhorohkan dan cukup menjanjikan di masa depan, namun
sekali lagi saya-bukanlah-seorang-putri-indonesia-dengan-tinggi-semampai-dan-ilmu-agama-yang-berlebih.
Saya hanyalah perempuan biasa dengan prestasi duniawi yang abal. Awalnya saya
berniat memilih calon pertama karena sudah tahu dan bertemu setiap hari, namun
setelah tahu bahwa beliau adalah lulusan pesantren Gontor. Saya ulangi:
G-O-N-T-O-R, pesantren yang super ketat dan banyak sekali (sampai tak bersisa
mulai akidah, ketauhidan, dan lainnya tidak heran jika beliau rajin menegakkan
sunnah) ilmu agama yang telah dikenyam, mungkin kitab salaf sudah jadi makanan
sehari-hari. Kepala saya seperti dihantam batu 20kg, tidak 200kg! Realistis
saja, calon pertama paling hanya mau dengan anak kyai yang memiliki pesantren
sehektar. Tinggal calon kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Iya K-E-L-I-M-A! Itu
hanyalah sebuah mimpi dari seorang nijikon
mengharapkan menikah dengan seiyuu!
Mana mungkin kesampaian, dikejar mengitari andromeda tidak akan sampai. Kedua
orang tua saya memang suka sekali menyiksa anak sendiri, dilihat dari kacamata
manapun mereka jomblang kalau sama saya! Bukannya tidak percaya diri, mana mau
sih mereka dengan seorang anak micin (eh salah, buntalan) berilmu koi?
Realistis. Saya pun terpaksa mengatakan “sepertinya... saya belum siap yah,
masih perlu menyesuaikan diri dulu” itu jawaban yang terdengar sangat pengecut.
Rasanya jenjang pernikahan hampir dekat bagi saya, mengingat hafalan Juz 13 saja belum selesai-selesai dari
sebulan yang lalu. Kalaupun didekatkan semoga segalanya atas izin Allah. Untung
saja ini bukanlah novel, jadi saya tidak perlu menulis ending dari tulisan ini, kan?
Steal your thought!
Dessy Amry Raykhamna
aww dess, kamu juga keren loh. nggak lelah belajar ini itu untuk upgrade diri
BalasHapusnggak semua orang mau dan bisa melakukannya
dan jodoh sebenernya murni urusan Allah, setara atau tidaknya hanya Allah yang tahu. mata manusia barangkali susah melihat kesamaan atau kesetaraan itu darimana.
dan kayaknya kita rada senasib ya udah ditanyain kapan nikah padahal masih muda. hahahha. padahal rencananya mau nikah umur 26 atau 27 eh dipaksa suruh nikah duluan.
sori soalnya bukan team penggemar nikah muda :p karena ya karena selain ngerasa banyak impian, sampek di suatu titik itu nggak mudah ya kan. selagi masih golden age dipuas2in cari pengalaman
ahh mbak ninda sependapat!
Hapussebenernya ada sih keinginan untuk 'nikah segera' tapi kehantam sama tapi-tapi yang lain. Anyway terimakasih banyak mbak sudah berkunjung dan membaca curhatan abal yang tidak seberapa ini :')