Sabtu, 13 Januari 2018

Pengalaman Wawancara dengan Perusahaan Asing

Sepertinya postingan kali ini sedikit mengingkari dari postingan sebelumnya. Sekitar dua bulan yang lalu, saya mengalami keresahan tiada henti antara tetap berada di track start-up atau melepaskannya kemudian mengikuti incubator company. Keresahan yang saya alami benar-benar tidak karuan karena hal ini berkaitan dengan reputasi produk yang sedang dikembangkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Menurut saya, masalah Ricolala dan beberapa start-up di bawahnya semakin mengikis sumber daya manusia dan pendanaan (funding). Saya bersedia memperjuangkan, sedangkan timnya sudah merelakan untuk bubar dan persediaan dananya sudah mencapai limit. Membangun start-up memang banyak melatih kesabaran, kegigihan, dan keberanian untuk menjaga komitmen serta mengambil resiko. Masalah semakin keruh ketika saya bertanya saran pada tim "kira-kira 10 tahun ke depan Ricolala dan start-up di bawahnya akan jadi apa?" mereka hanya terdiam. Mengapa saya bertanya demikian? Karena hari itu sedang berada di ujung teluk dan adakalanya kenangan masa-masa kuliah tidak dapat dibawa kembali ke dunia selepas sarjana. Dengan berbagai pertimbangan dan rasa berat hati, akhirnya saya memilih untuk melepaskannya. 

Setelah Ricolala dan beberapa start-up dilepaskan, waktu yang saya miliki semakin bebas dan tidak terikat. Saya dapat menjalankan hobi dengan tenang dan (bersyukur) mendapatkan waktu menganggur sejenak sambil menunggu beberapa uncertainty dari lowongan incubator company. Sebenarnya jauh-jauh minggu sebelum saya memiliki keberanian untuk melepaskan Ricolala dan beberapa start-up, saya telah mencoba memasukkan portofolio ke beberapa senior company, seperti Lenovo dan Perficient. Keduanya merupakan perusahaan IT yang sangat potensial di Chicago dan South Carolina dan saya berharap dapat menghasilkan U$D 110,000 per tahun melalui mereka. Namun harapan hanya tinggal harapan, mereka sudah mendapatkan kandidat full time worker untuk bagian Front-End Developer dan saya ditawarkan untuk menjadi remote worker dengan pendapatan U$D 12,000 dalam 15 jam seminggu. Bagi pekerja Indonesia pendapatan per minggu sekitar 156 juta adalah lebih dari lumayan, namun bagi pekerja New York pendapatan itu akan habis untuk biaya hidup (living cost) dalam waktu 7 sampai 14 hari. Setelah penuh pertimbangan dan kalkulasi yang matang, saya menolak tawaran tersebut dan memilih menjadi Front-End Developer lepas di freelancer.com dan simply hired dengan pendapatan U$D 550 per jam. Sejujurnya bekerja sebagai Front-End Developer lepas lebih mengkhawatirkan karena pendapatan tidak tetap dan host company dapat langsung cut di tengah-tengah pengerjaan project dengan developer.  Prediksi saya, pekerjaan ini mungkin hanya mampu berjalan sepanjang Desember hingga Januari. 

Entah bagaimana Allah mengaturnya hingga tiba hari ini, panggilan wawancara dengan incubator company milik Malaysia untuk posisi UI/UX Designer. Sebenarnya meeting point-nya di Jakarta, tapi karena jarak dan berbagai alasan lainnya, saya terpaksa mengajukan wawancara remote melalui Skype yang akhirnya berlangsung dengan penuh drama di pagi hari. Mulai suaranya yang tidak terdengar, lighting-nya buruk, muka terlihat hitam (ampuni kamera depan tab saya memang sudah saatnya butuh pengganti), dan sederetan drama lainnya. Ribet tapi yah.. Alhamdulillah setidaknya saya telah melalui fase ini (hahaha). Setelah wawancara yang berlangsung sekitar 28 menit (waktu asli adalah 30 menit) saya merasa dua kali lebih lega, karena telah mencurhatkan segalanya mulai kegagalan sampai keberhasilan, mulai masa lalu sampai masa depan. Saya diwawancarai oleh 2 orang dari pihak Human Research Development dan Business Development & Start-up Manager. Kira-kira seperti ini pertanyaan yang diajukan (similar cheat sheet: klik disini):

1) Siapakah diri Anda?
Saya menjawab dengan nama dan menguraikan sedikit essay, kemudian dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan: apakah Anda lulusan universitas X? tinggal dimana? dan seputar hal yang berkaitan dengan personal details.

2) Mengapa Anda memilih posisi UI/UX Designer?
Passion. All is caused by passion. It brings me to reach the position. Terus saya juga cerita bagaimana saya mengetahui bahwa hal tersebut adalah passion yang akhirnya dimiliki. Mengalami banyak jatuh bangun di dunia start-up selama 3 tahun, saya sempat diragukan oleh pihak Business Development & Start-up Manager karena beliau melihat passion saya bukanlah designer melainkan enterpreneur.

3) Bagaimana posisi tersebut cocok untuk Anda?
Pertanyaan ini sepertinya cukup teralihkan karena saya menjawab dengan passion

4) Project apa saja yang pernah Anda kerjakan?
Saya menjabarkan project-project ringan mulai awal semester hingga akhir semester yang berbasis research dan rata-rata yang dikerjakan berbasis education and social life

5) Apa yang Anda pelajari dan lakukan selama berkuliah?
Inilah mengapa para keynote speaker di berbagai workshop dan seminar sering mengatakan "jangan hanya berkuliah, usahakan mendapatkan skill lebih selama mengenyam pendidikan 4 tahun. Dapatkan passion Anda disana dan nikmatilah prosesnya karena hanya di dunia perkuliahan kita dapat mengeksplor dan mengembangkan diri sesuka hati" atau nasihat yang sering diteriakkan selama ospek "jangan hanya menjadi kupu-kupu (kuliah kemudian pulang, udah) jadilah kura-kura (kuliah kemudian rapat, agar ada fase selanjutnya)". Untungnya, jauh-jauh semester saya telah menerapkannya dan Alhamdulillah ada bahan untuk dicurhatkan pada orang lain.

6) Apa wireframe yang pernah Anda gunakan selama ini?
Saya menjawab jujur: tidak ada, hanya Axure RP yang saya gunakan. Kemudian beliau menjawab, tidak apa-apa bisa dipelajari kok diinternet. Jawab apa adanya lebih bernilai, jika tidak memiliki pengalaman yang ditawarkan sebaiknya tidak perlu dibesar-besarkan. 

7) Apakah Anda memiliki geng selama berkuliah?
Saya tidak memiliki geng, hanya saja saya tergabung dalam komunitas. Itulah yang saya katakan. Sebenarnya lumrah-lumrah saja kita memiliki geng, tapi saya lebih setuju memiliki komunitas. Di dalam komunitas kita dapat belajar banyak hal, mulai melakukan hobi bersama-sama sampai berdiskusi, kesannya lebih positif. Yah... walaupun sejak awal semester, saya memiliki catatan daftar teman untuk dikenal dan diblacklist bukan pemilih tapi untuk membesarkan networking karena Oprah Winfrey pernah berpesan "kelilingilah dirimu hanya dengan orang-orang yang akan mengangkatmu lebih tinggi." Bisa dikatakan, mulai titik itu saya merasa harus memahami bermacam-macam manusia. 

8) Bagaimana lingkungan memandang Anda?
Sepertinya saya hanya menjawab satu kalimat: jika saya sendirian (bersama hobi), saya menjadi introvert namun jika telah keluar (tidak bersama hobi), saya menjadi extrovert. Intinya kata kolega, saya dapat menyesuaikan porsi masyarakat. 

9) Bagaimana keluarga Anda?
Saya menjawab dengan sangat apa adanya. Ayah seorang pengajar dan Ibu seorang ibu rumah tangga, saya memiliki 2 adik laki-laki. Adik pertama saya merupakan penderita Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Selanjutnya, saya menjabarkan apakah ADHD itu dan seterusnya. Inilah yang menjadi motivasi mengapa selama ini saya mengembangkan aplikasi di ranah education and social life.

10) Apakah Anda pernah bergaul dengan kumpulan non-akademis?
Saya sedikit memberanikan diri untuk menjabarkan dunia wartawan yang sebenarnya seperti apa. Ada yang 'ngobat' juga dan sebagainya dan saya menerima lingkungan seperti itu. Kemudian pihak HRD juga mempertanyakan lebih tentang bagaimana saya bekerja dan berita apa yang biasanya saya tulis.  

11) Apakah Anda memiliki keahlian lain selain design?
Melukis, snailmailing, memahat, dan seputar itu. 

12) Saya rasa Anda adalah seorang dengan banyak ide, apakah selama ini Anda pernah merasa (benar-benar) bahagia?
Yah, saya bahagia ketika melakukan hobi-hobi saya. Seperti bertukar surat around the world, karena disana terdapat banyak kisah yang diceritakan oleh orang-orang di seluruh dunia. Terkadang mereka bertanya, saya memberi masukan atau bahkan sebaliknya. Bagi saya, mendengar cerita orang lain merupakan suatu pembelajaran yang menyenangkan. 

12 pertanyaan yang membutuhkan pemikiran matang serta cepat, saya sedikit terhenyak pada pertanyaan nomor 12 yang sangat khas HRD. Maksud dari pertanyaan tersebut sebenarnya adalah Anda memiliki cukup banyak pencapaian dan pengembaraan yang dilakukan, apakah dengan itu Anda pernah bahagia? Saya tergelitik untuk menjawab saya rasa semua itu hanya untuk kepuasan sesaat, bahagia yang sesungguhnya (menurut saya) adalah ketika semua hal yang saya lakukan hanya karena AllahCinta karena Allah dan mendedikasikan semuanya karena Allah, seperti Rasulullah yang mengkhawatirkan umatnya lebih dari apapun. Namun let it flow saya hanya pasrah setelah seluruh ikhtiar yang dilakukan selama bertahun-tahun. Mulai mencoba terjun ke dunia jurnalis sampai mengikuti berbagai kompetisi nasional hingga internasional yang sebenarnya batasan 30 menit adalah waktu yang kurang untuk menceritakan seluruh perjuangan dengan keringat dan air mata.  Intinya, jadilah diri sendiri dan apa adanya ketika melakukan wawancara serta tuangkan semua yang ada di kepala selama ini, maka setelah wawancara akan merasa lega karena baru saja dunia mengenal Anda. 


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna


Tidak ada komentar:

Posting Komentar