Minggu, 06 Mei 2018

40 Hari Setelah Ayah Pergi

“Bekerja itu tidak perlu meniatkan awal untuk mencari uang, asalkan berguna sebagai tabungan jariyah untuk agama, bangsa, dan negara itu sudah cukup bagi Ayah.”


Petuah itu seolah menampar keras pikiran serta sikap ambisius yang tertanam dalam diri saya yang idealis. Selepas lulus kuliah, saya berambisi untuk mendapatkan upah minimal dua digit dan melanjutkan magister ke salah satu universitas dengan jurusan game terbaik di dunia, University of Helsinki atau Aalto University di Finlandia. Saya pun menekan keinginan itu karena stigma “hidup ini realistis”, manakah hal yang mampu untuk dicapai maka capailah, jika tidak maka tunda atau tinggalkan mungkin Allah telah mempersiapkan kehidupan yang cocok dan lebih dibutuhkan di masa yang akan datang. Qadarullah, Allah menuntun saya untuk berangkat ke Ibu Kota, memenuhi amanah menjadi UI/UX Designer sekaligus Front-End Programmer di salah satu kantor Kementerian. Beberapa minggu setelah saya bekerja, tetiba departemen Tisch School of Arts dari New York University menerbitkan Letter of Acceptance untuk Master of Fine Arts untuk applyer jurusan Game Design karena memang sebelum menuju ibu kota saya melamar beberapa universitas di dunia dengan jurusan Game Design yang telah terkonjungsi dengan industri, seperti DePaul University, James Cook University, dan Savannah College of Art and Design. Semua ini terjadi secara beruntun sebelum menyambut 40 hari kepergian Ayah.

Tidak pernah terbayangkan bahwa menulis akan menjadi seberat ini. Sudah lama ingin menuliskan perihal kepergian Ayah, namun baru saja hari ini saya mampu setelah kejadian beruntun itu. Ayah meninggalkan saya dan segalanya yang beliau miliki di dunia untuk selama-lamanya tepatnya 40 hari setelah 28 Maret 2018. Hidup itu memang saling mengisi dan saling menggantikan. Ketika manusia mulai merasa menginginkan namun tidak membutuhkan, komponen di dalamnya akan menghilang dan digantikan oleh komponen lainnya yang lebih dibutuhkan. Sadar atau tidak,  begitulah hukum alam ini bekerja. Saat ini, saya tinggal di Jakarta sebagai perantauan yang memahami persis beratnya meninggalkan rumah, tempat yang selama ini menjadi kebiasaan bersama keluarga. 40 hari telah berlalu, meskipun orang-orang merasa bahwa saya mampu melewatkan masa-masa kesripahan dengan baik, namun nyatanya saya tidak benar-benar sedang baik-baik saja. Saya butuh berteriak keras di hamparan padi yang luas untuk menekan amarah serta kepedihan yang dirasakan.

Saya telah hidup bersama 21 tahun dengan Ayah. Tentunya banyak kebiasaan-kebiasaan yang hilang sehari-hari. Biasanya setiap akan shubuh ditelepon dan ditanya “sudah shubuhan belum?” namun kini suara itu menghilang dan tidak hadir kembali dalam iringan tafkhim shubuh. Ayah merupakan anggota keluarga yang frekuensi berkirim pesan paling sering kepada saya dengan menanyakan hal-hal kecil, seperti “ci, sudah di kantor?”, “ci, sedang dimana?”, “ci , sudah makan belum?”, “ci, jangan diforsir di depan laptop terus. Tiap 20 menit lihat sekeliling”, “ci, jangan makan mi instan”, atau “ci, sedang apa?”. Sekarang semua pesan itu tidak pernah ada lagi dan yang paling pedih adalah saya tidak dapat lagi menggunakan kata “Ayah” dan memanggilnya dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin beberapa orang akan menjustifikasi bahwa saya berlebihan, namun begitulah nyatanya rasa sakit yang sebenarnya dirasakan ketika orang yang dianggap berharga meninggalkan kita untuk selama-lamanya dan suatu hari semua orang akan merasakannya tanpa menunggu aba-aba. Ini melebihi rasa sakit ketika dosen menolak topik skripsi, ketika tugas diplagiasi, ketika sudah bekerja keras namun tidak ada upahnya, atau ketika panas-panasan mengantarkan koran namun harus dizhalimi.   

40 hari setelah Ayah pergi, banyak yang berubah dari sisi kemanusiaan. Saya menjadi lebih memahami makna ditinggalkan, makna sabar-tabah-dan-bersyukur, makna ‘nrimo ing pandum’, dan makna surah Yasin serta Al-Mulk. Sejatinya memang manusia hidup tidak membawa apa-apa, selain jasad dan ketaatannnya. Washitape, cat air, travel log, sosial media, blog, ijazah, jabatan, gelar, atau kartu hasil studi semua tidak ada gunanya kecuali untuk memenuhi kepuasan duniawi yang rata-rata di dalamnya dipengaruhi oleh ambisi dan nafsu tamak (anyway, saya hanya mengeritik diri sendiri). Meskipun lebih meluangkan waktu untuk umat dan universitas, namun Ayah merupakan sosok yang menerapkan kesederhanaan seperti Umar bin Khatab, ketenagaan seperti Abu Bakar, keilmuan seperti Ali bin Abu Thalib, dan kekayaan seperti Usman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf. Setelah saya rolling back semua itu nyatanya beliau menerapkannya sesuai dengan bisyarah Rasulullah “letakkanlah dunia hanya dalam genggaman, niscaya kau akan melalui segala ujian dengan ringan”.  

Sebagai seorang pengacara, Ayah tidak pernah memaksa atau bahkan mengeluh tentang haknya yang belum terbayarkan. Sudah bersyukur bisa menolong klien yang membutuhkan, begitu katanya. Sebagai seorang ketua ta’mir, Ayah selalu yang pertama melakukan pembenahan dan ketika saya bertanya “kenapa buat jadwal khotib Ayah yang kerjakan? Kan bisa dikasihkan ke sekretaris?” namun Ayah hanya menjawab singkat “ini fii sabilillah, ci. Kenapa harus dihitung-hitung? Selama Ayah mampu ya Ayah kerjakan.” Sebagai seorang dekan, Ayah berusaha menarik minat calon mahasiswa untuk tergabung dalam fakultasnya sehingga mengupayakan mendapatkan akreditasi A. Sampai-sampai beliau rela membagikan brosur dan kalender instansi ke masyarakat, kemudian saya bertanya “kenapa harus Ayah yang membagikan? Dekan di fakultasku aja nggak seberusaha itu untuk panas-panasan bagikan brosur kampus, yah...” beliau hanya tersenyum “namanya juga ikhtiar, ci. Kita hanya bisa mengupayakan untuk menjadi yang terbaik. Banyaknya mahasiswa bisa menjadi pertimbangan akreditasi lo.”

Sebagai dosen, Ayah berusaha untuk menjadi doktor pertama di fakultasnya sehingga mendorong dosen-dosen lainnya untuk menjadi doktor dan menggalakkan penelitian jurnal internasional. Hingga ketika hampir mendekati 40 harinya, beliau meraih penghargaan “The Best Paper Award 2018” dari EAJournals Uni Eropa dan mendapatkan apresiasi dari Thomas Harvey dari editorial jurnal Inggris. Sebagai seorang penulis buku diktat perkuliahan dan opini di koran-koran nasional, Ayah selalu mengeritisi tindak pidana korupsi dari segi moralitas. Salah satunya terkait Elite Lecehkan Hukum, dalam artikelnya beliau menuliskan “Uang tidak dapat memberi Anda rumah yang penuh dengan kasih dan penghargaan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya” demikian pernyataan John Hagee,  dalam buku Barack Obama Menerjang Harapan yang diterjemahkan dari buku The Seven Secrets (2006).

Ayah yang tidak pernah menghitung-hitung kadang membuat saya rendah diri. Saya merasa gap atau jarak ketaatan di antara kami sangat jauh. Bahkan di suatu shubuh, saya pernah bertanya dan mungkin jika saya bertanya pada Tabi’in, saya akan dilempar ke Laut Merah. Pertanyaannya tidak muluk “Yah, usiaku kan sudah hampir 20 tahun, tapi kenapa setiap sholat tidak bisa menghayati sampai menangis seperti Ali bin Abu Thalib yang memahami kenikmatan dalam beribadah? Aku masih merasa kalau aku seperti memenuhi kewajiban aja.”  Dengan tersenyum, Ayah menjawab “kamu persis dengan sahabat Ali pernah bertanya mengenai sholat yang khusyuk bagaimana. Sekarang usiamu baru hampir 20 tahun, Rasulullah saja usia 45 tahun baru diangkat Rasul loh. Kalau kamu bisa khusyuk diusia belia, artinya ketaqwaanmu mendahului rasul? Nanti pasti ada masanya kamu berlaku seperti itu, terkadang juga tergantung dari kematangan usia. Nanti ketika sudah waktunya, Ayah akan ajarkan keilmuan juz untuk mendukung ketaqwaanmu kelak.”

40 hari setelah Ayah pergi, memberikan banyak kenangan dan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung yang belum terpecahkan tentang ketauhidan. Memang belum saatnya saya belajar, namun benak masih haus akan jawaban-jawaban untuk pertanyaan seputar itu. Kini tidak ada lagi yang bisa menekan atau membungkam pertanyaan konyol saya, karena diusia 20 s.d 25 tahun merupakan masa-masa peralihan menuju kedewasaan yang masih haus akan teka-teki puzzle mengenai ketauhidan.

Steal your thought,

Dessy Amry Raykhamna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar