“Bekerja itu tidak
perlu meniatkan awal untuk mencari uang, asalkan berguna sebagai tabungan jariyah untuk agama, bangsa, dan negara itu sudah cukup bagi Ayah.”
Petuah itu
seolah menampar keras pikiran serta sikap ambisius yang tertanam dalam diri saya
yang idealis. Selepas lulus kuliah, saya berambisi untuk mendapatkan upah minimal
dua digit dan melanjutkan magister ke
salah satu universitas dengan jurusan game
terbaik di dunia, University of Helsinki
atau Aalto University di Finlandia. Saya
pun menekan keinginan itu karena stigma “hidup
ini realistis”, manakah hal yang mampu untuk dicapai maka capailah, jika
tidak maka tunda atau tinggalkan mungkin Allah telah mempersiapkan kehidupan
yang cocok dan lebih dibutuhkan di masa yang akan datang. Qadarullah, Allah
menuntun saya untuk berangkat ke Ibu Kota, memenuhi amanah menjadi UI/UX Designer sekaligus Front-End Programmer di salah satu kantor
Kementerian. Beberapa minggu setelah saya bekerja, tetiba departemen Tisch School of Arts dari New York University menerbitkan Letter of Acceptance untuk Master of Fine Arts untuk applyer jurusan Game Design karena memang sebelum menuju ibu kota saya melamar beberapa
universitas di dunia dengan jurusan Game
Design yang telah terkonjungsi dengan industri, seperti DePaul University, James Cook University, dan Savannah College of Art and Design. Semua ini terjadi secara
beruntun sebelum menyambut 40 hari kepergian Ayah.
Tidak pernah terbayangkan bahwa
menulis akan menjadi seberat ini. Sudah lama ingin menuliskan perihal kepergian
Ayah, namun baru saja hari ini saya mampu setelah kejadian beruntun itu. Ayah
meninggalkan saya dan segalanya yang beliau miliki di dunia untuk
selama-lamanya tepatnya 40 hari setelah 28 Maret 2018. Hidup itu memang saling
mengisi dan saling menggantikan. Ketika manusia mulai merasa menginginkan namun
tidak membutuhkan, komponen di dalamnya akan menghilang dan digantikan oleh
komponen lainnya yang lebih dibutuhkan. Sadar atau tidak, begitulah hukum alam ini bekerja. Saat ini,
saya tinggal di Jakarta sebagai perantauan yang memahami persis
beratnya meninggalkan rumah, tempat yang selama ini menjadi kebiasaan bersama
keluarga. 40 hari telah berlalu, meskipun orang-orang merasa bahwa saya mampu
melewatkan masa-masa kesripahan
dengan baik, namun nyatanya saya tidak benar-benar sedang baik-baik saja. Saya
butuh berteriak keras di hamparan padi yang luas untuk menekan amarah serta kepedihan
yang dirasakan.
Saya telah hidup bersama 21 tahun
dengan Ayah. Tentunya banyak kebiasaan-kebiasaan yang hilang sehari-hari. Biasanya
setiap akan shubuh ditelepon dan ditanya “sudah
shubuhan belum?” namun kini suara itu menghilang dan tidak hadir kembali
dalam iringan tafkhim shubuh. Ayah
merupakan anggota keluarga yang frekuensi berkirim pesan paling sering kepada
saya dengan menanyakan hal-hal kecil, seperti “ci, sudah di kantor?”, “ci,
sedang dimana?”, “ci , sudah makan
belum?”, “ci, jangan diforsir di
depan laptop terus. Tiap 20 menit lihat sekeliling”, “ci, jangan makan mi instan”, atau “ci, sedang apa?”. Sekarang semua pesan itu tidak pernah ada lagi
dan yang paling pedih adalah saya tidak dapat lagi menggunakan kata “Ayah” dan
memanggilnya dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin beberapa orang akan
menjustifikasi bahwa saya berlebihan, namun begitulah nyatanya rasa sakit yang
sebenarnya dirasakan ketika orang yang dianggap berharga meninggalkan kita
untuk selama-lamanya dan suatu hari semua orang akan merasakannya tanpa
menunggu aba-aba. Ini melebihi rasa sakit ketika dosen menolak topik skripsi,
ketika tugas diplagiasi, ketika sudah bekerja keras namun tidak ada upahnya,
atau ketika panas-panasan mengantarkan koran namun harus dizhalimi.
40 hari setelah Ayah pergi,
banyak yang berubah dari sisi kemanusiaan. Saya menjadi lebih memahami makna
ditinggalkan, makna sabar-tabah-dan-bersyukur, makna ‘nrimo ing pandum’, dan makna surah Yasin serta Al-Mulk. Sejatinya
memang manusia hidup tidak membawa apa-apa, selain jasad dan ketaatannnya. Washitape, cat air, travel log, sosial media, blog,
ijazah, jabatan, gelar, atau kartu hasil studi semua tidak ada gunanya kecuali
untuk memenuhi kepuasan duniawi yang rata-rata di dalamnya dipengaruhi oleh
ambisi dan nafsu tamak (anyway, saya
hanya mengeritik diri sendiri). Meskipun lebih meluangkan waktu untuk umat dan
universitas, namun Ayah merupakan sosok yang menerapkan kesederhanaan seperti
Umar bin Khatab, ketenagaan seperti Abu Bakar, keilmuan seperti Ali bin Abu
Thalib, dan kekayaan seperti Usman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf. Setelah saya
rolling back semua itu nyatanya
beliau menerapkannya sesuai dengan bisyarah Rasulullah “letakkanlah dunia hanya dalam genggaman, niscaya kau akan melalui
segala ujian dengan ringan”.
Sebagai seorang pengacara, Ayah
tidak pernah memaksa atau bahkan mengeluh tentang haknya yang belum
terbayarkan. Sudah bersyukur bisa menolong klien yang membutuhkan, begitu
katanya. Sebagai seorang ketua ta’mir, Ayah selalu yang pertama melakukan
pembenahan dan ketika saya bertanya “kenapa
buat jadwal khotib Ayah yang kerjakan? Kan bisa dikasihkan ke sekretaris?” namun
Ayah hanya menjawab singkat “ini fii
sabilillah, ci. Kenapa harus dihitung-hitung? Selama Ayah mampu ya Ayah
kerjakan.” Sebagai seorang dekan, Ayah berusaha menarik minat calon
mahasiswa untuk tergabung dalam fakultasnya sehingga mengupayakan mendapatkan
akreditasi A. Sampai-sampai beliau rela membagikan brosur dan kalender instansi
ke masyarakat, kemudian saya bertanya “kenapa
harus Ayah yang membagikan? Dekan di fakultasku aja nggak seberusaha itu untuk
panas-panasan bagikan brosur kampus, yah...” beliau hanya tersenyum “namanya juga ikhtiar, ci. Kita hanya
bisa mengupayakan untuk menjadi yang terbaik. Banyaknya mahasiswa bisa menjadi
pertimbangan akreditasi lo.”
Sebagai dosen, Ayah berusaha
untuk menjadi doktor pertama di fakultasnya sehingga mendorong dosen-dosen
lainnya untuk menjadi doktor dan menggalakkan penelitian jurnal internasional. Hingga
ketika hampir mendekati 40 harinya, beliau meraih penghargaan “The Best Paper Award 2018” dari
EAJournals Uni Eropa dan mendapatkan apresiasi dari Thomas Harvey dari editorial jurnal Inggris. Sebagai seorang
penulis buku diktat perkuliahan dan opini di koran-koran nasional, Ayah selalu
mengeritisi tindak pidana korupsi dari segi moralitas. Salah satunya terkait
Elite Lecehkan Hukum, dalam artikelnya beliau menuliskan “Uang tidak dapat memberi Anda rumah yang
penuh dengan kasih dan penghargaan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya”
demikian pernyataan John Hagee, dalam buku Barack Obama Menerjang Harapan
yang diterjemahkan dari buku The Seven Secrets (2006).
Ayah yang tidak pernah
menghitung-hitung kadang membuat saya rendah diri. Saya merasa gap atau jarak ketaatan di antara kami
sangat jauh. Bahkan di suatu shubuh, saya pernah bertanya dan mungkin jika saya
bertanya pada Tabi’in, saya akan dilempar ke Laut Merah. Pertanyaannya tidak
muluk “Yah, usiaku kan sudah hampir 20
tahun, tapi kenapa setiap sholat tidak bisa menghayati sampai menangis seperti
Ali bin Abu Thalib yang memahami kenikmatan dalam beribadah? Aku masih merasa
kalau aku seperti memenuhi kewajiban aja.” Dengan tersenyum, Ayah menjawab “kamu persis dengan sahabat Ali pernah
bertanya mengenai sholat yang khusyuk bagaimana. Sekarang usiamu baru hampir 20
tahun, Rasulullah saja usia 45 tahun baru diangkat Rasul loh. Kalau kamu bisa
khusyuk diusia belia, artinya ketaqwaanmu mendahului rasul? Nanti pasti ada
masanya kamu berlaku seperti itu, terkadang juga tergantung dari kematangan
usia. Nanti ketika sudah waktunya, Ayah akan ajarkan keilmuan juz untuk
mendukung ketaqwaanmu kelak.”
40 hari setelah Ayah pergi,
memberikan banyak kenangan dan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung yang
belum terpecahkan tentang ketauhidan. Memang belum saatnya saya belajar, namun
benak masih haus akan jawaban-jawaban untuk pertanyaan seputar itu. Kini tidak
ada lagi yang bisa menekan atau membungkam pertanyaan konyol saya, karena diusia 20
s.d 25 tahun merupakan masa-masa peralihan menuju kedewasaan yang masih haus
akan teka-teki puzzle mengenai ketauhidan.
Steal your thought,
Dessy Amry Raykhamna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar