Sabtu, 24 Februari 2018

Ayah dan Senja di Waisai

"Dulu ketika seusiamu, Ayah bermimpi untuk menuntut ilmu ke Kairo sambil memperdalam keilmuan kitab dan Al-Qur'an disana. Sepertinya mimpi itu harus Ayah simpan selamanya karena hidup ini harus dijalani tidak selalu dengan idealis, tapi realistis. Akhirnya atas izin Allah, Ayah meraih gelar doktor tanpa harus ke Kairo. Tidak perlu muluk-muluk untuk meraih bintang. Apa yang terbaik menurut kamu, belum tentu terbaik menurut Allah. Jalani saja toh semuanya akan menjadi dakwah yang (InsyaAllah) akan melengkapi ibadahmu kelak," kenangnya sambil memandang langit-langit rumah sakit.



Keadaan hari ini sangat berbeda 180 derajat dengan tiga bulan yang lalu. Ketika Ayah masih menikmati senja di Waisai sambil memberikan petuah-petuah hidup dalam kondisi sehat wal afiyat. Saya tidak menuntut banyak, hanya saja banyak ujian bertubi-tubi bersamaan dengan nikmat yang diturunkan oleh Allah pada bulan ini. 15 hari yang lalu, setelah CT Scan dilakukan, terjadi pendarahan dalam otak Ayah sekitar 1,5cc. Meskipun tidak terlalu banyak, namun cukup waktu berbulan-bulan untuk pemulihan total. Gejala stroke sejatinya terbagi menjadi dua bagian; penyumbatan dan pendarahan. Masa pemulihan penyumbatan rata-rata berlangsung lebih cepat daripada pendarahan. Jika tidak terjadi komplikasi, satu minggu cukup untuk pemulihan. Hal ini berbeda dengan pendarahan, membutuhkan bed rest berbulan-bulan untuk pemulihan karena darah sisa stroke membutuhkan waktu melarut minimal 21 hari dalam tubuh. Ayah pun hanya pasrah dengan berbaring di ruang rawat inap 'Jasmine' walaupun februari merupakan bulan terhectic baginya, agenda studi banding ke Belgia harus tertunda (padahal saya akan ikut serta, agak sedih tapi bagaimana lagi). Seseorang yang menderita penyakit kronishipertensi, diabetes, dan asam uratdiharuskan tidak pernah berhenti minum obat hingga akhir hayatnya. Itu adalah pernyataan medis yang sangat menyayat hati bagi saya dan keluarga yang hanya menampakkan ekspresi wajah ikhlas. 

Tiga bulan yang lalu tidak begini, dalam perjalanan pertamanya bersama rombongan APPTHI ke Papua Barat, Ayah masih tampak sehat dan kuat untuk berjalan berpuluh-puluh meter bahkan masih sempat mengikuti serangkaian itinerary kunjungan ke beberapa tempat wisata di Papua Barat, seperti Kepulauan Wayag, Painemo, Kampoeng Arborek (cerita lengkapnya: klik disini),  dan Pantai Waisai Torang Cinta. Dari semua tempat tersebut, sebenarnya Ayah lebih menyukai kunjungan terakhir di Pantai Waisai Torang Cinta. Dengan datang ke pantai kita dapat berpikir jernih seraya memilah-milah permasalahan yang bersarang di otak, katanya.  Ditambah lagi, hari itu akan beranjak senja. Sejak turun di Bandara Dominique Edward Osok, hawa dan aura dari daratan ini tampak berbeda. Meskipun panas dan sebagainya, namun ada sisi intrik yang melekat erat di sepanjang perjalanan sebelum tiba di Pantai Waisai. Orang-orangnya. Bangunannya. Alamnya.

Rata-rata orang asli Papua tidak terlalu ‘welcome’ pada orang berbeda suku atau asing. Beberapa di antara mereka membutuhkan Arak untuk berkomunikasi dengan pendatang karena kurangnya percaya diri. Mereka yang menjadi ramah pastilah telah berpergian ke luar dari daerah belantara itu atau menjadi perantauan di negeri lain. Bangunannya pun memiliki unsur ‘singuptanpa aura dan gelap’. Hal ini berbanding terbalik dengan alamnya yang luar biasa MasyaAllah, air lautnya jernih dan terlebih air payaunya hingga terlihat dasarnya. Sambil menunggu senja tiba, para rombongan berjamaah menunaikan sholat Ashar di atas jembatan bambu, setelahnya mereka berbincang-bincang atau sekedar menggelar piknik kecil di pinggiran pantai. Hari esok adalah jadwal kepulangan, Pantai Waisai menjadi kunjungan terakhir yang dirayakan dengan mengabadikan momen, rehat, dan acara bebas lainnya.

Selama menikmati senja, Ayah menceritakan banyak hal, sepertinya suasana Pantai Waisai mengingatkannya pada Pantai Pangi, pantai yang masih hijau dan tak terjamah masyarakat hanya satu kilo dari rumahnya di Desa Tumpak Kepuh. Ayah memiliki mimpi yang besar untuk agama dan bangsa sejak usia remaja, tekadnya untuk pendidikan lebih besar dibandingkan apapun. Ayah memberi petuah "semua ilmu dunia yang ada di Bumi ini telah dikarang dan dikuasai oleh kaum Yahudi. Jika ingin memasukkan keilmuan dunia yang telah teringkas di dalam Al-Qur'an, sebagai muslim kita harus belajar setinggi-tingginya supaya bisa menakhlukkan kaum Yahudi. Coba pikirkan, IT-mu bahasa pemrograman dan jaringan yang kau pelajari itu karangan siapa, jika bukan monopoli mereka? Di masa depan nanti, jadilah creator bukan seorang user." 

Saya hanya mengangguk lemas sambil memandang nanar pemandangan senja, seolah ada beban berat yang nantinya harus saya pikul jika benar-benar mengembara keilmuan di negeri yang jauh. Amanah dari bangsa dan kodrat hidup sebagai seorang muslimah. Hanya memikirkannya saja, hal itu berhasil menghantam keras kepala saya. Jika amanah itu tidak dikabulkan, maka anak cuculah yang harus menggantikan peran. Kasihan sekali anak cucu keturunan saya kelak. "Tidak ada yang pasti di dunia ini, tapi kita bisa membuatnya menjadi pasti. Allah itu kaya, Allah itu pemilik seluruh alam beserta isinya. Jika nanti kau punya hajat yang sekiranya bermanfaat bagi bangsa dan agama, maka mengembaralah untuk mencari kemudian tanamkan dihatimu. Tapi... perjalanan juang anak muda saat ini tidak seperti Ayah dulu. Bayangkan, Ayah pernah menjadi pedagang tahu keliling karena dampak perekonomian yang disebabkan genjatan senjata oleh G30SPKI di Blitar dulu.  Padahal Indonesia sudah merdeka itu, tapi hanya merdeka hitam di atas putih. Tapi sekali lagi, perjuangan Ayah juga masih belum sebanding dengan Salman Al-Farisi dan Zaganosh Pasha dalam mencari ketauhidan. Salman Al-Farisi bahkan berkeliling antar benua untuk menemukan Baginda Rasulullah dan Zaganosh Pasha bahkan berjalan kaki dari desanya menuju Turki Utsmani untuk menemukan Syekh Al-Qurani, guru tahfidz dari Muhammad Al-Fatih." Suatu saat nanti, saya berjanji akan menjadikan petuah dan kisah hidupnya yang pelik itu sebagai sebuah buku autobiografi. Dari pedagang tahu keliling, berakhir menjadi guru besar Hukum Tata Negara. Highlight itu mungkin cocok disematkan padanya, namun sebelum buku itu terbit, saya berharap Ayah sempat untuk mengoreksi dan membacanya (Amin Allahuma Amin). 

Sepertinya nuansa senja di Waisai akan tetap sama, meskipun sudah berbulan-bulan. Berbeda dengan entitas yang pernah datang menikmati sejenak. Keadaan Ayah hari ini masih belum stabil, sempat dilarikan ke ICU karena kemarin sempat mengginggau tidak jelas dengan membaca alfabet dalam bahasa inggris. Saya pikir itu merupakan bagian dari terapi wicara, namun ternyata itu adalah sebuah gangguan mengginggau atau mungkin pendarahan kembali? Karena belum ada hasil CT Scan yang pasti, saya urung untuk menduga-duga. Apapun itu semoga semuanya adalah pilihan yang terbaik yang Allah berikan dan titipkan ujian pada hamba-hambaNya. Jika Ayah membaca tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa saya bangga dilahirkan menjadi anak pertama dari Ayah dan saya bangga memiliki Ayah seperti Ayah meskipun hanya mampu meluangkan waktu 5 s.d 15 menit di rumah untuk mengambil bekal kentang rebus. Terima kasih banyak selalu bekerja keras untuk saya dan adik-adik dan atas segala kenangan, pelajaran, petuah, dan klise-klise lainnya yang pernah Ayah berikan pada saya. Hanya do'a yang mampu saya panjatkan, karena jarak dan sebagainya. 


Steal your thought,

Dessy Amry Raykhamna
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar