Sabtu, 10 Juni 2017

Pennsylvania [3]: Incheon dan Korean Cuisine

Seperti yang saya katakan pada post sebelumnya (cerita lengkapnya : klik disini), penerbangan Asiana Airlines akan segera flight dalam waktu 40 menit. Sehingga saya nggak sempat untuk berlama-lama di Korean Traditional Culture. Setelah mengalami beberapa drama dengan petugas check-in. Akhirnya saya terduduk juga di awak kabin. Sekedar tips, untuk dokumen keperluan penting, seperti visa, paspor, flash card, dan pass student lebih baik semuanya dijadikan satu pada pouch tersendiri. Jangan diletakkan didompet, karena akan tercampur dengan uang atau kertas bon, dan nggak terorganisir dengan baik. Hal ini mungkin remeh, bisa jadi ketika terjadi pengecekan oleh petugas imigrasi, kita kelabakan untuk mencarinya. Kalo yang dikeluarin satu pouch, nggak perlu sedompet-dompetnya, bukankah lebih praktis?

Secara atmosfer, Asiana Airlines, lebih baik daripada (ehem) maskapai sebelumnya yang saya gunakan. Pelayanan dan fasilitasnya juga berbeda. Bangkunya lebih relax dan lebih nyaman kalo dibuat tidur sepanjang perjalanan. Perjalanan dari Incheon ke Philadelphia memakan waktu yang sangat lama, sekitar 11 jam-an. Berbeda dengan perjalanan pulang nanti, yang hanya memakan waktu 6 jam-an, karena keberangkatan dari Philadelphia diarahkan ke San Franscisco Int Airport. 


Biasanya jika perjalanan yang ditempuh memakan waktu lama, ditambah kategori untuk penerbangan internasional. Konsumsi yang disediakan cukup variatif, mulai appetizer, main course, sampe dessert. Jadwal makan disubsidi dua kali, lunch dan dinner. Dari segi menu, Asiana Airlines sangat memikirkan 4 sehat 5 sempurna. Selain itu, fasilitas lainnya yang disediakan adalah wifi onboard dan beberapa special service


Menu yang disajikan pertama (appetizer) adalah chocolate cake. Rasa dari chocolate cake agak pahit dan nggak terlalu manis. Saya justru suka, karena memakan makanan manis dalam perjalanan udara dapat menyebabkan muntah atau jetlag berkepanjangan. Lebih disarankan makan pedas, asin, atau sedikit pahit. Menu selanjutnya (main course) yaitu tok galbi. Sajiannya lengkap, mulai dari nasi dengan galbi saus kedelai hitam, kimchi jjigae, sup rumput laut dengan udang, serta sawi dan bumbu kacang. Dari segi rasa, saya nggak masalah karena semuanya sesuai lidah. Tapi... yang dari awal nggak bisa akrab di lidah itu kimchi jjigae! Mau diolah kaya apa, dicampur minyak wijen atau kecap manis. Saya tetep nggak doyan, rasanya kaya asem-asem ketiak. Yang paling juara dari keseluruhan main course adalah sup rumput laut dengan udang dan tok galbi. Meskipun ada isu yang mengatakan kalo daging ayam/sapi nggak boleh dimakan bersama seafood, dapat menimbun racun jangka panjang. Namun saya tetep makan dan nggak menghiraukan, karena sedang laper hahaha. Di Kedai Jaws tadi hanya makan japchae dan minum teh boricha. Ohya bagi yang baru mendengar, japchae adalah mie tradisional Korea yang biasa dikonsumsi sejak era Joseon. Kalo di Indonesia, mie ini mirip dengan bihun namun lebih tebal dan bewarna abu-abu. Cara makannya dicampur dengan saus kedelai hitam yang telah dicampur dengan minyak wijen. Sedangkan kimchi jjigae, sejenis acar lobak, namun diolah bersama potongan paprika, olive oil, saus gochujang, ragi, dan taburan sedikit garam. Kemudian difermentasi beberapa hari, semakin lama menyimpan maka semakin enak rasa kimchi tersebut.


Setelah main course, kemudian disajikan menu untuk dessert yaitu sop buah. Sekilas saya pikir dessert-nya adalah wedang ronde, tapi setelah saya amati, ternyata potongan buah semangka, anggur dicampur kacang tanah dan nara princles (berukuran kecil bewarna kekuningan). Nara princles adalah sebutannya di Jepang, kalo di Korea saya kurang tahu disebut apa. Saya urung untuk memakan dessert, walaupun terkesan ingin mencicipi. Soalnya ada nara princles ini, biasanya kalo di cafe-cafe borjouisnara princles ini dicampurkan ke mocktail. Jika dikonsumsi berlebihan dapat berefek flying layaknya ganja. Hati-hati dengan apapun saat berada di maskapai, lebih baik mempelajari menu yang ada pada tiap maskapai agar tidak terjebak pada hal-hal sepele. Nara princles saya ketahui saat menonton dorama Jepang, Hanazakari no Kimitachi e (hanakimi). Waktu itu pemeran utamanya, Oguri Shun, memakan habis nara princles dan berakhir flying di gudang perkakas dorm. Dari sini, saya mengetahui tekstur nara princles, bentuk, dan tingkat kekenyalannya. Akhirnya dessert tersebut, tidak jadi saya konsumsi dan saya serahkan kembali pada pramugari. Karena sesuatu yang enak bukan berarti halal, ada baiknya jika kita memeriksa masakan sebelum hendak memakannya dimanapun kita berada. 




Karena perjalanan menuju Philadelphia melewati malam yang panjang, sehingga pihak Asiana Airlines menyediakan main course untuk dinner, yaitu Ramyeon. Ramyeon berbeda dengan japchae walaupun satu spesies, yaitu sejenis mie. Namun ramyeon berbeda, biasanya disajikan dengan banyak kuah, daging ayam/sapi, wortel, telur, dan potongan daun bawang. Dari segi rasa, enak dan hangat, dapat dikatakan dapat memacu semangat saya selama perjalanan udara. Alhamdulillah, selama perjalanan  dengan Asiana Airlines saya nggak muntah (lagi) hahaha. Jadi selama di Philadelphia, bisa dibilang saya strong selalu. Untuk shalat magrib dan isya, bisa rapelan tafkhim di dalam kabin dengan posisi duduk, namun sebelumnya usahakan wudhu terlebih dahulu jika mampu. Namun jika tidak mampu, maka dapat melakukan tayamum (sekali lagi, bersyukurlah bagi mereka yang menjadi musafir hahaha). Ohya selama perjalanan ini, saya berpartner duduk dengan Mark Liu. Seorang mahasiswa dari Hangkuk University, yang akan mengurus kepindahannya di New York, karena kedua orang tuanya yang berpisah. Ceritanya unik, saya sempat berbincang sebelum dinner. Tidak seperti partner duduk saya saat di Air Asia, saya nggak tahu namanya, tapi dia mengaku berasal dari Selandia Baru yang akan berlibur di Jeju. Setelah berbincang sebentar, saya sudah nggak ingat orang tersebut bicara apa. Karena sekujur tubuh udah lemas akibat kebanyakan muntah hahaha. Mark Liu ini orangnya humble dan nyambung diajak ngobrol. Dia keturunan Tiongkok, namun sudah lama tinggal di Busan, Korea Selatan bersama kedua orang tuanya. Belum lama ini, kedua orang tuanya berpisah dan dia memilih untuk mengikuti Ibunya yang bekerja pada perusahaan asuransi di New York. Dari Hangkuk transfer ke New York, semoga Mark Liu mendapatkan universitas yang diimpikannya.

Jarang juga orang Korea terbuka dengan orang luar, menceritakan kisah hidupnya, entah mengapa Mark Liu ini sangat terbuka. Pada perjalanan kali ini, selain saya merasakan full-korean cuisine, saya merasa nggak sendirian.  Banyak orang-orang yang saya jumpai dan mereka sangat care. Mereka mau berbagi cerita kisah hidup dan saya mendapatkan pelajaran dari itu. Semua ini menandakan, kalo sebenernya di dunia ini kita nggak hidup sendiri, hidup berdampingan. Meskipun perjalanan ini saya lakukan sendiri, tapi... saya punya mereka, orang sekitar yang mau berbagi ruang dengan saya. Hati mereka nggak mati, mereka peduli, bahkan mereka juga rela menjadi telinga ketika saya sedang membutuhkan. Bumi Allah itu luas, manusia di bumi ini tumpah ruah, dan semuanya makhluk Allah. Tidak ada yang berbeda, semua sama. Mengapa saya mengatakan demikian? Perjalanan ratusan kilo meter ini telah mengajarkan saya berbagai hal mengenai solidaritas, tenggang rasa, dan berjiwa besar. Terima kasih Ya Allah telah memberikan pembelajaran ini pada saya. For today or future, i love to be my self!


send a thousand happiness,

dessy amry raykhamna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar