Sabtu, 10 Juni 2017

Mencoba Partisipasi di Korean Culture Festival


Mencoba? sebenernya ini kata yang agak prestisius. Ketika kita mencoba suatu hal ada kemungkinan untuk kecewa atau menyesal. Namun tidak ada salahnya dari mencoba suatu hal. Meskipun nantinya akan kecewa atau menyesal. Karena mencoba itu penuh esensi, banyak pengalaman atau pelajaran yang dapat kita ambil. Mencoba sesuatu dapat membuat kita mempelajari hobby baru, berpikir lebih terbuka, memahamkan makna budaya negara lain, atau menimbulkan kecintaan terhadap bangsa Indonesia. Seperti yang saya lakukan di tahun ini, 2017, di tahun ini saya banyak belajar makna dari budaya negara selain yang saya pijak, yaitu Korea Selatan. Mungkin saat ini resolusi Hallyu yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Korea Selatan, Pak Ban Ki Moon, adalah salah satu cerminan eksistensi yang ingin dicapai oleh Negara Gingseng tersebut. Sedikit cerita, hallyu merupakan sebutan misi Pemerintah Korea Selatan dalam memicu para pemuda di seluruh dunia untuk mencintai budaya korea. Makanya nggak heran kalo setelah 2013, K-Pop makin merajalela, mulai dari boyband, girlband, drama korea, dan sebagainya. Menurut KBS World Radio, warga asing yang berkunjung ke Korea Selatan mengalami kenaikan 29,5% setiap tahunnya, sekitar 20 juta jiwa. Tempat peribadatan bagi berbagai umat juga mulai dibangun dimana-mana pada berbagai wilayah di Korea Selatan. 

Melihat peluang yang besar terhadap ekspansi Korea Selatan dan kebetulan terdapat jalinan erat antara Korea Selatan dengan Indonesia, akhirnya saya mengambil pembelajaran bahasa dan budaya korea yang diadakan oleh Inkobara. Tetiba saya tertarik karena selain native speaker sebagai songsaengnim (sebutan guru dalam bahasa korea) di kelas Hanguk Choegoep-1 (sebutan kelas korea yang saya ambil), saya juga ingin mendapatkan peluang untuk bepergian ke Negeri Gingseng. Selain alasan super-egoism itu, saya juga ingin reuni sama Chifti. Chifti adalah teman saya sejak SMP yang sering saya ceritakan di beberapa post : farewell birthday dan maroo chicken atau mesin waktu. Acara Festival Kebudayaan Korea yang diadakan oleh Inkobara ada beberapa cabang, mulai dari photobooth hanbookdance, dan gimbap cooking competition. Saya dikabari Chifti H-3 sebelum acara. Yang tadinya saya sering bolos di kelas Hanguk Choegoep-1, akhirnya penuh ambisi dan kehebohan, kami ikut partisipasi. Walaupun di belakang masih banyak final project dari mata kuliah yang menumpuk, namun karena tahun ini akan menjadi tahun terakhir saya menempuh Strata-1, saya berharap ada unforgetable moment dari pengalaman yang berbeda. Nggak harus selalu mengenai pemrograman, jaringan, game, komputasi cerdas, dan lainnya. Minimal saya tahu bagaimana orang lain dapat berbahagia tanpa media teknologi.

Gimbap cooking competition memiliki beberapa aturan teknis dalam memasak gimbap, yaitu topping atau isian gimbap disediakan oleh peserta masing-masing, pengerjaan pembuatan 30 menit (sudah termasuk plating ke juri), rasa dari isian gimbap harus dikombinasikan dengan rasa indonesia namun tidak keluar dari konteks gimbap itu sendiri, dan pihak panitia hanya menyediakan nori dan nasi putih saja. Sebelum mulai nyobain mix rasa, saya dan Chifti membaginya ke dalam dua tugas. Saya bertugas mencari esensi dan merancang tampilan gimbap. Chifti bertugas membuat bahan gimbap dan sajian sambal. H-1 sebelum acara dimulai, kami hunting bahan dan mencari esensi dari masakan korea. Dan kalo dipikir-pikir, saya ngerasa hunting materi esensi masakan gimbap terlalu muluk hahaha. Karena saking menggebu-nggebunya, seluruh Youtube saya obrak-obrik, mata saya terjatuh pada gimbap master, yaitu Chef Maangchi (untuk video klik disini) atau channel tasty recipes (untuk video klik disini). Sebenernya ada beberapa referensi situs dan video untuk varian toping dan sambal, tapi saya lupa, karena waktu itu segala hal tentang gimbap saya download tanpa mendata linknya. Mulai dari cara gulung, cara memberikan isian, sampe cara mix warna nasi dari situs para gimbap master. 

Ide saya sedari awal adalah membuat colorful gimbap. Gimbap warna-warni dengan berbagai macam isian yang super indonesia. Kalo saran sambal yang super indonesia itu ide Chifti, karena dia jago banget bikin sambal, mulai sambal bawang, sambal tomat, sambal hijau, dan aneka sambal lainnya (ready for nikah nih hahaha). Saya sih, tergolong orang yang nggak terlalu jago nguleg cabe, jadi saya hanya bisa bikin saus mirip teriyaki (campuran terasi, kecap asin, bawang merah) dan saus sarden (campuran bawang putih, bawang merah, tomat, bawang bombay, kucai, dan saus makarel), yang melambangkan kedamaian. Yang saus sarden ini bukan disajikan sebagai main sauce, namun digunakan bersama dengan ikan tongkol sebagai isi dari gimbap nasi putih.

Karena kami menginginkan colorful gimbap, ada 4 warna yang kami presentasikan, yaitu kuning, hijau, merah, dan putih. Esensi keempat warnaini menggambarkan emosi manusia yang tak terdefinisi. Warna kuning berasal dari nasi jagung, dengan isian telur-wortel-mentimun-scalop tumbuk, yang melambangkan kehangatan. Warna hijau berasal dari nasi bayam, dengan isian telur-wortel-mentimun-ayam suwir, yang melambangkan kedamaian. Warna merah berasal dari nasi merah atau bisa dibuat dari campuran kimchi (makanan korea dengan bahan dasar lobak fermentasi), dengan isian telur-wortel-mentimun-udang gerumut, yang melambangkan amarah. Dan warna putih berasal dari nasi putih, dengan isian telur-wortel-mentimun-ikan tongkol-saus sarden. Untuk topping, saya gunakan mayonaise, udang gerumut, dan kremesan (campuran telur, baking powder, dan tepung maizena). Semua bahan itu kami olah dengan tangan, all by handmade. Yah... dapat dibayangkan kehebohannya karena baru digarap D-Day 6 jam sebelum pelaksanaan.  

Untuk saus dipping, saya serahkan ke Chifti, dia membuat berbagai saus untuk disandingkan dengan gimbap ala korea-indonesia. Seperti sambal bawang, sambal hijau, dan cakalang, kurang bakat apa coba? Dan saya hanya mampu membuat saus mirip teriyaki. Saus mirip teriyaki ini sangat sederhana, berbahan dasar bawang putih, terasi, dan kecap asin. Cukup dengan taburan bawang merah goreng di atasnya, jadilah perpaduan rasa korea-indonesia. Sekedar info, untuk memadukan rasa, kita nggak bisa asal, karena mix kuliner itu nggak semudah yang dibayangkan. Kalo kebablasan, rasa bisa mengubah esensi, kuantitas, dan kualitas. Menurut saya, bisa sih mix macam-macam tapi rasa tetap dinomer-satukan. Karena kunci utama masakan itu dirasa dan tampilan adalah yang kedua.         


Sebelum acara kami sempet wara-wiri ke grup LINE maupun Whatsapp untuk meminta doa serta dukungan kepada kami (maaf ya ngerepotin hahaha). Dan akibatnya, beberapa teman-teman dari kelas Hanguk Choegoep-1 datang mendukung kami selama perjalanan pertandingan 30 menit. Kami sungguh berterima kasih loh karena ada kalian yang mau direpotin datang mendukung.  Terima kasih juga kami ucapkan untuk Pak Kim Ji Nan, yang senantiasa mengapresiasi kami, walaupun hanya mendapatkan juara ketiga di Gimbap Cooking Competition ini. Tapi kami bener-bener seneng, walaupun nggak meraih tempat pertama, karena telah memberikan usaha terbaik yang kami miliki. Saya dan Chifti sudah rela-rela keliling pasar tradisional sampe mall buat mencari bahan-bahan Gimbap Colorful ini. Berkorban peluh dan waktu, serta kesibukan demi memberikan hasil yang maksimal dan tidak mengecewakan diri sendiri. Seluruh pemikiran dan tenaga telah kami berikan di 30 menit yang lalu. Bagi saya berani menantang diri untuk melawan para master masakan korea, pedagang gimbap yang mana tiap hari bekerja seputaran gimbap, dan para koki handal. Yang sedari awal, saya menduga berpeluang untuk bunuh diri. Namun nyatanya, usaha tidak selamanya menghianati hasil. Apapun asal sungguh-sungguh, Man Jadda Wa Jadda, maka nggak ada yang mustahil buat menerbitkan ambisi. Berdoa, berikhtiar, dan bertawakal.




Selain itu, banyak banget pelajaran yang saya dapatkan dari acara mencoba berpartisipasi pada acara ini. Ternyata masakan korea memiliki banyak esensi yang tak terdefinisi. Harus saya akui, baru kali ini saya memasak dengan hati, memasak berdasarkan passion, dan merasa terpanggil. Entah kenapa saya baru merasakan sekarang. Perasaan ini baru saya rasakan ketika saya bergaul dengan temen-temen dari Fakultas Ilmu Budaya. Mereka swag, brilian, dan mudah membuat nyaman. Kalo nggak inget Filkom, saya mungkin udah kuliah tiap hari kesana dengan senang hati. Rata-rata sifat mahasiswa sastra berbeda 180 dari teknik. Teknik cenderung serius, dan sastra? jangan ditanya mereka golongan manusia swag yang tiap hari brainstorming, suka diskusi, hal-hal kecil sering jadi permasalahan, dan punya ide change the world. Asset utama negara banget lah. Tapi cuman beberapa orang sering mengesampingkan mereka karena orang-orang itu "nggak pernah bergaul dengan benar" dengan mereka. Ide gimbap ini juga saya dapatkan hasil bergaul 8 minggu bareng anak sastra dan seni. Mereka membuka cakrawala berpikir saya soal masakan, dari segi main course sampe dessert, bagaimana cara kombinasi budaya dalam masakan, mereka mengajarkan saya berbagai hal. Hingga cara berbahagia yang sederhana mereka juga ajarkan.

Inspirasi gimbap, saya dapatkan hasil membaca beberapa artikel terkait Gwangsan Woori Mil Festival dan Daegu Colorful Festival. Dua festival itu merupakan esensi kebudayaan yang berdampingan dengan budaya Indonesia. Gwangsan Woori Mil Festival merupakan perayaan thankgiving bagi para petani gandum. Dengan hasil panen yang telah mereka peroleh selama satu tahun, mereka mengungkapkan syukur dengan mengadakan acara di ladang gandum. Biasanya para warga sekitar Gwangsan atau luar Gwangsan ikut berpartisipasi merayakannya. Kalo di Indonesia, biasanya disebut syukuran panen, biasanya untuk mengungkap rasa syukur petani dari panen hasil bumi yang diperoleh, seperti jagung, ketela, atau padi. Sedangkan Daegu Colorful Festival mirip colorful run, namun dikombinasikan dengan budaya setempat, seperti hanbook warna-warni (sebutan pakaian adat tradisional korea) atau tarian-tarian tradisional korea. Kenapa saya jadi seniat ini? karena ini kompetisi, kompetisi perlu kesungguhan. Waktu semester 6, dosen saya yang lulusan jerman pernah berkata "Saya punya ekspektasi yang besar terhadap Anda, jangan pernah bekerja setengah-setengah. Lakukan segala hal dengan seluruh kemampuan yang Anda miliki. Maka hasilnya akan berbeda, ketika kita menghasilkan nilai terbaik dengan formalitas dengan menghasilkan nilai terbaik dengan super kerja keras!" Kalimat dari beliau seolah menjadi buzzer bagi saya setiap akan menyerah. Terima kasih atas segalanya, Pak Aryadita, Pak Kim Ji Nan, teman-teman Hanguk Choegoep-1, dan... my unrelated-blood sister, Chifti. At least, ternyata mencoba bukanlah hal yang menyedihkan. 


Steal your thought!

Dessy Amry Raykhamna 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar